Langsung ke konten utama

madah tigapuluh

Betapa mudahnya hukum ditegakkan, tapi betapa sulitnya keadilan ditemukan.

Barangkali karena itulah Socrates mati. Sebab tak ada keadilan di dalam suara terbanyak. Kita tahu,  pengadilan yang menjatuhi hukuman mati bagi filsuf itu, tak pernah mengakui aktifitas Socartes; berfilsafat.

Di Yunani, di saat itu, betapa mudahnya keadilan dipermak. Apakah adil itu? Pertanyaan seperti ini adalah penanda bagaimana keadilan memang tak selamanya jelas. Dalam pengadilan itu, yang menolak argumentasi pembelaan dari Socrates, memutuskan keadilan diberlangsungkan dengan cara suara terbanyak.

Apakah adil itu? Pertanyaan ini barangkali adalah pertanyaan yang memang tak sepenuhnya tuntas. Di saat ketika Socrates hidup, betapa banyaknya kaum sophis, golongan yang pandai membangun opini atas argumentasinya yang menyesatkan. Keadilan memang tak sepenuhnya dapat dijelaskan, sebab tak ada yang disebut kebenaran yang pasti, Phiro mengyakininya demikian. Kebenaran yang pasti sulit dijangkau. Kita, manusia tak bisa menyentuhnya. Kebenaran suatu yang misterium.

Sebab itulah Socrates bangkit melawan. Sebab di Yunani, saat itu sesat pikir jadi massal. Keadaan jadi simpang siur akibat kaburnya ukuranukuran. Filsafat bukan berarti keahlian yang tanpa hormat. Filsafat harus sampai pada satu simpul kebenaran. Kaum sophis salah. Kebenaran pasti ada, sebab itulah filsafat harus mencarinya.

Tapi, bagi banyak orang terutama orangorang kaya, kaum sophis sangat berguna. Keahlian mereka dalam menyusun argumentasi yang alot sangat dibutuhkan. Sebab di waktuwaktu tertentu, argumentasi mereka digunakan untuk berdagang. Retorika mereka sangat tepat untuk menarik perhatian orang. Dalam sejarah Yunani, mereka banyak ditemukan dirumahrumah orang kaya.

Itulah mengapa Socrates membenci kaum sophis. Keahlian yang mereka miliki justru membuat manusia tak hormat terhadap kebijaksanaan. "Aku bukanlah orang yang bijak, tetapi aku mencintai kebijaksanaan." Sepertinya sebab itulah ia tak ingin disebut sophis walau arti dari kata itu sebenarnya suatu yang baik; bijaksana. Tapi, karena orangorang yang menjual kebijaksanaan di pintupintu orang kaya, kata itu jadi cacat. Kata itu jadi rusak.

Di negeri ini, sebagai suatu yang sophis banyak sekali ditemukan. Bahasa kebenaran jadi kabur oleh ketidaklogisan katakata. Dalam hukum, bahasa menjadi medium yang mendua. Bahasa seperti ungkapan kaum sophis, tak mampu menyampaikan apaapa. Bahasa justru menjadi penjara dari apa yang ingin disampaikan. Bahasa tak bisa membawa manusia menjadi lebih tahu. Karena itulah tak ada yang bisa menangkap maksud. Tak ada yang bisa dirumuskan. Juga keadilan.

Keadilan memang suatu yang harus dicari dan diperjuangkan. Di negeri semacam ini, keyakinan sophisme memang tak seperti di Yunani era Socrates yang terang benderang ditemukan. Juga keyakinan mereka tentang kemustahilan ditemukannya kebenaran, tak membuat jemu orangorang mencarinya. Di sini, ditempattempat keadilan ditegakkan justru disaat yang bersamaan, keadilan disembunyikan. Atau yang lebih malang adalah keadilan dibungkam.

Jika sudah demikian, barangkali itulah mengapa banyak orang yang berteriak di depan gedunggedung keadilan ditegakkan. Sebab mereka tahu, jauh tak dijangkau banyak orang, keadilan sedang disekap di suatu ruang yang gelap. Sebab mereka tahu, kebenaran sedang dibungkam bersamaan dengan hilangnya keadilan.

Di Yunani, keadaan demikianlah yang mendorong Socrates turun dikerumunan banyak orang. Tujuannya hanya untuk melahirkan kebenaran yang hilang disekap kekuasaan. Di pasarpasar ia menuntut orang untuk menggunakan akal sehat. Di pasarpasar ia mengajak orang untuk berpikir jernih. Tapi, karena itulah ia disekap. Dan selanjutnya kita tahu jalan cerita; ia dihukum mati.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...