Setelah kemarin Muhajir, kali ini saya akan
memperkenalkan kawan saya,RahmatZainal. Pemuda yang seharusnya sudah memiliki satu
anak. Saya heran, dosa apa yang pernah ia perbuat kepada perempuan.
Sampaisampai saat ini tidak ada perempuan yang kecantol kepadanya. Barangkali
nasib di langit sana, dituliskan agar Rahmat dikandangi dari perempuan. Tapi
kalau mau dibilang, justru Rahmat sendirilah yang pasang tembok Berlin di
hadapan cewekcewek. Bahkan Rahmat agak gagu kalau bertemu dengan seorang
perempuan seusianya.
Dalam ilmu tasawuf, untuk menjaga kemurnian
ilmu, seorang sufi dituntut menjaga batinnya dari dunia syahwat. Ini mirip
dengan tumbuhan padi yang harus dijaga dari beragam hama. Sehat tidak
tumbuhkembangnya padi, tergantung seberapa bebas ia dari serangan hama. Seorang
sufi, seperti padi, harus menjauhkan dirinya dari godaan hama dunia untuk
melatih dirinya agar bersih. Wanita, bagi sufi, adalah salah satu hama yang
mesti dihindari.
Saya sering bercanda, Rahmat bisa jadi adalah
seorang sufi metropolitan yang hidup a la pemuda kota. Sendiri tanpa kehadiran
seorang perempuan. Tapi, senang kalau dikerumuni perempuanperempuan yang baru
menjadi mahasiswi. Maklum, Rahmat seringkali jadi tempat konsultasi ukhtiukhti
di kampusnya. Jadi, di satu sisi, perempuan jadi musuhnya, tapi di lain sisi,
justru perempuan bisa menjadi setapak jalan untuk sampai ke langit.
Yang terakhir ini, saya duga malah jadi doktrin
kelompokkelompok agama untuk melecut semangat jihad. Dengan semangat jihadis,
anggotaangotanya dijanjikan berpuluhpuluh bidadari di surga. Barang siapa jadi
"pengantin," insyaallah mabrur menjadi syahadah dengan kerumunan
bidadari.
Cara instan ini bukan cara yang dipakai
Rahmat ketika dia berjihad. Jihad Rahmat adalah jihad ilmu. Bukan bom bunuh
diri a la "pengantin" yang kerap nongol di mediamedia belakangan ini.
Kalau saja iya, sudah lama Rahmat akan berlatih militer di negerinegeri arab
sana. Atau sudah bersorban dengan membentuk koloni di pelosok Sulawesi. Mencari
tanah lapang berlatih perang. Memanah dan berkuda. Dan, tentu sudah pakai
sapaan ente antum segala.
Bagaimana Rahmat berjihad, ada ceritanya.
Baiklah pelanpelan saja. Kita mulai.
Pertama kali saya melihat Rahmat di saat
jaman baheula dulu. Ketika hamparan tanah bumi masih kosong melompong. Di waktu
masih banyak homo sapiens bermukim di guagua. Saat tanah belum berganti menjadi
ladangladang. Tepatnya saat dunia mengalami transisi dari era mengumpulkan
makanan menjadi bercocok tanam. Ini alaf jauh sebelum Galilei Galileo menentang
doktrin gereja. Yang ada hanya gali lobang tutup lobang menanam bahan makanan.
Nah, saya adalah salah satu homo sapiens yang
hidup primitif itu. Sampai akhirnya saya ketemu dengan rombongan hijau hitam
yang berkerumun entah kenapa. Karena di ajak oleh salah satu anggotanya, saya
ikut saja. Masa itu adalah masa ketika hewanhewan buruan sulit dimakan.
Dagingnya kuruskurus karena kekurangan makanan. Tanpa berpikir panjang saya
ikut saja dengan ajakan mahluk yang belum saya kenal itu. Perlu diingatkan saya
tertarik bukan karena ajakannya yang menginginkan suatu tata peradaban yang
tamadduni, melainkan hanya ingin mendapatkan makanan gratis.
