Manifesto Komunis


”Kaum proletar tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu mereka. Mereka punya satu dunia untuk dimenangkan. Kaum proletar semua negeri, bersatulah.” (Karl Marx dan Friedrich Engels).

MEMBACA Manifesto Komunis sebenarnya membaca keresahan yang muram. Terkadang orang-orang dibuat takzim sekaligus curiga. Tapi, tidak sedikit yang membacanya justru dengan nada optimis sekaligus melihatnya sebagai tulisan yang mengandung azimat.

Syahdan, azimat itu sudah didengungkan dan ditutup dengan kalimat ”kaum proletar semua negeri, bersatulah.”

Begitulah, tulisan itu mulai ditulis di akhir Desember 1847 sampai Januari 1848. Alinea terakhir manifesto komunis itu, akhirnya menyedot banyak mata, terutama kaum yang disebut-sebut di dokumen itu.

Yang namanya manifesto pasti suara yang mendesak. Di situ, saat Marx dan Engels mengucapkan dengan bulat, suatu dunia telah dibayangkan. Suatu momen sejarah yang harus direbut dari belenggu. Suatu tatanan yang mereka katakan untuk dimenangkan. Di sana, hanya dunia yang bebas belaka. Kaum proletar, disebutnya, di semua negeri manapun, bersatulah.

Memang di dokumen yang lebih mirip pamflet itu menyebut banyak golongan: orang merdeka dan budak, patrisian dan plebeian, tuan bangsawan dan tani hamba, warga gilda dan magang. Tapi hanya satu golongan yang diseru. Bahkan itu suatu kaum.

Kaum, oleh Marx dan Engels, disebutnya suatu kelas masyarakat yang tersisih dan disatukan dalam hirarki masyarakat Eropa. Yakni suatu tatanan mayarakat yang lahir dari sejarah perjuangan kelas. Kaum proletariat disebut-sebut merupakan hasil dari zaman yang sedang bergerak saat itu.

Zaman borjuis, begitu Marx dan Engels tulis, telah menyederhanakan pertentangan-pertentangan kelas, seluruh masyarakat semakin lama terbelah menjadi dua kubu utama: borjuasi dan proletariat.

Yang menarik, perkembangan itu bertolak dari rusaknya tatanan yang guyah oleh perselisihan kelas. Bahkan itu dimulai ketika hak milik mengubah ide kepemilikan zaman pertengahan menjadi era yang serba baru tanpa mengubah mode kepemilikan. Dari tani hamba zaman pertengahan lahirlah warga kota yang merdeka, yang merupakan unsur-unsur pertama borjuasi. Ini didukung dengan ditemukannya Amerika dan jalur laut Afrika sebagai prakondisi suatu lapisan baru yang baru tumbuh. 

Di situ ide tentang dagang mengubah cara orang melihat pertukaran, dan dengan itu zaman bergerak.
Analisis Marx dan Engels juga menyertakan bagaimana kaum borjuis berkembang cepat akibat reaksi balik terhadap industri yang bergerak maju, pelayaran, dan lalu lintas kereta api, ketika konsolidasi itu menyapu habis tatanan feodal. Singkatnya, kaum borjuasi jadi kelas yang cekatan dan dengan cepat menjadi kelas dominan menguasai sumber-sumber ekonomi.

Tapi, lamat-lamat borjuasi menjadi ekonomistik. Ia jadi ”momok yang menanggalkan tampang suci semua orang.” Begitu ungkap Marx dan Engels. Borjuasi mengubah dokter, advokat, pendeta, penyair, sarjana, menjadi buruh upahan yang dibayar. Yang suci di abad pertengahan jadi sosor. Semuanya jadi barang dagangan.

Akhirnya, dengan sendirinya, kaum yang membabat habis kekuatan abad pertengahan itu, tiada henti dicela. Imbas borjuasi telah merenggut perasaan yang polos yang sempat dipunyai manusia, menjadi hubungan uang belaka.

Mencela karena itu adalah suatu sikap yang lumrah. Apalagi itu ditujukan untuk mengolok-olok masa yang mengkerdilkan bobot suatu ide baru. Itu harus untuk membuka kemungkinan-kemungkinan perubahan yang terlanjur mapan. Marx bahkan menggunakan cara yang paling horor: hantu komunisme.

Hantu komunisme, yang dinabalkan sedang bergentayangan di langit-langit Eropa itu, segera menjadi momok. Di zaman bergerak, suatu momok adalah batu sandung menjengkelkan. Tapi momok itu penting, sebab pelbagai cara selain rasa horor untuk memukul habis borjuasi memang perlu.

