Tuhan, ultimate being yang
diagungkan manusia, dalam sejarah, barangkali adalah pusat kesengsaraan. Minggatnya Adam dan Hawa dari surga menuju kefanaan di bumi, adalah peristiwa pertama tuhan membangun sengsara di kalbu manusia. Diturunkannya
pasangan pertama manusia ke alam yang ad dunya, menandai asal
muasal kesengsaraan pertama bagi manusia.
Dengan begitu, sejak semula, tuhan
telah menulis sejarah manusia dengan suatu keadaan asal berupa
kesengsaraan. Melalui itu, Adam dan Hawa memulai kehidupan pertama manusia.
Itulah barangkali, mengapa agamaagama identik dengan peristiwa kesengsaraan. Bahkan, tradisi agamaagama
Ibrahimik menempatkan kesengsaraan sebagai pemantik kesadaran.
Ayub, nabi
yang menderita tubuh bopeng, Ibrahim penderitaan berpisah dengan sanak keluarga, Yesus, putra Bethlehem yang
tabah menderita di atas kayu salib, dan Muhammad yang dihujat dan diasingkan
dari keluarga dan masyarakatnya, merupakan penanda historik bagaimana
kesengsaraan adalah bagian inheren dari suatu iman.
Mungkin demikianlah sehingga tujuan
manusia mengenal penderitaan atas tuhannya adalah untuk menemukan kebahagiaan.
Agama sebagai role model yang menjadi institusi
merupakan media tuhan dalam memberikan peta untuk menemukenali kebahagiaan.
Melalui itu, kesengsaraan yang dimulai dari awal kehidupan, dicobakan untuk
dihindari oleh manusia. Semenjak manusia memulai kehidupannya yang sengsara, ia
senantiasa harus menggunakan agama untuk keluar dari penderitaannya yang telah
ditanggung sejarah.
Kisah Ayub dan Yesus merupakan simbolisme bagaimana tubuh manusia begitu
rentan dengan penderitaan. Tubuh menjadi arena kesakitan melalui hukum biologis
dan ideologis. Penderitaan melalui marka biologis bisa datang dengan luka yang
menganga, sayatan yang menggores kejam, penyakit yang berkepanjangan, kelaparan
tiada ujung, dan bisa juga adalah robekan tubuh atas perang antar manusia.
Melalui itu semua, tubuh tidak merdeka di tengahtengah ancaman kesengsaraan.
Kesengsaraan melalui marka
ideologis, seperti yang dialami Yesus di bawah rezim tiran, ditandai dengan
inferioritas tubuh atas kekuasaan yang memaksakan kehendaknya. Salib yang
diperuntukkan oleh Yesus adalah instrumen kesengsaraan yang digunakan kekuasaan
untuk menciptakan rasa sakit. Kayu, paku pasak, cambuk, dan palu, merupakan
perwakilan superioritas kekuasaan untuk menciptakan kesengsaraan bagi tubuh
yang inferior. Di peristiwa itu, ada penegasan bagaimana ideologi
kekuasaan menjadi sumbu dari kesengsaraan tubuh.
Rasa sakit, luka, kecewa, gelisah,
dan pedih tidak saja datang dari penyakit dan kekuasaan, tapi juga bisa muncul
dari diri manusia sendiri. Bahkan penderitaan, tidak saja berasal dari genetika
sejarah Adam dan Hawa, melainkan juga merupakan genetika yang sudah bekerja
dalam struktur perasaan manusia. Begitu juga kebahagiaan yang diyakini
sebagai tujuan paripurna manusia, tidak bisa berarti tanpa adanya kesengsaraan.
Dengan kata lain, manusia baru bisa menemukan dirinya yang bernilai dari dua
sumbu dialektis antara kesengsaraan dan kebahagiaan.
Cinta diyakini manusia sebagai
instrumen kebahagiaan. Melalui cinta manusia mencari kebahagiaan. Bahkan
dengan cintalah manusia merasa bahagia. Agamaagama juga menabalkannya demikian.
Tapi, sesungguhnya tidaklah demikian, justru cintalah yang sesungguhnya
merupakan kekuatan inheren manusia yang menyebabkan penderitaan. Cintalah gen
aktif dalam manusia itu sebagai biang kesengsaraan.
Cinta sebagai akar emosi dari
penderitaan didaku Frederich Nietzsche sebagai peristiwa yang memulai kesengsaraan
manusia. Cinta yang selalu memuat harapanharapan ideal, dipercakapkannya
hanyalah merupakan tujuan yang membuat jarak yang panjang antara kenyataan dan
harapan. Nietzsche menabalkan tiada suatu harapan mutlak yang dapat diraih
manusia, melainkan sebenarnya tak ada suatu cita yang menjadi telos bagi
manusia. Justru, telos itulah yang menciptkan kesengsaraan di
dalam diri manusia. Ini berarti kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia hanya
ilusi yang menciptakan kesengsaraan itu sendiri.
Agama yang mengandung doktrin
eskatologi, dengan begitu, malah menciptakan dengan sendirinya
kesengsaraan abadi dari tujuan yang ditetapkan semenjak awal. Kebahagiaan
sebagai tujuan akhirnya, secara paradoksal malah menciptakan kesengsaraan bagi
manusia. Dengan begitu, kesengsaraan adalah kenyataan yang harus ditanggung
jika manusia telah beragama. Bahkan dalam agama, keabadian kesengsaraan
menegaskan bahwa manusia memang harus bersedia akrab dengan penderitaan.
Tapi memang tiada iman tanpa
kesengsaraan. Nietzsce boleh saja percaya bahwa telos dalam
doktrin apapun adalah sumbu dari kesengsaraan. Hanya saja, justru ketabahan
terhadap kesengsaraan adalah suatu kualitas iman yang menjadi ukuran seberapa
setia manusia pada keyakinannya. Kesengsaraan manusia dengan begitu bukan harus
dienyahkan, justru dianjurkan untuk bersetia dengannya. Maka kesengsaraan yang
kerap membawa penderitaan berkepanjangan, merupakan sahabat sejati manusia.
Setia terhadap kesengsaraan barangkali
dengan sendirinya adalah esensi dari iman. Kisah Ayub, Ibrahim, Yesus, dan
Muhammad merupakan suatu peristiwa bagaimana kesengsaraan menjadi bagian dari
iman. Kesengsaraan dalam konteks penderitaan adalah jembatan “sang aku” untuk
memberikan bukti terhadap keyakinannya. Sebab iman yang tak melewati
penderitaan dan cobaan adalah iman yang rapuh. Rasa sakit, kecewa, dan sedih
adalah stasiunstasiun untuk membangun iman yang kokoh. Tanpa itu, suatu iman
sulit teruji dalam suatu agama.
Syahdan, barangkali itulah yang
akhirakhir ini sering terjadi, di bangsabangsa yang sedang berkecamuk perang,
suatu iman tengah diuji atas penderitaan bertubutubi. Lantas bagaimanakah
negerinegeri yang tentram tanpa perang? Apakah iman di sana adalah suatu wujud
yang rapuh? Barangkali, iman juga bisa diuji di saat manusia bebas dari
sengsara. Barangkali.