Akhirnya saya terpaksa meninggalkan gua
persembunyian. Di tempat yang baru, selama tujuh hari saya diperkenalkan kepada
istilahistilah yang asing. Karena belum banyak bahasa yang saya kenal, saya
hanya sempat mengingat katakata semisal; teologi; epistemologi; subtansi;
kapitalisme; komunisme, dan beragam bahasa yang saya tak tahu muasalnya. Selama
tujuh hari saya diajarkan cara hidup beradab. Saya diajarkan untuk mengenal zat
yang bernama Tuhan. Padahal sebelumnya tak ada kosakata Tuhan dalam kehidupan
primitif saya. Semenjak itu, kata Tuhan lebih sering saya dengar dari
orangorang di sekitar saya.
Selama tujuh hari, saya mendapatkan
temanteman baru. Entah dari gua mana datangnya. Mereka seperti jenis homo
erectus yang pernah saya lihat. Homo erektus ini banyak juga yang ikut,
bersamaan dengan homo javakensis yang datang berbondongbondong. Tapi kebanyakan
yang datang adalah homo sapiens yang tiba dengan batubatu di tangannya. Saya
sendiri yang berjenis sama akhirnya bergabung bersama mereka selama tujuh hari
di tempat yang lebih mirip penjara.
Di penjara itulah saya bertemu Rahmat. Dia
tidak seperti homo jenis lainnya. Dia jenis baru yang tidak masuk kategori
jenis manapun saat itu. Kedatangannya juga secara tibatiba. Seingat saya, dia
datang di hari kelima ata keenam. Tapi yang saya ingat dia sudah duduk di
belakang saya dengan memegang buku yang saya tak tahu judulnya. Buku, saat itu
belum saya ketahui sebagai benda yang penting. Dengan model kehidupan primitif,
yang saya tahu hanya batu berbentuk kapaklah yang bisa membuat saya bertahan
hidup. Tapi Rahmat justru berbeda, dia selain datang dengan misterius, juga
membawa buku yang kelak jadi benda paling penting dikehidupan kami.
Waktu itu Rahmat sudah bisa berbahasa
peradaban. Cara berpikirnya jauh lebih maju. Mulutnya lancar menyebut
istilahistilah yang saya tak tahu dapatnya dari mana. Saya berpikir saat itu,
di gua mana ia pernah tinggal sampai memiliki bahasa semacam itu. Cerita punya
cerita, ternyata ia tidak tinggal di gua. Nyatanya ia sering pindahpindah dari
satu tempat penuh buku ke tempat penuh buku lainnya. Begitu seterusnya.
Hingga akhirnya saya jarang bertemu
dengannya. Pernah suatu waktu saya mendengar kabar bahwa dia jadi anggota
koloni yang gemar membentuk khilafah. Lama dia di sana sampai suatu saat dia
sendiri yang bilang bahwa sudah murtad. Kabar terakhir yang saya dengar, dia
ternyata adalah anak fakultas bahasa dan sastra di perguruan tinggi yang sama
dengan saya. Hanya itu yang saya tahu saat itu. Ini kirakira ketika guagua
banyak dimasuki beruang, dan saya sudah mulai tinggal di dalam kampus sendiri.
Rahmat itu seorang pengembara. Bayangkan dia
sudah tiga kali menaiki gununggunung besar di Makassar. Tidak seperti orang
lain yang hanya sanggup menaklukkan satu gunung saja. Toh kalau ada palingpaling
hanya dua gunung saja. Sini saya kasih tahu, di Makassar setidaknya ada tiga
gunung besar yang menjulang tinggi sampai angkasa. Di puncak inilah Rahmat
telah menjejakkan kakinya. Pertama Gunungsari, tepatnya Gunung UNM. Di
puncaknyalah Rahmat pernah lama menghabiskan waktu. Sebagai pengembara, ia
banyak mengajarkan ilmu sakti hasil dari pengembaraanya kepada orangorang di
sana.
Di gunung UNM, saya menduga, di sinilah dia
pertama kali meniatkan dirinya untuk menaklukkan gununggunung tinggi di Makassar.
Di waktu inilah saya pertama kalinya melihat Rahmat. Ketika bersama kerumunan
hijau hitam dulu. Di UNM, Rahmat sudah menjelma pengembara tak bertuan.
