selamat natal temanteman kecilku

Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, akhir Desember merupakan waktu yang sangat menyenangkan. Pasalnya dua hal; 25 Desember adalah hari natal, dan akhir Desember merupakan harihari menjelang tahun baru.

Saya masih ingat betapa tekunnya saya di hadapan layar kaca menonton filmfilm kartun ketika hari libur. Tapi, sesungguhnya, yang paling berkesan tentu di tanggal 25 nanti, ketika saya berpakaian rapi, sehabis magrib, pergi mengunjungi rumah teman bermain yang merayakan hari natal.

Memang waktu itu saya banyak memiliki temanteman yang beragama Nasrani. Bahkan di tempat tinggal saya, mayoritas penduduknya adalah Nasrani. Sehingga hampir bisa dikatakan, penduduk muslim sekitar mukim saya hanya bisa dihitung jari. Nasrani di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur tempat saya tinggal waktu itu (bahkan sampai sekarang), memang merupakan agama mayoritas.

Jadi bisa dibayangkan betapa meriahnya natal di waktu itu. Hampir setiap tempat banyak dipadati pernak pernik natal. Sontak kala hari natal menjelang, jalanjalan utama banyak dihiasi lampulampu pijar. Gerejagereja jadi lebih ramai. Tokotoko ditempeli aksesoris Santa Claus. Tak lupa pula hampir setiap saat terdengar lagulagu natal yang diputar untuk memeriahkan perayaan. Dan yang paling ikonik tentu saja pohon cemara yang menyalanyala hampir di setiap rumah.

Jadinya, dalam kepala, saya sudah punya daftar namanama tetangga yang harus saya datangi saat natal nanti. Di mulai dari rumah yang paling jauh hingga tetangga dekat rumah. Saat itu saya tidak sendiri, karena beberapa teman saya yang muslim juga punya niat yang sama. Akhirnya kami sepakat untuk melakukannya bersamasama. Kebiasaan ini sudah sering kami lakukan tiap akhir tahun.


Target pertama bersama temanteman mengaji saya itu, rumah temanteman nasrani yang sering kami jadikan lawan tanding sepak bola. Kami rela berjalan masuk ke dalam kompleks perumnas untuk mendatangi rumah mereka. Mereka adalah anakanak yang tinggal dalam kompleks yang bersebelahan dengan daerah tempat kami tinggal. Walaupun hampir di tiap sore mereka adalah lawan taruhan sepak bola, di hari itu, ikatan “permusuhan” kepada mereka segera kami lupakan. Satu hal yang kami inginkan; mereka adalah teman di mana rumah mereka yang akan kami sambangi.

Tujuan kami selain ingin mengucapkan selamat merayakan hari natal, tentu adalah bisa membawa pulang kuekue yang diberikan. Maka sudah tentu, selain rapi, kami mengenakan baju ataupun celana yang berkantung banyak. Itu sudah pasti untuk menampung beraneka ragam kue yang disuguhkan. Maka ketika kami tiba, mereka hanya bengong, dan akhirnya tersenyum manis dengan menyambut kami masuk. Dan di saat pulang, tanpa malu kami berebutan mengisi kantung baju dan celana dengan kuekue yang sebisa mungkin dibawa pulang.

Itu juga kami lakukan bukan saja kepada kawankawan sebelah kompleks. Bahkan untuk memenuhi ambisi polos kami itu, setiap rumah yang tak kami kenali tetapi kami ketahui sedang merayakan natal pun kami sambangi.

Ketika itu kami lakukan, diperjalanan, kami banyak bertemu anakanak yang lain. Mereka juga berpakaian rapi, beberapa di antara mereka saya kenali. Mereka adalah anakanak kompleks sebelah pemukiman kami. Tujuan mereka tentu sama, yakni datang berkunjung di rumahrumah yang merayakan natal. Dan pasti seperti kami; membawa pulang kue sebanyakbanyaknya.

