Kalau hujan tiba, bunker
jadi mirip tenda pengungsi. Bocor sanasini. Kami sering khawatir kalau hujan tiba,
apalagi disertai angin kencang. Soalnya, atap seng sudah banyak lepas pakunya.
Sekali tiup, lubang seketika. Untung itu belum terjadi. Kami masih beruntung.
Untuk kesekian kalinya.
Kalau dulu, bunker sering
kebanjiran. Maklum, tanah yang ditempati agak rendah dibanding daerah sekitar.
Apalagi ketika rumahrumah mulai meninggikan lantainya, praktis air tergenang
begitu saja tanpa bisa keluar. Ditambah memang tak ada selokan yang bisa
dijadikan saluran air. Kalau sudah begini tunggu saja. Banjir.
Kami sering dibuat kesal
kalau tetangga sebelah membuang sampah sembarangan. Jengkel sampai diubunubun
ketika sampahnya dibuang begitu saja di teras depan bunker. Soal ini kami
sering menegur bahkan sering kali melibatkan emosi, tapi tetap saja, yang
namanya mental yang rusak pasti akan lewat begitu saja tanpa perhatian. Kami
menduga, hal ini sudah jadi karakter yang sulit diubah. Persis orangorang yang
tak tahu malu mengotori lingkungan tanpa rasa bertanggung jawab.
Saya kira di kota ini
masih banyak orangorang yang semacam itu. Warga kota yang tak tahu hak dan
kewajibannya sebagai masyarakat. Makanya agak susah memang mau berubah secara
seksama, kalau masih ada orang yang tak tahu diri dan tak tahu malu. Bagaimana
kota mau disebut bersih, semnentara mental warganya masih bersikap primitif.
Anti peradaban.
Sekarang
bunker lumayan aman. Banjir sudah bukan masalah. Jalan masuk air sudah
dibuatkan penghalang. Di pintu depan sudah ada tembok yang menghalangi laju
air. Jadi kalau pun masuk tidak akan sampai di ruang tengah, tempat penghuninya
beraktifitas.
Satusatunya yang bikin
waswas soal seng bocor itu tadi. Kalau hujan tak henti mendera, air yang masuk
malah bisa bikin repot. Bukan apanya, karena kami tidur di satusatunya ruangan
yang terpakai, kalau air merembes, otomatis tak ada tempat lain untuk pindah.
Masalah ini sebenarnya kerap terjadi di dua minggu terakhir. Tepatnya kalau
hujan lagi garanggarangnya.
Karena tak mau dikudeta
oleh air bocor, solusi satusatunya adalah mentalangi air dengan kotak kue bekas.
Di bunker, entah datang dari mana, banyak kotakkotak bekas kue yang tak
terpakai. Kalau diingatingat kembali, kotakkotak itu bekas kegiatan yang kerap
dilakukan di bunker. Biasanya adaada saja yang datang membawa makanan dengan
memakai kotakkotak plastik. Ukurannya macammacam. Ada yang setinggi tiga
sentimeter sampai lima sepuluh sentimeter. Belum lagi bekasbekas ricecooker
yang rusak. Semuanya dipakai mewadahi air yang jatuh.
Kepada bendabenda itulah
keberlangsungan aktivitas kami bergantung. Kalau sudah malam dan jam tidur, dan
hujan deras melanda, bendabenda itu jadi benda paling penting. Untuk sementara
bisa menunda air yang bisa merembes masuk.
Makanya harapan kami
salah satunya jangan sampai hujan berjamjam lamanya. Kami bisa dibuat tidak
tidur akibat air yang tak cukup ditampung. Apalagi tak ada yang mau bangun
hanya untuk mengecek tampungan kotak jika penuh. Apabila sudah pulas, jangankan
bangun untuk membukakan pintu apabila ada yang pulang larut malam, menengok
kotak yang penuh air saja ogah.
Bunker punya lima
ruangan. Dua ruangan kamar, satu ruangan tamu, satu bagian dapur plus kamar
mandi, dan ruangan utama yang kami jadikan pusat aktivitas. Seharihari di
bunker hanya menggunakan dua ruangan. Selain kamar mandi, yang terpakai hanya
ruang tengah dan dapur. Selebihnya tak terurus. Penghuninya radarada malas mau
pakai ruangan yang lain, padahal bisa dibersihkan dan ditempati.
Sekarang hujan belum juga
reda. Bunyibunyi air yang menetes jadi irama sahutmenyahut. Kami satu persatu
mulai kantuk. Kotakkotak penadah sudah dipasang dari tadi. Posisinya sudah pas.
Tak bakalan meleset dari seng di atasnya yang bocor. Ada lebih dari lima titik
kebocoran. Hitunghitungannya, kalau sampai pagi hujan belum reda, dengan dua
kali tetes tiap detiknya, dan kotak kecil penadah yang tidak terlalu besar,
maka dalam waktu kurang lebih lima jam, prediksinya air akan merembes di sekira
jam empat atau lima subuh. Dugaan saya, orang yang tidur paling ujung tak jauh
dari titik kebocoran, adalah orang yang lebih awal bangun di subuh nanti.
Mudahmudahan prediksi
saya tepat. Masalahnya kalau hitunganhitungannya meleset, kejadiannya bisa
lebih cepat terjadi. Kasihan orang yang tidur paling ujung. Bisabisa belum lama
menutup mata, karpetnya jadi basah. Kalau saya punya tempat yang paling
strategis. Selain paling ujung, tempat saya paling jauh dari sumber rembesan
air. Di saat begini, saya paling berterimakasih menjadi senior. Di manamana
senior punya kemudahan. Yang yunior maklum itu. Apalagi urusan tempat tidur.
Hidup senioritas.
Baiklah saya sudahi dulu.
Saya mau tidur saja. Senior tidak pernah bersalah..