Yang namanya hantu, di manapun adalah sosok yang tidak bisa mati. Dan dengan sikap itu Marx dan Engels memperkenalkan suatu sikap kaum proletariat. Di manapun komunisme bergentayangan, ada rasa takut dan khawatir yang mesti diwaspadai. Dia jadi puaka.

Komunisme tak dinyana akhirnya jadi bola salju. Merembes, menggelinding. Mendorong pendulum sejarah yang bergerak lamban. Sebelum itu sejarah jadi ihktiar yang lurus, dan bahkan kolot. Sejarah seperti iman yang sulit digugat, bahkan sulit diguyah. Untuk itu komunisme jadi marwah banyak orang yang jadi tampin borjuasi. Komunisme akhirnya jadi suluk yang menggugat sekaligus menggugah.

Suatu yang menggugah dengan sendirinya adalah kekuatan yang menggerakkan. Komunisme jadi ikhtiar yang merusak apa yang disebut Marx ”ikatan suci antara kaum padri dan antek-antek intelijen.” Di saat kalimat itu dituliskan, Marx memang menantang golongan yang kepalang angkat bicara tentang komunisme, bahwa ide yang dipandang setengah mata akan jadi suara yang menyeret banyak emosi.

Dan Marx benar. Banyak yang terseret komunisme. Di zaman sesak karena industri, suatu gagasan egaliter menjadi penting. Orang-orang yang telah dipukul rata semangatnya dibangkitkan. Di medan kerja, alienasi yang menipu, dikuak, bahwa itu suatu yang bisa diubah.

Tabiat manusia memang kerja, tapi tidak dengan paksaan. Biar bagaimanapun, kemerdekaan merupakan satu-satunya yang membuat manusia jadi agung. Bukan sekedar ketika semuanya dihitung berdasarkan upah. Sejarah yang awalnya milik tuan-tuan borjuis diseret, dicela, dikritik, dan akhirkan dilongsorkan.

Maka, disitulah pentingnya dialektika materialisme atas sejarah. Rumus paten dari hantu yang membangkitkan asa itu. Kebutuhan manusia dalam jejaring produksi tidak selamanya milik kaum borjuis. Dalam jejaring kaitmengait itu, hidup manusia ditentukan dengan bagaimana ia mengerahkan tenaganya untuk berproduksi. Sementara di satu sisi, kegiatan berproduksi tidak bisa dipaksakan oleh sistem kerja hirarkis, melainkan usaha yang setara bagi setiap manusia. Sebab itulah penghisapan kerja harus diubah menjadi pembebasan. Kaum proletar harus bangkit melawan.

Dengan itu Marx dan Engels bicara tentang suatu masa yang revolusioner, yakni buruh-buruh yang tidak terburu-buru keinginan tanpa dasar ilmiah. Butuh suatu yang terang, yang disebut Marx sebagai kesadaran kelas pekerja. Melalui itu, kapitalisme akan dilihat sebagai batang tubuh yang selamanya tidak kuat belaka, tapi dia sosok yang juga bisa roboh. Karena kapitalisme sebenarnya, seperti tubuh, punya penyakit, punya cacat bawaan: kontradiksi internal.

Tapi tidak sendirinya kapitalisme tumbang. Dia memang nanti jadi reyot, tapi sejarah harus dirampas dengan cara revolusi. Itulah perlunya perjuangan kelas, dengan maksud untuk waktu yang disebutnya ”harus dimenangkan.”  

Marx dalam German Ideology menyatakan komunisme bukan keadaan yang diciptakan, melainkan gerakan nyata yang menggantikan keadaan sebelumnya. Itu berarti komunisme bukan sekadar cita-cita, tapi keharusan argumentatif hukum-hukum objektif.

Itulah mengapa, manifesto yang banyak digandakan kepelbagai bahasa itu, yang azimat itu, banyak menyindir sosialisme-sosialisme gadungan. Sosialisme yang bicara tanpa dasar objektif apapun. Sosialisme yang masih menyimpan kerinduan tentang masa feodal. Atau bahkan sosialisme yang disebut dalam dokumen itu sebagai sosialisme borjuis.

Literasi Manifesto komunis, bukan diperuntukkan bagi sosialisme setengah hati. Tapi sosialisme sejati yang didasarkan kepada hukum-hukum ilmiah, kesadaran kelas, dan perjuangan dalam konteks kepartaian. Bahkan semua itu tidak bisa dimulai tanpa teori revolusioner. Hanya dengan itu komunisme jadi radikal. Hanya dengan cara itulah perubahan jadi mungkin.

Maka seperti azimat manifesto komunis jadi pusaka.

Pada akhirnya, yang membaca manifesto pasti menyadari siapa yang harus terlibat dalam kerja-kerja revolusioner. Dia memang seperti azimat, semua mengyakini pasti takzim, dan tentu jadi sakti. Kaum buruh di manapun, bersatulah.