Namun
aku tak bisa menghakimi situasiku sendiri; aku telah menghabiskan sebagian
besar hidupku menantang keabadian dan karena itu aku tak mengerti apaapa. Aku
tak kehilangan apaapa: meski banyak hal seharusnya kurindukan, seperti rasa manzanilla atau
waktu yang kuhabiskan berenang di sungai kecil di dekat Cadis saat musim panas
tiba- sayangnya kematian telah mengeruhkan segalanya.
Seperti itulah Sartre
menulis bait dalam cerita pendeknya, The Wall. Cerita pendek yang diterbitkan
di 1933. Ungkapan itu adalah ungkapan Ibbieta, salah satu tokoh yang
genting menghadapi waktu ekseskusi kematiannya. Ibbieta tak sendiri, ia bersama
dua tokoh lainnya yang mengalami hal yang sama untuk ditembak mati; Juan dan
Tom. Diceritakan di sana, baik Ibietta, Juan dan Tom adalah tahanan yang tanpa
melalui peradilan harus menerima keputusan eksekusi mati. Kesalahannya
masingmasing adalah menyembunyikan tokoh pemberontak, terlibat gerakan
subversif dan merupakan bagian keluarga dari seorang pengagum anarki.
Melalui tiga tokoh ini,
nampaknya Sartre berusaha menyampir pandangan eksistensialisnya dalam kaitannya
dengan kematian. Di cerpen yang lumayan panjang itu, dari sikap tokohtokohnya,
saya bisa menangkap suatu sikap eksistensial bagaimana manusia tengah menghadapi
batasanbatasan keberadaannya. Suatu sikap yang menyadari bahwa kebebasan secara
eksistensial berhadapan langsung dengan keadaan yang tak dapat dilampauinya.
Pertama, Sartre mengangkat metafora tahanan sebagai keadaan yang melingkupi
eksistensi, dengan tembok sebagai perbatasan antara kebebasan dan
keterpenjaraan. Dan yang ke dua adalah kematian itu sendiri.
Kematian, biar bagaimanapun
adalah kepastian yang tak bisa disisihkan dalam belantara nasib manusia. Ia
bisa saja terselip dalam suatu momen hidup yang tak disangkasangka. Datang
diantara beragam pengalaman yang rupamacam dan dengan suatu kekuatan purba
memutus semua mata rantai tepat di tengahtengah ketidaktahuan kita. Kemudian
pergi membawa keberadaan kita dan hanya menyisakan tubuh yang tertinggal waktu.
Sebab itulah kematian adalah ihwal yang misterium. Fenomena yang tak memiliki
riwayat identitas. Datang dan kemudian tetiba pergi. Kematian memanglah
kematian.
Tapi bagaimanakah jika
ujung dari keberadaan kita sudah merupakan terang yang benderang. Di mana suatu
pagi yang belum biru seluruh adalah akhir dengan harus melalui cara letusan
pelor panas. Begitulah nasib tiga tokoh yang diungkap Sartre dalam ceritanya;
ditembak mati. Takdir yang harus diputuskan tanpa pengadilan. Kematian yang harus
di lalui di suatu pagi. Sementara sebelumnya tersisa satu malam sebagai
waktu yang tersisa jelang eksekusi.
Dan di dalam masa penantian
itu, waktu adalah medium eksistensi untuk dihayati tiap momennya. Di sanalah
kesadaran terhadap waktu nampak di dalam penghayatan, menjadikannya bagian yang
dikontruksi kembali untuk diselami. Di situasi itu, barangkali manusia menjadi
mahluk yang berbeda, menjadi mahluk yang mewaktu.
Seperti itulah yang dialami
oleh Ibbieta dalam menunggu kematiannya. Di malam menjelang kematiannya, dengan
segenap kesadarannya, waktu dikonstruksinya menjadi totalitas yang menegasi
liniearitas spasial. Waktu dimasukinya dengan aliran kesadaran penuh yang
dibentangnya dengan seluruh totalitasnya. Dalam keadaan ini ada dua hal yang
menjadi ciri eksistensi manusia; kecemasan dan ketakutan. Tetapi hanya kecemasanlah
yang mengindikasikan esensialitas manusia sebagai penanda kebebasannya.
