Membaca Eka Kurniawan
Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi |
NAMA Eka Kurniawan kali pertama saya temukan melalui salah satu blog di dunia maya. Bisa dibilang, dari blog itu pertama kali saya mengenal sastrawan yang berkacamata ini. Dari blog itu juga saya bisa tahu ternyata Eka Kurniawan seorang satrawan yang sedang naik daun.
Saya melihat dari blog yang
sama, salah satu bukunya; Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan
Cinta Melalui Mimpi. Saat itu, disertai tulisan yang mengulas karyanya ini,
blog itu berhasil membuat saya penasaran untuk membaca karya-karyanya.
Sebenarnya, nama Eka
Kurniawan tak begitu saya ketahui. Selain saya bukan pembaca karangan sastra
yang baik, saya juga tidak banyak bersentuhan dengan perkembangan diskursus sastra. Tapi melalui blog yang saya baca, akhirnya saya bisa mengetahui
bahwa Eka ternyata punya situs pribadi. Dari website itulah saya berusaha
berkenalan dengan Eka melalui tulisan-tulisannya.
Perkenalan saya yang
berkesan terhadap Eka sejatinya melalui buku kumcernya. Tentu buku yang
diposting di dalam blog yang saya katakan tadi; Perempuan Patah Hati
Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Melalui buku itulah saya
bersentuhan langsung dengan kepengarangan Eka. Dan dari kumpulan ceritanya di
buku itu, saya merasa harus memiliki buku-bukunya yang lain.
Maka mulailah saya mencari
tahu buku-buku karangan Eka. Ternyata sebelum Perempuan Patah Hati Yang
Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, sudah ada beberapa buku diterbitkan
Eka. Dari situ mulailah saya mengoleksi karangan-karangannya, dimulai
dari Cantik Itu Luka hingga novel terakhirnya; Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dengan juga buku kumcernya yang
lain; Corat-Coret di Toilet.
Akhirnya mulai saat itu,
ada dua sumber saya untuk membaca tulisan-tulisan Eka; Journalnya dan
karangan-karangan kumcer dan novelnya.
Bisa dibilang saya
terlambat mengetahui sastrawan ini, tapi dengan membaca hampir semua
terbitannya; dimulai dari Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan
Cinta Melalui Mimpi dst., saya seperti kecanduan
terhadap tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan novelnya, sebab cerita-cerita
yang disuguhkannya adalah suatu teks yang menolak sempurna, dalam arti suatu
cerita yang dibangunnya tak selamanya ingin mengafirmasi suatu dunia yang
bersih dari cacat. Melalui kesan inilah saya selalu senang membaca karangan
sastranya.
Kesan semacam itu saya
rasakan di saat pertama kali membaca novel pertamanya; Cantik Itu Luka. Novel
yang hampir 500 halaman itu tak sekalipun menampilkan suatu figur yang
sempurna. Begitu juga dari penceritaan latar belakang tokoh-tokoh utamanya,
dari orang semisal Ayu Dewi, Sudancho maupun lainnya, merupakan simbol
bagaimana suatu nasib manusia begitu jauh dari kesan lengkap dan ideal.
Nampaknya penggambaran figur-figur dalam Cantik Itu Luka memang
dikesankan Eka bermain antara dua ekstrim baik dan buruk, di mana suatu saat
ada tokoh yang begitu dipuja tetapi di lain waktu dengan masa yang berganti,
suatu tokoh bisa menjadi figur yang berkarakter cacat.
Dan novel terakhir Eka yang
saya baca adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Di
novel itu ada Ajo Kawir, yang bisa dibilang tokoh utama yang melaluinya Eka
berbicara bagaimana suatu tatanan moral (perhatikan dua polisi dalam
cerita itu) didekati melalui penyakit impoten. Dari penyakit impoten, Eka ingin
membuka selubung kesadaran kita bahwa suatu penyakit tak selamanya “penyakit.”
Dengan cara lain, melalui penyakit yang di derita Ajo Kawir, manusia dengan
segala persoalannya dan kekurangannya merupakan mahluk yang punya dua bibir;
bibir yang selalu berbicara kebaikan dan bibir yang mengambil kebaikan melalui
cacat yang dialami. Dengan ungkapan lain, Eka ingin berbicara dengan tanpa
menghimbau dan berkhotbah, melainkan dari aspek yang paling manusiawi, ia ingin
berangkat dari cacat untuk memahami apa yang bisa diambil dari peristiwa itu.
Kesan yang sama adalah juga
unsur yang tak hilang dari dua novelnya yang lain; Cantik Itu Luka dan Lelaki
Harimau. Di sana selalu ada penggambaran watak dan sifat manusia yang
tak utuh. Bahkan manusia adalah mahluk yang selalu berada pada dua
peririsan baik dan buruk. Yakni mahluk yang mengalami beragam peristiwa yang
ideal dan sial. Dengan gagasan semacam itulah, saya melihat karakter
tokoh-tokohnya selalu digambarkan sebagai manusia yang tak utuh, yang tak ideal.
Dengan cara inilah saya
kira, Eka ingin merepresentasikan dunia manusia yang sebenar-benarnya. Dan itu
sangat terasa dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas,
seperti misalnya Eka berbicara tentang seks sekaligus laku sufi dari Ajo Kawir.
Dua kontras yang diramunya dalam ironi dan parodi.
Di luar dari itu, Eka
adalah penulis yang taat. Persentuhan saya dengan Journalnya,
ketaatan itu dipertahankannya dengan menulis peristiwa-peristiwa yang
dialaminya setiap hari. Dari perspektif ini saya bisa mengatakan bahwa Eka
punya dua medan menulis; Journal yang berisikan refleksi dan
pandangan-pandangannya seputar sastra serta karya ceritannya, baik kumcer
maupun novelnya.
Dari Journalnya,
saya terkesan dengan daya jelajah Eka terhadap sastra. Eka seperti sudah
berkeliling dunia dengan berkunjung pada sudut-sudut terpencil, bisa
dibilang melalui Journalnya, peta sastra dunia dibentangkan
seluas-luasnya. Banyak sastrawan yang ia sebut di sana adalah bukti bagaimana
dunia sastra begitu digelutinya. Dan ini yang membuat ia bisa dibilang sebagai
tempat referensi dunia sastra.
Melalui Journalnya,
saya bisa banyak menimba wawasan seputar sastra di sana. Maka, seperti yang
diharapkann Seno Gumira, perkembangan sastra Tanah Air salah satunya sangat
bergantung dari pria ini. Maka saya kira Eka Kurniawan punya kutukan; membangun
takdir sastra Tanah Air.