Saya masih ingat ketika itu, kami saling memamerkan kuekue yang mampu kami bawa pulang. Di saat pulang saku baju dan celana kami penuh dengan tepung kuekue yang penuh sembari saling bertukar jenis kue di perjalanan pulang. Dan yang paling menyenangkan, ketika saat pulang kami bisa membawa minuman kaleng sebagai tanda keberhasilan melawat. Memang saat itu barang siapa yang dapat membawa pulang minuman kaleng yang bersoda itu, akan dianggap sebagai jagoan. Apalagi jika itu disahkan dengan menunjukkan bibir dan lidah yang berubah berwarna merah, maka semakin paripurnalah dia sebagai jagoannya.

Natal yang kami lalui adalah natal yang betulbetul ceria. Walaupun kami berbeda keyakinan, tak pernah terbersit sekalipun untuk membesarkan perbedaan  di antara kami. Apalagi kami adalah anakanak yang tak pusing dengan halhal semacam itu. Itu semakin terasa ketika kami berkunjung ke tetanggatetangga dekat dipemukiman. Saya selalu terperangah kepada setiap pohon natal yang mereka pajang di ruang tamu. Di sana banyak lampulampu hias yang digantung, plus dengan kapaskapas putih. Indah sekali! Seketika saya juga langsung tahu tujuan kapas itu disematkan, yakni sebagai ilustrasi yang menggambarkan salju sebagai tanda keceriaan natal.

Begitu juga ketika saya terkesima dan merasa aneh dengan patungpatung seorang perempuan dan seorang bayi lelaki yang dibuat dari keramik yang berkilatkilat. Hiasan dari keramik itu menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi di dalam kandang domba.  Tak luput juga ada hiasanhiasan seperti periperi bayi bersayap terbang mengelilingi perempuan berkerudung itu. Itu saya temukan di beberapa beberapa rumah teman saya yang juga dipajang di sudut ruang tamu mereka. Melihat itu, saya tahu betapa hormatnya mereka kepada bayi yang berada dipangkuan perempuan yang kemudian saya kenal sebagai Ibu dari lelaki yang mereka Agungkan itu.

Tetangga saya bernama Harli, waktu itu ia lebih tua tiga atau empat tahun dari saya. Ia punya adik bernama Roland yang gemar bermain pasir di halaman rumah saya. Roland ketika datang bermain, mulutnya seringkali penuh nasi yang tak kunjung ditelannya. Mamanya selalu bercerita tentang kebiasaan buruk Roland itu, yang selalu menghisap nasinya jadi bubur ketika ia makan. Dengan kebiasaan itu, kami selalu tahu, kalau ia makan, maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Mereka adalah tetangga yang paling dekat. Rumah saya bersebelahan langsung dengan rumah Harli. Rumah mereka adalah rumah yang menampung keluarga saya ketika malammalam mencekam peristiwa 98 silam. Rumah merekalah juga yang paling terakhir kami kunjungi setelah rumah Roni, Nova, Randi, Erni, Hendrik, Roy, Ade dan beberapa teman yang sudah saya lupa namanamanya. Bersama Imran, Ishak, Hamdan, Anita, dan Arif, teman mengaji saya itu, kami jadi anakanak yang bahagia di hari natal.

Walaupun kami senang melakukan itu, ada satu rumah yang tak kami kunjungi di malam Natal. Itu adalah rumah Carlos dan adiknya yang bernama Ari. Bukan karena apa, itu tak kami lakukan karena Om Basis, begitu kami menyebutnya, yakni bapak dari Carlos dan Ari dikenal galak kepada kami. Sebab itulah kami takut berkunjung ke rumahnya. Apalagi pernah suatu kali, Om Basis dengan murkanya membelah bola kaki kami dengan parang lantaran saat itu tak sengaja bola yang kami mainkan meluncur masuk ke dalam rumahnya. Mulai saat itu bertemu dengannya saja kami takut.

Diselasela saya menulis ini, tak sengaja saya melihat foto yang diposting seseorang di FB. Foto itu jalan El Tari, salah satu jalan utama di Kupang.  Di salah satu lokasi di jalan itu ada lapangan sepak bola tempat saya dulu pergi menunaikan shalat ied ketika idul fitri. Sekarang di foto itu penuh dengan aksesoris natal yang memenuhi sepanjang jalan. Pasti natal begitu semarak di sana. Begitu juga temanteman kecil saya.  Mereka pasti jadi orang yang berbahagia di hari ini. Semoga tuhan memberkati kalian. Selamat merayakan natal yaa...