Langsung ke konten utama

athaya

Ini foto tiga tahun lalu. Yang saya pangku ini ponakan saya. Athaya namanya. Saat gambar ini diambil pas waktu idhul fitri. Saat itu dia masih berumur sekira tiga empat bulan.

Punya ponakan itu sama dengan memiliki anak sendiri. Bedanya belum punya bini saja. Seperti anak sendiri, saya suka mengendongnya. Menciumnya sambil menggodanya agar tertawa. Menciumnya lagi, menggodanya lagi. Menciumnya lagi menggodanya lagi. Membuatnya tertawa. Gemas.

Entah mengapa saya jadi suka dengar bayi tertawa. Padahal seumurumur saya seperti kebal dari bayi. Kadang saya heran, kalau kebanyakan orang suka anak kecil, saya malah menganggapnya biasa saja. Tapi semenjak Athaya lahir, tumbuh dan mulai menggerakkan mulutnya, malah saya mulai berubah. Suka mendengarnya tertawa.

Saat Athaya lahir dia sontak jadi pusat perhatian. Maklum di rumah dia cucu sekaligus ponakan pertama. Sedikitsedikit tak ada yang lepas dari dia. Athaya langsung jadi magnet. Banyak orang berdatangan melihatnya. Memberikannya bingkisan. Mulai dari perlengkapan bayi sampai biskuitbiskuit ringan. Saya ikut senang. Biskuitnya bisa saya makan.

Kehadiran Faeyza Athaya juga langsung mengingatkan saya kala bayi. Diamdiam berusaha mengingat masa lalu saat masih bulanan. Apa yang dilakukan saat tidur. Kalau bangun. Saat pipis tibatiba. Juga saat menangis tanpa sebab. Apakah saya juga begitu. Soalnya waktu cepat berlalu. Momenmomen semacam itu agak susah mengetahuinya.

Makanya selain bertanya ke mamak, saya langsung bukabuka album foto. Cari tahu kala masih jabang bayi. Di situ masih ada beberapa gambar saya masih kecil. Ada satu gambar saat saya telungkup sambil menatap ke arah kamera. Saat duduk sambil memegang bola. Saat berpose seragam TK. Berdiri berseragam SD. Dan juga kala SMP. Sampai di sini tak ada sekalipun foto saya seperti Athaya yang masih seumur minggu. Yang ada hanya saat sekira empat sampai lima bulan.

Rasa ingin tahu saya gagal karena tak punya gambar yang merekam saat masih sebayibayinya. Makanya anakanak sekarang bisa bahagia akibat kemajuan teknologi. Dulu kamera jadi barang langka. Makanya tidak semua momen bisa langsung diabadikan. Sekarang sedikitsedikit jika mau bisa langsung dijepret. Cukup dengan smartphone gambar sudah bisa diambil.

Sekarang umur Thaya, begitu kami memanggilnya, sudah berumur tiga tahun jalan empat. Dia jadi anak yang suka bermain. Lari ke sana kemari. Lompat sana jungkir sini. Kalau saya datang dia suka mengajak main putri duyung. Saya heran dari mana dia lihat. Curiga, saya kira dari film yang sering dia tonton. Kalau sudah begitu kursi sofa berubah jadi markas tempat persembunyian. Saya ikut saja sebagai lumbalumbanya.

Athaya sangat suka bersepeda. Di umurnya yang sekarang dia begitu aktif. Kalau bukan sepeda, dia pergi di bawah meja setrika mengambil tumpukan mainannya. Menghamburnya di lantai dan mulai mengambil mainan yang disukanya. Kalau yang ini masih untung dibanding dia menemukan bulpen atau pensil mencoret seluruh tembok rumah. Mamak biasa hanya geleng gemas ditaruhnya. Kami melihatnya sebagai pertumbuhan kreativitasnya.

Akibatnya, Thaya sudah pandai mewarnai gambargambar. Karena itu, ayah dan bundanya sering menghadiahkannya buku gambar plus pensil warna. Selain untuk mengalihkannya dari tembok yang sudah penuh, dia bisa mulai mengenali bentukbentuk gambar yang bisa diwarnainya. Sekarang kalau dihitunghitung, sudah banyak gambar diwarnainya.

Thaya sekarang juga sudah diikutkan PAUD. Selain sepupunya, Thaya sudah banyak bertemu anakanak seusianya. Bermain dan belajar. Mewarnai dan menggambar. Pergi jam sembilan pulang ketika duhur datang. Dengan tas kecilnya penuh makanan ringan plus buku gambar, Thaya sering pergi diantar ance'nya.

Sudah hampir dua bulan saya tak melihatnya. Saya dengar dari mamak, Thaya sering bertanya tentang dua omnya, saya dan Fajar. Kalau malam begini dia pasti sudah berlari sanasini, bongkar apa saja yang bisa dijadikan mainan. Kadang berlari ke dapur membuka almari mengambil makanan ringannya. Biasanya wafer coklat atau minuman susu kotak. Kalau dia begitu pasti memberikan satu kepada saya, kadang sambil bermain dia duduk sembari mengunyah dengan ceritanya tentang Jarwo dan motor bututnya. Dan, saya senyamsenyum sendiri memakan habis semua makanannya tanpa sadar.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...