Mengacu dalam pemikiran
Heidegger tentang kecemasan, adalah keadaan paling dasar dari perasaan yang tak
memiliki kejelasan atas objeknya. “Objek rasa cemas bukanlah mengada di dunia
ini. Karena itu rasa cemas pada hakikatnya tidak memiliki isi persoalan”
ungkapnya. Melalui ciri ini, kecemasan merupakan perasaan yang berbeda
dari ketakutan yang menjadi bagian dari keseharian. Ketakutan selalu
mengandaikan kepastian yang tampak benderang sebagai konsekusensi atas
tindakan, sementara kecemasan adalah peristiwa yang tak mampu memproyeksi
keadaan apa yang dihadapi; suatu keadaan di hadapan ketidakpastian yang tak
terjelaskan; suatu misterium tanpa dasar. Sebab itulah kematian yang di hadapi,
walaupun sudah merupakan suatu peristiwa yang akan di hadapi, tetap merupakan
ihwal yang tak memiliki isi. Dan “sesuatu yang tak memiliki isi” itulah yang
dihadapi Ibbieta.
Begitu juga yang dialami
oleh Tom; suatu kesadaran yang dimunculkan semenjak ia merenungi waktu sebagai
selaput tipis yang akan membawanya pada kematian. Nampaknya di dalam cerpen
ini, watak yang paling menunjukan bagaimana kesadaran eksitensial di narasikan
Sartre adalah pada tokoh ini; seorang aktivis yang terlibat dengan gerakan
pemberontakan. Di masa penantian di dalam penjara, pasca perbincangannya dengan
Ibieta menyangkut kematian, melalui kecemasannya ia mengajukan pertanyaan;
benarkah bahwa semua hal dalam hidup ini akan berakhir?
Di cerita itu tak ada
jawaban untuk pertanyaan yang diajukan Tom. Sepertinya hal itu dibiarkan
menganga tanpa dialog dari Ibbietta yang bisa saja dijawabnya. Dialog itu
mengibaratkan suatu perbincangan yang siasia, tanpa arti, sebab barangkali
“akhir” bukanlah pokok yang menjadi soal utamanya. Dari filsafat Sartre
kita bisa tahu, “akhir” sama saja sebagai suatu batas yang secara paradoksal
menganggap “permulaan” sebagai titik muasal manusia.
Karena itulah dalam cerita
itu, Sartre mengawali setting cerita dengan ketiga tokoh yang begitu saja
dilempar ke dalam ruangan besar sebagai penjara bagi mereka. Melalui narasi
semacam itu, manusia ingin digambarkan oleh sahabat Albert Camus ini
sebagai mahluk yang “terlempar” begitu saja ke dunia tanpa niat sebagai
dasarnya. Ada dengan “terlempar” begitu saja, tanpa asalusul, tanpa
riwayat. Semacam kehadiran yang tidak didasari oleh basis metafisika seperti
agamaagama dengan menyebutkan asal muasal dari suatu peristiwa dua manusia asal
yakni Adam maupun Hawa.
Tidak seperti agamaagama
yang menyertakan asalasul sebagai riwayat kehadiran dalam sejarah, Sartre
mengandaikan dengan demikian tak ada alasan untuk mengkhawatirkan suatu
akhir, termasuk kematian. Sebab “kematian
menyingkirkan semua makna dari kehidupan” sebutnya. Maka itulah eksistensilah
yang harus menjadi pusat mengada manusia, bukan kematian itu sendiri.
Syahdan,
di akhir cerpen ini, hanya Juan dan Tom yang menjalani eksekusi mati. Sementara
Ibbieta harus menanggung suatu tragedi yang tak disadari adalah hasil dari
perbuatannya. Di akhir cerita itu, Ibbieta jatuh tertawa sekaligus berurai
airmata setelah mendapat kabar bahwa orang yang disembunyikannya ditangkap
hanya dengan petunjuk bocorannya yang sebenarnya adalah guyonan terhadap
petugas. Tak disangka tempat yang asal sebut itulah ternyata tempat
persembunyian orang yang ia lindungi. Itulah akhirnya ia bebas, sementara orang
yang ditangkap berkat informasi guyonnya harus menanggung ekseskusi mati.