Toilet, tempat yang sering kali tersisihkan
dari imajinasi ruang, sebenarnya adalah optik antropologi manusia.
Maksudnya, toilet, sepetak ruang yang selalu "disudutkan" itu, bisa
menjadi parameter kebudayaan manusia.
Di pemukiman kumuh, toilet adalah tempat yang
miskin dari arsitektur canggih. Toilet sering kali jadi ruang tersembunyi yang
luput dari perhatian. Ini sebenarnya, disebabkan oleh situasi masyarakat bawah
yang tak diperantarai basis pengetahuan tentang ruang yang layak. Sebab itulah,
toilet hanya dilihat sebagai tempat tanpa embelembel, tetapi malah gembel.
Ketika toilet tampak gembel, dengan
sendirinya akan berimplikasi terhadap durasi waktu di saat berada di dalamnya.
Di dalamnya, aktivitas membersihkan tubuh, misalnya, akan dilakukan dengan cara
terburuburu. Sebab di dalam toilet yang kotor, aktivitas apapun akan dilakukan
dengan tidak nyaman. Dengan demikian, di dalam toilet, manusia akan tampak
sebagai mahluk yang tidak estetis. Kebersihan dan tubuh yang sehat adalah dua
hal yang tak dapat dipenuhi dari toilet yang buruk.
Artinya, bagi masyarakat pemukiman kumuh, toilet adalah tempat
yang bisa jadi sumber penyakit. Bagaimana tidak, toilet sebagai tempat untuk
memuliakan tubuh yang bersih, alihalih menjadi tempat kesehatan bermula, malah
jadi tempat yang tidak manusiawi. Dengan kata lain, toilet dipemukiman kumuh,
adalah satu bagian dari sumbersumber penyakit bersarang.
Lain halnya masyarakat kelas atas, toilet
sudah menjadi bagian dari ruang yang manusiawi. Karena bersifat manusiawi,
toilet dianggap menjadi tempat yang mesti nyaman, sehat, dan indah. Artinya,
dari imajinasi ruang hunian, orangorang kelas atas melihat toilet sejajar
dengan ruang intim. Itulah mengapa hampir di rumahrumah mewah, toilet
dipadupadankan di dalam kamar tidur, misalnya.
Sementara di terminal, pasar ataupun tempat
umum lainnya, toilet malah menjadi ruang yang anarkis. Banyak kita dapati, di
tempattempat semacam itu, toilet jadi tempat yang anti kemanusiaan. Di sana
toilet diperlakukan semenamena hingga nampak tak ada perlakuan yang layak.
Walaupun awalnya toilet dibangun dengan baik, tapi pada akhirnya ia jadi ruang
yang tak laik.
Dengan begitu di tempat umum, toilet jadi
ruang bersama yang absen dari nalar publik. Sebab, sebagai ruang bersama,
toilet ada demi memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk membuang hajat. Namun
sayang, toilet di ruang publik, sering kali diacuhkan dibandingkan dengan
tempattempat lain, sehingga minim perawatan dan penjagaan.
Namun berbeda halnya sebagaimana di mallmall
misalnya, toilet juga dapat dilihat dalam hubungannya dengan aktivitas
konsumsi. Bagi masyarakat konsumer, toilet harus dibuat nyaman untuk
aktifitasaktifitas sekunder manusia. Alasannya adalah kenyamanan berkonsumsi,
harus dibarengi dengan kenyamanan saat di dalam toilet. Artinya, toilet yang
baik adalah toilet yang bisa menunjang aktifitas masyarakat hight
consumption.
Itulah mengapa, sebagai ruang publik, toilet
bisa jadi ukuran kelas masyarakat. Di pasar, terminal, atau di tempattempat
masyarakat lapis bawah beraktifitas, toilet hanya diberlakukan seadanya. Di
sana, toilet jadi gambar betapa masyarakat bawah masih diperlakukan semenamena.
Bukan saja biasanya tak difasilitasi pengelola, tetapi juga penggunaan toilet
tak disertai pengetahuan sanitasi yang baik dari masyarakat.
Sementara di mallmall yang mewah, di mana
kelas bawah disisihkan, toilet diperagakan sebagai bagian dari perputaran
modal. Untuk itulah toilet dikelola dengan baik, dibersihkan tiap saat, dan
dijaga tiap waktu. Jadi, tak seperti toilet kelas bawah, di situ tak ditemukan
air yang mapet, atau closet yang busuk. Semuanya jadi bagian untuk melayani
publik.
Psikoanalisis sekaligus kritikus budaya abad
dua puluh asal Slovenia, Slavoj Zizek, punya pandangan yang nyentrik tentang
toilet. Dari yang dipercakapkannya, perilaku manusia di dalam toilet
sesungguhnya mencerminkan alam bawah sadar suatu komunitas. Dia mau bilang
bahwa, perilaku orangorang di toilet adalah refleksi dari ideologi yang
tersembunyi. Dia mempercakapkan orangorang Jerman, misalnya, senang berlamalama
di hadapan fesesnya sebagai sikap kontemplatif kebudayaannya. Berbeda dari
orangorang Amerika ataupun Inggris, yang lebih senang menegelamkan fesesnya
karena sikapnya yang pragmatis.
Lalu, bagaimana dengan orangorang Indonesia?
Orangorang Indonesia barangkali adalah tipe manusia yang paling sulit ditebak.
Jika di muka umum kesannya menjadi pribadi yang toleran, murah senyum, dan
bertutur kata baik, tapi tidak di dalam toilet. Di dalam toilet, orangorang
Indonesia jadi pribadi yang permisif; sulit bertindak bersih, atau bahkan
cenderung merusak. Di dalam toilet, orangorang Indonesia jadi pribadi yang
begitu berbeda.
Jika sudah begitu, orangorang Indonesia jadi
manusia yang hipokrit. Melalui toilet, ruang yang sering kali jadi sudut rumah
itu, orangorang Indonesia menampakkan citra aslinya. Di dalam sana, tak ada
yang disembunyikan, sebab dari perlakuan orang Indonesia, toilet jadi kanvas
kebudayaannya. Bisa benar, juga salah, apabila Zizek bilang perilaku kebudayaan
bisa ditelusuri dari jendela toilet. Namun jika ingin membuktikan ucapan Zizek,
maka saya sarankan, berlamalamalah di dalam toilet.
---
*Di muat di harian Tempo Makassar, Rabu, 18
November 15