Langsung ke konten utama

madah tigapuluhdelapan

"Tidak ada misi yang lebih rumit, lebih gawat, daripada pergulatan orang dengan jiwanya sendiri.."

Begitulah ungkapan Duong  Thu Huong. Tulisannya dalam Beyond Illusions, begitu menggetarkan. Dalam katakatanya itu ada getir, sekaligus tentu saja, getar.

Di tahuntahun komunisme berjaya di Vietnam, getir sekaligus getar itu menjadi hal yang menjulang dalam sorak sorai revolusi tanpa batas. Tapi juga, akhirnya harus redup untuk sebuah jalan yang telah ditetakkan partai: realisme sosialis.

Di Vietnam, seperti negerinegeri ketika komunisme akbar dipuja, sastra dan seni hanya berarti bahwa realisme sosialis adalah satusatunya ekspresi yang mampu membangun kebudayaan yang luhur. Maka, akhirnya itu jadi kebijakan, partai mengambil alih, dan sastra serta seni hanya bisa bicara dua hal: revolusi dan aturanaturan sastra partai.

Tapi pernah suatu saat partai sadar dan berbenah. Di tahun 1987, pasca perang yang amuk dengan pihak sekutu, partai mengambil cara yang tak lazim. Melalui pidato Nguyen Van Linh, ketua partai saat itu, kaum sastrawan dan intelektual dihimbau terlibat secara bebas dan kritis untuk membangun dan menangani Vietnam yang ambruk akibat perang. Akhirnya katup  dibuka, dan segera saja suarasuara yang sembunyi dari radar kekuasaan, menguap kemanamana.

Suasana itu akhirnya menyediakan suatu kondisi seperti yang diungkap Linh, dalam Beyond Illusions, kepada suaminya "kita tidak hidup untuk menyenangkan hati orang lain. Kita hidup sesuai dengan keyakinan kita." Linh menyebut itu dalam arti yang ideal, dalam arti bagaimana seharusnya tugas seorang penulis: jujur terhadap kenyataan.

Vietnam sebelum itu adalah suatu negeri yang diproyeksi dan dicanang revolusi, negeri yang mengolokngolok tuantuan tanah. Di Vietnam kala itu, seperti negeri yang membebaskan seluruh tanah untuk dikelola komunekomune. Tak ada tanah yang berbasis pribadi. Tiada yang berbau individual. Tanah di masa itu adalah saatsaat di mana padi adalah juga urusan negara.

Sontak proyek land reform itu menjadi semacam mantra yang membebaskan, tapi juga sebenarnya menghisap tumbal. Pembebasan tanah jadi program yang massif dari revolusi yang sedang berjalan. Tanah yang dikelola komune, adalah penyamarataan seperti yang dilakukan Mao di China. Tapi land reform justru bukan imune, justru banyak yang sakit, banyak yang justru kelaparan. 

Yang jadi tumbal, yang jadi sakit, adalah orangorang yang kehilangan tanahnya dan harus bekerja dengan tanah yang kering. Bahkan berita pun dibuatbuat, seperti ditulis Duong dalam novel ke duanya, penuh kebohongan "para pemimpin komune memerintahkan kami ke sini untuk dipotret, untuk korannya para tukang foto itu.

Orangrang dikibuli dengan gambargambar padi berlatar subur dan petani yang bahagia bekerja, namun sebenarnya itu hanyalah bagian kecil dari keadaan yang sebenarnya. Yang sebenarnya tak ada tanah subur yang dibebaskan. Yang ada hanyalah pengerahan besarbesaran petani ke bidangbidang tanah yang tak menghasilkan panen apaapa. Yang ada hanya berita manipulatif yang disebarkan demi menyangga revolusi.

Sebab itulah akhirnya di suasana bebas itu  banyak yang berani bersuara atas kebohongankebohongan kemajuan revolusi. Sastrawan menulis syair juga novel, seniman membangun panggung dan kaum cendikia mengungkap kenyataan. Demi suatu yang luhur: kejujuran atas yang terjadi.

Drastis tak ada lagi beritaberita kebohongan tentang kemajuan yang dipesan partai. Tak ada lagi ungkapan yang memujimuji revolusi.

Tapi suarasuara yang kritis nampaknya justru menjadi gema yang menyulut panas kekuasaan. Kritik berbalik arah terhadap partai yang diamdiam memang menilap kekayaan. Akhirnya banyak yang marah seperti tuantuan kepala partai yang menimbun harta. Sehingga jika kekuasaan jadi gerah, maka selanjutnya kita tahu, yang ada adalah pembungkaman. Sebab itulah kritik seperti memang hanya suara yang seperti uap. Cepat hilang. Sempat panas kemudian hilang tanpa sisasisa, oleh kekuasaan.

Suara yang sempat menjulang saatsaat itu, sudah tentu suara getar Duong Thu Huong. Perempuan yang sempat diusir dari partai ini akhirnya juga menanggung nasib sebagai seorang yang diasingkan. Tulisantulisannya menjadikannya sebagai orang yang karib dengan penjara tanpa pengadilan. Dan dari situ tahun 1990 ia didepak dari partai komunis Vietnam.

Tapi novelnovelnya, juga Beyond Illusions, sebenarnya getir yang memotret sebuah negeri yang dimanipulasi dengan rencanarencana partai. Suatu hal yang ia sebut "memandang menembus topengtopeng," saat semuanya bersuara berdasarkan pesanan partai. Saat banyak yang hanya mengumbar kesenangan rakyat dari sejumlah beritaberita, ceritacerita yang dipelintir dari kenyataan sebenarnya.

Saat itulah Duong menulis "kita kaum intelektual, misi kita bukannya memupukmupuk kebanggaan rakyat kita, melainkan meninjau sedalamdalamnya cacat dan kelemahannya yang fatal, untuk menemukan dan menunjukkannya lebih awal dari yang lainlain."

Karena itulah Duong menulis keadaan yang getir di negerinya sendiri.  Tapi sampai di sini saya tidak tahu, apakah tulisan Duong  di negeri ini juga dapat membuat orang bergulat dengan jiwanya sendiri.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...