Langsung ke konten utama

perempuanperempuan bergincu merah

Apa yang paling mencolok dari cara berpenampilan perempuanperempuan generasi dulu dengan perempuan masa sekarang? Tentu banyak hal, tapi yang paling mencolok adalah bibir dengan gincu merah.

Itu adalah mode, tapi barangkali mode juga bisa berarti suatu yang politis.

Seperti yang dibilangkan teoriteori kebudayaan, tubuh selalu menjadi arena kekuasaan. Tubuh yang semula bagian pribadi yang intim, akhirnya harus direnggut dari kekuasaan sang aku. Tubuh menjadi iconik, tubuh menjadi pasar, di mana di situ yang ideologis bekerja untuk mengontrol dan mendominasi. Di saat itulah sesuatu yang politis bekerja.

Foucault misalnya, mengurai selaput tipis yang implisit antara dominasi pengetahuan dan kekuasaan, bahwa di mana setiap wacana yang menjadi diskursus selalu terselubung kekuasaan di dalamnya. Maksudnya, tubuh yang didominasi tak dapat bermula dari pewacanaan tentang tubuh. Artinya, tubuh yang menjadi dominasi kekuasaan selalu sebelumnya ditopang perangkat pengetahuan yang menjadi acuan bagi suatu kepentingan. Di sini, mengapa tubuh menjadi ihwal yang penting, sebab hampir di sepanjang waktu, tubuh senantiasa dinarasikan dalam konteksnya yang ideal.

Dan, tubuh ideal juga menjadi iconik adalah tubuhtubuh yang diperagakan dalam media massa. Di media massa, kita bisa takjub bagaimana tubuh dibentuk untuk mencapai bentuk yang ideal, namun sudah merupakan hal yang patut dicurigai bahwa yang ideal di masa sekarang sesungguhnya adalah sesuatu yang sarat kepentingan.

Mary Douglas adalah orang yang membagi tubuh menjadi dua anasir. Pertama tubuh sebagai individual body, dan yang kedua adalah the body politic. Dari pendakuannya, tubuh adalah lantai kaca yang mendasari sebuah kebudayaan tampak di atasnya, yakni pada anasir yang ke dua, tubuh sebagai the body politic adalah tubuh yang dibentuk oleh kebudayaannya. Artinya, tubuh dalam konstelasi media massa, adalah tubuh yang disesuaikan dengan kategorikategori kebudayaan massa itu sendiri.

Tubuh sebagai The body politic itulah yang mengandung visualisasi tentang tubuh yang ideal. Dan tubuh dalam konteks ini adalah tubuh yang harus mengcover tigal kategori sosial; kemudaan, kecantikan, dan kebugaran.

Itulah mengapa tubuh  mesti dirawat, dijaga dan dipercantik. Perempuanperempuan muda punya semacam keharusan moral untuk bisa memperagakan ketiga kategori itu, di mana tubuh harus dikemas dalam citra visual yang menarik. Di mana salah satunya adalah bibir dengan gincu merah itu, yang menjadi penanda kemudaan dan kecantikan yang sebenarnya bisa jadi adalah sesuatu yang politis.

Warna merah secara simbolik memang bisa menandai suatu perlawanan terhadap kekuasaan tertentu, namun bibir dengan gincu merah justru adalah tanda yang lain.

Dewasa sekarang, bibir dengan gincu merah adalah social code untuk mendefenisikan ideal type tentang kecantikan. Perempuanperempuan muda, selain dengan tatanan pikirannya yang telah terlucuti oleh media massa, juga mengalami “pendisiplinan” tanpa sadar melalui wacana kecantikan yang dipolitisir. Di sini kecantikan adalah sesuatu yang bermakna konvensi, sehingga karena itulah ia politis, sesuatu yang diimajinasikan menurut kepentingan tertentu.

Lewat imajinasi kecantikan itulah, perempuanperempuan muda mengambil bentuk tubuh sosialnya, yakni tubuh yang dipresentasikan secara simbolik untuk tampil ideal. Di mana, dari itu kita barangkali menyadari bahwa gincu tebal yang berwarna merah adalah salah satu syarat dari ideal type itu sendiri. Jadi bila di dalam dunia politik merah secara sinonim ditandai dengan perlawanan dan keberanian, maka bibir dengan gincu merah adalah bentuk perempuanperempuan yang memiliki kesan modis dan sensual.

Imajinasi yang modis dan sensual, seperti yang dibilangkan Yasraf sebenarnya adalah bagian dari pop culture yang dipraktikkan di dalam budaya konsumen. Melalui imajinasi yang telah dilokalisir menjadi populer, akan disusul dengan sendirinya kepada aktivitas konsumsi. Itulah mengapa perlu iklan, karena di sanalah dibangun imajinasi untuk mendorong tindak konsumtif.

Iklanlah yang paling ideologis saatsaat ini; menelusup sampai kepada kesadaran untuk selalu terus menjadi apa yang diimajinasikan. Dan perempuanperempuan dengan gincu merah, saya kira adalah orangorang yang taat menganutnya.

Syahdan, itu memang mode, dan barangkali mode juga bisa berarti suatu yang politis.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...