Buktinya dia minggat dari perguruan silat yang maunya khilafah melulu.
Barangkali, di waktu inilah ia menemukan rahasia pengembara, tak punya urusan
emosi dengan bendera apapun. Sejatinya pengembara adalah orang yang tak terikat
dengan apapun.
Yang kedua, setelah lama hidup mengabdi di
gunung UNM, rahmat melanjutkan perjalanannya menuju suatu gunung yang konon
punya ilmu ayam sakti. Orangorang menyebutnya Unhas. Setelah lama mendaki di
kaki gunungnya, ia tiba dipuncaknya hanya dalam hitungan jari. Di sana, dia
banyak menimba ilmu sambil menyempurnakan ilmuilmu sebelumnya. Di saat ini,
Rahmat sudah menjelma bak pendekar yang punya mantramantra sakti. Omongannya
banyak yang anehaneh, tapi nyatanya banyak yang ingin mendengarnya. Sebagai
pengembara, Rahmat sering membagi cumacuma mantra yang ia dapati dari guru
sakti yang sering dia temui di puncak gunung Unhas.
Di puncak gunung Unhas, Rahmat sering
berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya. Bahkan di setiap kampung tidak
sedikit yang menjadi muridnya. Ini saya tahu ketika saya sering bertemu pasca
ia bermigrasi ke gunung Unhas. Saat itu, Rahmat sudah tidak bisa disaingi.
Ilmunya sakti mandraguna. Tak heran banyak yang ingin berguru kepadanya.
Seperti Che Guevarra yang sering memicu
revolusi, Rahmat akhirnya melanjutkan pengembaraanya ke gunung yang terakhir;
gunung Alauddin. UIN nama lain gunung itu. Di sini adalah tempat terakhir
perjalanan Rahmat. Untuk sementara di tempat inilah dia mengasah kembali
ilmuilmunya. Sembari bersamasama kawankawannya, mengembangkan suatu ilmu yang
entah apa namanya. Ilmu ini sering dia keluarkan di saat genting. Saya pernah
satu dua kali menyaksikannya. Kalau yang ini saya menduga jurus rahasianya.
Tapi banyak yang tak tahu.
Di saat inilah saya banyak bertemu dengannya.
Saat ini Rahmat masih jadi pengembara. Sekarang muridmuridnya bertebaran
seantero Makassar. Bahkan saya diamdiam jadi muridnya sembari berpurapura sok
tahu di depannya. Ya, di hadapannya, kamu iyakan saja apa yang ia omongkan,
sebab dari situ banyak yang bakalan kamu tak ketahui. Itu satu petanda betapa
tinggi ilmu kembaranya.

Itulah kenapa saya sering bercanda sendiri
kalau Rahmat adalah seorang sufi. Tepatnya sufi pengembara. Seorang yang naik turun
bukit melewati banyak lembah seorang diri. Kadang ketika dia lelah, dia sering
menjamu dirinya dengan ramuanramuan kopi. Kalau yang ini Rahmat kerap di temui
di warkopwarkop langganannya. Di situ dia sering memberikan ilmuilmu hasil
perjalanan panjangnya. Makanya tidak ada ruginya bersamanya di saat menyaru
kopi.
Seperti gambar di bawah ini. Saya berusaha
mengambil gambarnya hanya untuk menceritakan sedikit ihwal tentangnya. Ini saya
ambil dari salah satu warkop tempat saya nongkrong. Bagi saya penting kalian
tahu tentang pengembara yang satu ini. Barangkali saja ada perempuan yang
kecantol dengannya. Apalagi ilmunya, busyet! Saya saja harus berguru di banyak
pendekar kalau ingin mengetahui ilmunya. Bagi saya Rahmat ini tipe manusia yang
aneh. Dia sering mengembara, tapi namanya pengembara pasti ada yang disebut
surat sakti dari setiap gunung yang ditaklukkannya. Tapi, apalah arti surat
sakti bagi Rahmat. Seorang pengembara tetaplah pengembara. Yang ada hanya
segudang ilmu dikepalanya, dan orangorang yang mau mendengarkan kisahnya.