Langsung ke konten utama

Agora a la Cafe Dialektika

Singkat saja. Malam ini saya menyambangi Cafe Dialektika. Lumayan jauh saya ke sini, kirakira hampir sepuluh kilo lebih dari tempat saya mangkal. Aktifitas saya belakangan ini hanya berputarputar di sekitar kampus UNM, tapi lantaran ada bedah film, maka saya kemari.

Cafe Dialektika sepengetahuan saya digagas oleh anakanak muda yang senang menghabiskan waktu dengan berdiskusi. Mereka kalau saya tidak salah duga adalah mahasiswamahasiswa Stimik Dipa dan Unhas yang berkomitmen untuk menghadirkan wadah diskusi yang nyaman. Makanya sudah sering saya melihat kegiatankegiatan mereka yang diupload di dunia maya. Bagi saya, merekamereka ini memiliki kepekaan untuk menjemput kebutuhan intelektualisme anakanak muda dengan menyediakan tempat yang mereka sediakan.

Beberapa waktu silam, ketika pertama kali saya kemari, salah satu orang menyebut bahwa tempat ini dirancang tidak sebagaimana cafe umumnya. Perlu diingat kata kafe hanya mengacu kepada beberapa meja kursi yang mereka sediakan bagi pengunjung yang datang untuk menikmati kopinya. Kopi yang umumnya disediakan di cafe, tidak disediakan di tempat ini. Nyatanya kopi dan beberapa menu yang disediakan hanya berupa suguhan ala kadarnya tanpa barista khusus.


Walaupun seduhan kopi yang disediakan masih mengandalkan eksperimen, branding yang ditonjolkan tempat ini terletak pada setting suasananya. Dengan memanfaatkan pojok rumah dan garasi, anakanak muda ini menyulap ruang apa adanya jadi tempat yang nyaman untuk berdiskusi. Selain itu mereka juga menyulap bagian dalam rumah seperti perpustakaan mini. Banyak buku yang bisa kalian temukan di sini, walaupun tidak mencapai ribuan buku di dalamnya.

Konsep intelektualismelah yang jadi jualan kafe ini. Dari namanya saja, kita bakalan menyimpulkan bahwa penggagas tempat ini adalah orangorang yang bergelut dengan ilmupengetahuan. Makanya, mereka tidak menjual selera atas kopi, melainkan menciptakan ruang belajar yang nyaman bagi mahasiswamahasiswa. Didukung dengan akses wifì, tempat ini saya pikir lumayan asik untuk dijadikan tempat bercengkrama membincang apa saja.

Malam ini Cafe Dialektika membedah film Agora. Pembedahnya teman ngopi saya, Muhajir. Film ini sudah dua kali saya tonton. Yang saya ingat, film ini berusaha menarasikan tiga keyakinan (Pagan, Yahudi, dan Kristen) yang hidup dalam satu masa dan tempat yang sama. Kalau tidak salah setting film ini sekitar tiga abad pasca kelahiran Yesus di Alexandria. Hypatia seorang perempuan filsuf yang menjadi tokoh sentral dalam film garapan Alejandro Amenábar ini, diceritakan mendapatkan rintanganrintangan akibat semakin kuatnya pengaruh kristiani. Di tengahtengah kecamuk tiga keyakinan, Hypatia teguh berpendirian tetap mengikuti filsafat sebagai jalan hidupnya. Sampai akhirnya dia harus mati akibat keyakinan yang dipegangnya.

Kirakira begitulah jalan cerita Agora. Film ini saya fikir masih layak disaksikan bersamaan dengan menguatnya fundamentalisme keyakinan yang banyak membahayakan kehidupan bermasyarakat akhirakhir ini. Konflik yang dikandung dalam film ini, tidak jauhjauh dari situasi belakangan yang juga menguatkan segregasi akibat keyakinankeyakinan sempit beragama. Singkatnya, Agora bisa menjadi film untuk meninjau kembali polapola hubungan antar keyakinan di masyarakat.

Saya pikir komunitas semacam Cafe Dialektika ini, patut diapresiasi sebagai wadah baru bagi ruang bersama berbagi informasi. Kuat dugaan saya, asumsi inilah yang juga mendasari sebab berdirinya tempat ini. Visi yang mereka bangun inilah yang menjadikan Cafe Dialektika berbeda dengan tempat lain. Sejauh pengamatan saya, selain tempat ini, juga sudah berdiri Be Smart Cafe yang beroperasi di sekitar jalan Talasalapang. Sedikit berbeda dengan Cafe Dialektika,  Be Smart Cafe juga membuka kelas bahasa inggris bagi anakanak usia sekolah. Yang menyamakan kedua tempat ini adalah kemasan suasana yang diset dengan interior intelektual, juga menawarkan programprogram kelas menarik yang bisa kita ikuti.

Baiklah tulisan ini harus segera berakhir, film Agora juga baru saja berakhir. Saatnya Muhajir akan membedah Agora dari macammacam pendekatan dan perspektif. Saya datang jauhjauh ke sini hanya untuk melihat Muhajir membedah film ini. Apalagi saya sudah diingatkan oleh salah satu pengelolah Cafe Dialektika untuk datang kemari. Banyak yang datang kemari. Hitungan saya hampir tigapuluh orang. Saya pikir ini suatu yang membahagiakan. Muhajir sudah memulai persentase. Saya sudahi dulu.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...