Langsung ke konten utama

madah tigapuluhdua

Undian itu dilakukan dengan sut. Lingsang dan pasukannya mendapat kehormatan jadi ujung barisan yang akan memasuki Kutaraja dari selatan. Di belakangnya akan menyusul pasukan Umang. Di belakangnya lagi pasukan Tanca…

Begitulah prosesi awal perang dikisahkan dalam Arok Dedes. Membaca fragmen cerita itu, kita akan segera tahu, tentang sebuah peristiwa jatuhnya kekuasaan seorang raja sekitar 1220 masehi. Saat itu, di Nusantara, dikisahkan Pramoedya Ananta Toer, Tunggul Ametung akhirnya mati bersimbah darah. Dan dalam lakon rajaraja, bersimbah darah berarti cara heroik untuk mati.

Tapi, di luar itu sebenarnya ada peristiwa yang lebih heroik. Jauh di luar jangkauan raja Tunggul Ametung, sebuah skenario kekuasaan sesungguhnya telah disusun rapi jauh hari tanpa sisa adegan yang kosong. Melalui tangan Buto Ijo, Arok, melalui peran yang panjang akhirnya menjelma kekuatan yang menumbangkan kekuasaan Tunggul Ametung.

Dan dari serangan itu, sejarah akhirnya mencatat, di saat itulah kudeta pertama terjadi di Nusantara.

Jika ada kekuasaan yang diceritakan tanpa menyisihkan intrik, barangkali Pramlah orangnya. Dalam Arok Dedes, sebuah naskah yang ia tulis di pulau Buru, barangkali ingin menjangkau ruang kesadaran banyak orang, bahwa kekuasaan sebenarnya dibangun bukan dengan cara yang langgeng dan sepi muslihat. Kekuasaan justru di tangan Pram, dikisahkannya adalah poros yang mudah keropos oleh intrik.

Melalui kisah Arok Dedes, Pram barangkali ingin membuka suatu tafsiran baru di sekitar kekuasaan. Bahwa, kekuasaan sesungguhnya adalah sesuatu yang tak stabil dan mudah retak. Di sini ada yang nampaknya sama sekali menyelisih dari adat kebiasaan. Apalagi dominasi cara memandang kekuasaan yang selalu ditautkan dengan hal ihwal berbau teos. Kekuasaan, seperti yang ditampilkan Pram dalam lakon Arok Dedes, adalah kekuasaan berwajah politik, bukan yang mitologik dan teologik. Artinya, kekuasaan itu mudah dihimpun juga diguyah selama intrik diberlangsungkan.

Juga bahwa politik sebenarnya adalah bagaimana kekuataan harus disusun dan dirombak. Yakni kekuatan bilamana ingin berhasil, selama disusun dan dirombak harus bermain pada semua lingkaran kelompok. Dan dalam lakon politik suatu rencana harus menyeimbangkan kekuatan di antara beragam kepentingan di sekitar kekuasaan.

Dengan cara itulah Arok memainkan perencanaannya. Seorang pemuda pelajar yang berhasil menghimpun kawula dan elit terdidik, serta kekuatan militer untuk menggerakkan sebuah perlawan terhadap Tunggul Ametung.

Barangkali, Pram juga ingin bermaksud bahwa politik sebenarnya adalah keadaan yang tanpa pusat. Sebab kekuatan sebenaranya bisa muncul dari mana saja selagi sebuah keadaan terlampau sesak oleh himpitan kekuasaan. Dan yang dibutuhkan sebenarnya adalah inisiatif yang cemerlang dalam bertindak dan membaca situasi yang serba mungkin.

Bila itu yang dimaksudkan, inisiatif sebenarnya adalah peran yang timbul tanpa lepas dari situasi yang kongkrit. Dalam arti ini, sebuah inisiatif lahir dari seorang subjek politik.

Slavoj Zizek, seorang filsuf abad 21, menyebut subjek politik adalah seseorang yang berperan radikal yang menerka keadaan dari segala ketermungkinan yang ada. Suatu yang disebut Zizek adalah “peran istimewa,” yakni suatu kemampuan dalam mengubah yang serba mungkin menjadi kekuatan yang menggerakkan. 

Dan Arok adalah orang yang melihat itu, menyusun dan memprediksi kekuatan mana yang kosong dan dapat ia manfaatkan menjadi kekuatannya. Ia seperti Sang Pangeran yang ditulis Machiavelli, orang yang menunggu dan bersikap di antara virtue dan fortuna.

Lakon kisah yang ditulis Pram ini, juga sebenarnya adalah bagaimana ia menjadi suara yang dibungkam di tengahtengah kekuasaan. Di pulau Buru, sebuah naskah sastra politik ditulis dengan kesadaran yang kental terhadap prosesi keberlangsungan sebuah kekuasaan saat itu. 

Konon, Arok Dedes adalah bagian awal dari naskah roman sejarah yang panjang dari lakon kekuasaan Nusantara yang jatuh bangun. Sepertinya, melalui semua kisah itu, ada maksud yang tak pernah padam dari setiap kata yang ditulis Pram, yaitu kekuasaan itu mudah guyah jika di sana, di dalam gerak porosnya tak pernah sama sekali kawula kecil disebutsebut sebagai kata yang penting. 

Jika sudah demikian, kekuasaan akan berbalik, persis seperti bagaimana Arok yang merupakan bagian dari orang kebanyakan mampu menggulingkan kekuasaan yang telah lama berdiri.

Barangkali Pram bisa benar. Juga bisa salah.

Konon jika disebutkan sastrawan itu kerap berbohong untuk menyampaikan apa yang menjadi bagian dari kebenaran, barangkali Pram adalah pembohong yang ulung. 

Tapi saya kira Pram tak pernah berbohong, apalagi dengan maksud mempolitisasi sejarah. Dia hanya ingin kita tahu, bahwa sejarah bisa saja adalah peristiwa yang di dalamnya politik menjadi medan yang penuh muslihat dan taktik. Atau dengan kesan yang lebih berani; sejarah sebenarnya adalah kesadaran yang seringkali dipermak politik.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...