Langsung ke konten utama

madah limapuluhdua


Tak saya duga sebelumnya, di Soho, pusat perbelanjaan di tengah London yang terkenal itu, ada dua tempat yang secara historis mengingatkan kita pada komunisme. Di pusat perbelanjaan itu, yang banyak menjual produk merekmerek terkenal dunia, terdapat sebuah gedung yang pernah ditinggali Marx semasa di Inggris. Juga sebuah restoran Cina yang menggantung perkataan pimpinan revolusi negeri Tiongkok, Mao, di depan pintu masuknya sebagai semboyan barangkali, "barang siapa tak kuat memakan cabe, maka dia bukanlah seorang yang revolusioner". Ini suatu yang unik, juga sesuatu yang sesungguhnya kontras.

Soho di kota London, dari masa lalu adalah tempat dengan sejarah yang panjang. Tapi ringkasnya, di sana dulunya adalah tempat tinggal kaum pekerja. Di Inggris ketika revolusi industri pecah dan bergaung besar, saya kira tempat itu adalah tempat yang tak berpenanda kemakmuran. Seperti tempat kumuh umumnya, Soho pastinya adalah tempat yang tak terawat, tempat yang kotor dan tak terurus.

Di tempat itulah Marx tinggal selama di Inggris. Melarat dan kemudian mati. Dan di situlah kontrasnya, di mana Soho yang dulunya adalah tempat kumuh kelas pekerja, kelas yang dibela komunisme, kini adalah tempat pusat perbelanjaan yang glamour,  tempat di mana kiblat suatu gaya hidup kelas atas.

Di tempat yang glamour itu, nampaknya kehidupan tak pernah berhenti. Seperti tempat hiburan lainnya, di Soho, orangorang datang dan berkumpul untuk menghimpun sekaligus melepas hasrat untuk mengkonsumsi. Mengisi bangunanbangunan tinggi dan pulang dengan hati yang tak sungsang.

Saya tak pernah ke Soho, tapi dari fotofoto yang saya lihat melalui jejaring internet, saya bisa tahu bagaimana suatu ruang yang muram dapat dengan cepat berubah total menjadi tempat yang tak pernah berhenti menyedot kapital.

Mungkin penjelasan tentang ihwal itu adalah bagaimana betapa kuatnya pertukaran modal dapat menjadi sumbu suatu perubahan. Ruang biar bagaimanapun, seperti yang dibilangkan Levebre adalah keberadaan yang termuati kepentingan di dalamnya. Ruang biar bagaimanapun, di saat kapital begitu gesit berputar, adalah media yang sungguhsungguh dahsyat menggerakkan urbanisasi.

Ruang, di dalam pandangan Levebre sebenarnya adalah realitas yang sesungguhnya tak suci dari perbuatan manusia. Ini artinya ruang adalah realitas yang diproduksi manusia secara sosial. Di dalam pengertian ini, ruang berarti realitas yang secara kontinyu terbentuk atas dasar modalitas yang terus menerus dipertukarkan.Di saat itulah ruang akhirnya menjadi entitas yang sarat kepentingan. Di saat itulah ruang terus diproduksi berdasarkan imajinasi yang menyertainya.

Sebab itulah Levebre menyebutnya ruang yang telah dipolitisasi. Dalam istilah sosiolog Prancis itu, ruang yang telah diberlakukan demikian disebutnya sebagai ruang abstrak. Sebagaimana di dalam konteks masyarakat kapitalisme lanjutan, ruang abstrak disituasikan menjadi pengetahuan yang berciri ideologis sehingga mengaburkan kondisi alienatif yang terjadi pada level praktik. Di sanalah ruang akhirnya disituasikan dalam alam imaji sebelum menjadi peta kognisi bagi ruang kongkrit.

Barangkali itulah yang terjadi di sana. Di soho ruang yang berwajah muram, tempat kumuh kelas pekerja tinggal, berubah menjadi ruang pusat kapital berputar. Juga, di Soho, urbanisasi begitu gencar mengubah pusat menjadi betulbetul "pusat". Dan di Soho, pusat itu adalah kiblat suatu gaya glamour ditegakkan.

Syahdan, apa yang terjadi di Soho juga menjadi tren pembangunan di manamana. Terutama di dunia berkembang yang pesat membangun sentralsentral perubahan dengan menyulap daerahdaerah menjadi ramai. Di mana dengan satu rumus yakni keramaian yang bisa menjalankan roda pertukaran sehingga kapital terus diakumulasi. Melalui cara itu maka infrastruktur dibangun, jalanjalan diperbaiki, gedunggedung ditambah dan simsalabim suatu tempat menjadi ruang yang dikapitalkan.

Dan begitulah akhirnya, seperti Soho, tempat Marx pernah tinggal, di tempattempat kita, yang dulu ruang tanpa apaapa berubah jadi tempattempat kaum papa disingkirkan.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...