Langsung ke konten utama

Bukan Pahlawan

Di halaman terakhir, Tempo Makassar (Rabu, 17 Februari) menurunkan berita olahraga; Konsistensi Ronaldo. Tak terlalu panjang, dituliskan di situ, Ronaldo disebut konsisten membobol jala gawang lawan. Di tulis sejak dipimpin Zizou, nama kecil Zinedine Zidane, pemain berambut klimis ini selalu mencetak lebih dari satu gol.

Ronaldo punya catatan enam pertandingan terakhir sejak diasuh Zidane dengan mencetak tujuh gol. Kalau dirataratakan, Ronaldo mencetak 1,16 gol dalam setiap pertandingan. Sebelumnya, pria Portugal ini mencatatkan namanya di papan skor saat berlaga kontra Athletic Bilbao. Tak tanggungtanggung dua gol diciptakannya pada laga di kandang Real Madrid, Santiago Barnabeu, akhir pekan lalu.

Pun kalau disebut masalah Ronaldo mulai tumpul di dua laga sebelumnya, sebenarnya yang dituntut darinya hanya soal konsistensi. Ini yang harus dibuktikannya saat laga melawan AS Roma nanti malam.

Sekarang, saya pikir bukan saja Ronaldo yang dituntut konsisten, tapi juga bagi orang yang berikrar ambil jalan literasi. Seorang penulis harus punya konsistensi dalam profesinya. Mulai dari idenya sampai ujung penanya.

Pikiran merupakan modal utama penulis. Juga imajinasi. Yang terakhir malah penting bagi pengarang semisal penulis cerita dan naskah. Tapi umumnya, entah penulis fiksi atau nonfiksi, harus menjaga modalnya agar terus bergerak. Pikiran bergeraklah yang menunjang sorang penulis bisa melahirkan karyakarya bernasnya.

Setiap orang punya pikiran yang selalu bergerak. Objeknya macammacam, bisa soal harga sembako yang mahal, sewa kontrakan yang menunggak, sampai harga saham yang tidak stabil. Bentuknya juga beraneka ragam, bisa yang abstrak atau malah yang kongkrit. Atau malah punya warna yang beragam, dimulai dari kuning sampai hijau. Macammacam.

Tapi, gerak pikiran penulis tidak berjalan begitu saja. Seperti umumnya, dia bergerak dari satu soal ke soal lain, hanya saja pikiran penulis tidak berhenti kepada suatu soal, justru dia membuat soal. Di tingkat ini suatu soal dipersoalkan kembali, suatu masalah dipikirkan ulang. Bahkan jawaban atas suatu soal adalah soal itu sendiri.

Cara berpikir yang demikian dengan sendirinya tak pernah punya muara. Dia bergerak terus sampai tak berhingga. Mengalir kepada cerukceruk landai, sampai tak ada ujung. Tujuannya akhirnya bukan suatu final, bukan suatu titik, melainkan bergerak itu sendiri.

Akhirnya konsistensi hanya soal seberapa sering bergerak. Pikiran yang stagnan pantangan bagi penulis. Caranya bergerak punya banyak macam, membaca sudah pasti gerakan pertama. Bentuknya bisa macammacam, membaca apa saja, mulai dari model tulisan ecekecek sampai tulisan super ilmiah.

Ronaldo barangkali superhero bagi Real Madrid. Setiap penampilannya ditunggu jutaan mata. Saking heronya, ekspektasi orangorang selalu berharap agar dia rajin mencetak banyak gol. Kalau perlu golgol spektakuler.

Penulis berbeda dengan pesepakbola. Tidak ada hero semacam Ronaldo, atau mesias seperti Lionel Messi. Penulis bukan pahlawan. Dia tidak bisa diperlakukan seperti seorang hero. Tulisannya bukan datang memecahkan soal. Niatnya, malah mengajak bikin soal. Tulisan penulis membuat orang berpolemik. Mau menyoal halhal jadi wacana.

Karena bukan pahlawan, tindak tulis penulis membutuhkan keberlanjutan. Perlu ada gerak terus menerus. Soal yang dihadapi senantiasa diputuskan dan terus berlangsung. Penulis tak bisa menuntaskan segala soal dengan sekali pukul. Tak ada tulisan yang bisa melumat segala sekali habis. Karena itulah selalu ada tulisan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Mungkin itulah arti lain yang dibilang Pram; menulis adalah bekerja untuk keabadian. Suatu aksi tanpa putus kala titimangsa terus bergerak. Tak ada jeda, juga putus, mengejar keabadian.

Akhirnya, penulis hanyalah orang yang punya tungkai pendek, yang dia lakukan hanya menarik jauh tulisannya ke depan agar terus maju. Orang yang punya soalsoal berkepanjangan. Orangorang yang mengajak berpolemik. Pikiran yang terus bergerak, yakni orangorang yang mengabdi kepada yang baka. Dan, selebihnya, yang dibutuhkan hanya konsistensi.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...