Saya itu orangnya irian melihat tumpukan
bukubuku di manapun itu berada. Apalagi kalau itu berada di kamar temanteman
yang sering saya kunjungi. Puki mak! Semenjak kapan tumpukan buku itu berada di
sana. Sudah berapa lama rakrak itu penuh buku. Tak habis saya pikir, berapa
duit jika semua tumpukan itu dihitung jumlahnya. Atau sudah berapa lama waktu dialami untuk mendapatkan buku sebanyak itu. Taik! Kalau
hitunghitungan, dari mana saya bisa dapat duit biar punya banyak buku mirip itu.
Pertama kali saya melihat tumpukan buku ketika zaman purba dulu. Ketika mamuth mudah ditemui
berkeliaran mencari makan. Saat bumi masih terselimuti lapisan tebal es. Kala itu, saya masih SD. Yang saya ingat saya masih
kelas satu saat itu. Karena kala itu ketika ke sekolah saya harus ditemani Ima,
kakak saya, naik bemo. Maklum jarak rumah dengan sekolah
tidak bisa diatasi dengan jalan kaki. Begitu tiap hari. Pulang pergi.
Nah di saat pulang pergi inilah saya selalu melewati perpustakaan
provinsi. Saya sering diajak Ima untuk berkunjung di sana. Kala itu saya mangut
saja. Apalagi saya memang tak tahu apaapa. Mau menolak apa daya, Bahrul kecil
nan imutimut belum sanggup pulang sendiri. Jadi ya ikut saja kalau diajak.
Yups, di sanalah pertama kalinya saya melihat bukubuku yang berdiri rapi di
atas rakrak. Warnawarni dengan jumlah yang saya tak tahu persis.
Kebiasaan Ima sebenarnya adalah cara dia untuk bisa membaca
majalah Bobo. Kalian yang masa kecilnya dihabiskan di tahun 90an pasti tahu kan
majalah Bobo. Itu loh, majalah anakanak yang punya cerita Nirmala dan Oki dari
negeri dongeng. Atau Husin dan Paman Kikuk yang punya anjing bernama Asta.
Majalah bergambar itulah yang menyeret saya bersama Ima yang tega
meninggalkan adiknya bengong menunggu ia selesai membaca majalah yang sudah
terbit dari 1973 . Sebagai adik yang patuh, ya sudah terima nasib.
Yang saya syukuri dari kebiasan Ima karena itu berdampak baik
kepada saya. Semenjak saya tahu majalah bobo, yang saya sukai awalnya hanya
gambargambarnya belaka. Tapi lama kelamaan dari gambar berubah ke teks. Saya
mulai belajar membaca. Jadi kalian bisa tahu kan, betapa besarnya majalah Bobo
terhadap kemampuan membaca saya. Luar biasa majalah bobo, amal jariahnya bukan
main.
Kalau tidak salah ingat itu saya alami ketika sudah kelas dua. Di
saat lapisan es di muka bumi masih tebaltebalnya. Juga ketika Ima mulai
mengoleksi majalah adaptasi dari negeri kincir angin itu. Coba bayangkan, untuk
urusan majalah anakanak, kita juga mengekor dari negeri Belanda bin godverdommen.
Mulai saat itu di rumah, selain buku gambar, majalah Bobo mulai
banyak jumlahnya. Untuk urusan yang satu ini, salut untuk Ima, ia rela memotong
uang jajannya demi Bobo, kelinci biru ikon majalah itu. Saya, yang masih
ingusan akhirnya senang juga. Pasalnya saya punya bacaan di tiap minggunya. Oke
saya harus jujur. Bukan bacaan, tapi ejaan. Beda kan!? Bacaan dan ejaan. Kalian
tahu sendirilah.
Salah satu cerita yang saya sukai dari Bobo adalah Bona Gajah
kecil berbelalai panjang. Cerita itu ditokohkan oleh sekor gajah kecil berwarna
merah muda dengan seorang sahabatnya bernama Rongrong. Bona punya kehebatan,
belalainya bisa menyelesaikan setiap masalah yang sering dihadapi Rongrong.
Terkadang Bona memanfaatkan belalainya menjadi panjang untuk mengambil layangan
Rongrong yang tersangkut di atas pohon. Kadang belalainya jadi tandu untuk
menandu Rongrong yang sakit. Pun pernah belalai Bona menyelamatkan Rongrong
yang hanyut dibawa arus sungai.
Begitulah kisah persahabatan Bona gajah kecil berbelalai panjang
dengan Rongrong kucing kecil yang selalu mendapatkan masalah. Bona yang baik
hati, perhatian dan Rongrong yang selalu setia menemani Bona. Saya selalu
senang membaca kisah mereka disampul belakang majalah Bobo. Kala itu, majalah
itulah yang bisa mengalihkan saya dari pekerjaan rumah yang diberikan sekolah.
Semenjak Ima sering mengoleksi Bobo, kami sering berkunjung di
toko buku yang tak jauh dari halte tempat kami menunggu bemo. Saya tak tahu
dari mana ia mendapatkan informasi tentang toko buku itu. Dugaan saya kala itu
dari Puput, teman sekelas Ima yang sering juga menjadi teman kami pulang. Toko
buku inilah juga menjadi tempat saya melihat buku berakrak jumlahnya. Tapi
sayang di situ tidak seperti di perpustakaan yang bukunya bisa dilihatlihat.
Kami hanya datang membeli Bobo di situ. Maaf, yang saya maksud Ima yang
membelinya. Dan kemudian kami pulang dengan muka berkacakaca bahagia. Satu
edisi baru Bobo di dalam tas Ima.
Di dua tempat itulah saya pertama kali bersentuhan dengan buku
yang super banyak. Perpustakaan dan toko buku yang tak pernah saya tahu
namanya. Dulu belum ada rasa iri seperti sekarang. Kala itu hati Bahrul kecil
belum tersentuh penyakit hati yang sering diwantiwanti setiap ustadz. Hatinya
hanya polos mirip kapas putih. Putih seputihputihnya. Toh kalau iri, itupun
kepada Ima, karena dia yang selalu memegang uang di waktu saya masih ikut
pulang pergi dengannya ke sekolah. Dia yang membayarkan uang bemo saya. Begitu
selama hampir tiga tahun berturutturut. Dasar sial.
Sekarang, kalau bertandang di kamar temanteman yang punya koleksi
buku, atau tempatempat penuh buku, Bahrul yang sekarang sudah tumbuh menjadi
anak ganteng kesayangan mamak, terkadang kesemsem melihat itu semua. Buku yang
ditumpuk rapi. Alamak! Cantik nian susunannya. Bikin iri saja. Puki mak!
Rasarasanya ingin membawanya pulang saja. Persetan dibaca atau tidak, yang
penting…aduh, susunannya itu loh. Sekali lagi bikin kesemsem. Ya, Bahrul yang
dulu bukan Bahrul yang sekarang. Melihat buku bertumpuktumpuk, rasarasanya
betul kata Luis Borges, surga itu adalah perpustakaan yang besar penuh
bukubuku. Siapa sih yang tak mau surga di rumahnya!?