Langsung ke konten utama

madah sembilanbelas

Sepertinya kita harus kembali mencurigai semangat Pencerahan. Seperti yang dibilangkan Adorno dan Horkeimer, Pencerahan adalah kata yang juga punya cacat. Semangat Pencerahan, seperti yang dibayangkan Kant, nampaknya tak selamanya adalah prinsip yang  sempurna. Sebagai sebuah peristiwa sejarah, pencerahan harus maklum, waktu adalah hakim yang tak pernah pandang bulu. Dalam sejarah, Pencerahan tidak bisa lagi dibayangkan seperti saat di awal kelahirannya, sebab pencerahan yang di dalamnya ada "aku" yang tegak dan otonom juga ternyata bermakna sesuatu yang lain; cogito yang soliter.

Descartes barangkali tak pernah membayangkan, cogito yang ia temukan dalam terang kesadaran itu juga punya arti  yang lain. Cogito yang terang dan jelas itu, justru menjadi cogito yang terasing dari keterlibatan dunia. Aku yang berpikir, sebagai subtansi yang menjadi pusat, sudah dengan sendirinya adalah “aku” yang mengasingkan dunia dari dirinya. Dunia yang disebutnya adalah res ekstensia dihadapan aku yang berpikir, adalah dunia yang  di tempatkan di bawah kendali tanpa perasaan dan emosi. Dunia, di dalam cogito adalah dunia yang ditaklukkan dan dibentuk oleh superioritas “aku yang berpikir.”

Sebab itulah, pencerahan adalah berarti lahirnya “aku berpikir” yang soliter, “aku” yang individual. Charles Taylor menyebutkan, “aku yang soliter” pelanpelan menjadi kosa kata modern yang berarti bagaimana manusia membangun segalanya dengan otentik. “Aku” yang soliter dalam membangun yang otentik adalah aku yang menghilangkan kepercayaan di luar dari selain dirinya. “Aku” dalam kosa kata modern adalah manusia yang menumbuhkan pelanpelan semangat berdikarinya, semangat yang sanksi terhadap otoritas yang lain. 

Membangun yang otentik berarti adalah “aku” yang telah menafsirkan tujuan dan keinginannya yang mandiri dan otonom. Dari itu, “aku” yang soliter dan yang otentik sekaligus adalah “aku” yang mengabaikan “yang kolektiv”, yang “bersamasama.”

Maka di sinilah masalahnya; “aku” yang terbebaskan dari kekuatan eksternalitas, sudah dengan sendirinya adalah “aku” yang antisosial. “Aku” yang tak menyertakan kehadiran yang lain. Sebab, “yang sosial” adalah bagian yang lain, bagian yang tidak termasuk dalam “aku.” Dari sini bisa kita pahami maksud dari semangat individualisme modern, yang sebenarnya memilah “yang sosial” sebagai kenyataan yang tak dapat lagi dibagibagi menjadi kenyataan yang individum. 

Dari sanalah semula yang kolektiv akhirnya diruntuhkan menjadi pecahpecahan yang menjadi satu totalitas yang mandiri; individu. Dengan arti lain, “aku” yang soliter adalah optimum kemanusiaan yang abai terhadap kolektivitas.

Dalam arti itulah kita patut curiga; janganjangan tak ada yang sebenarnya dikatakan sebagai tujuan ideal yang didasarkan dari kehidupan yang kolektif, karena sebenarnya yang kita andaikan kehidupan kolektif, adalah keinginan yang individual? Janganjangan kemanusiaan kita, yang ditujukan atas kepekaan sosial adalah sebenarnya suatu hal yang telah disingkirkan oleh kepentingan individual? Atau janganjangan ikatan kolektif dalam keluarga, masyarakat, negara, kebudayaan, politik, ekonomi dan juga yang lainnya, sebenarnya merupakan kosa kata yang kehilangan kepekaan sosial, kosa kata yang emoh terhadap yang lain?

Sebab itulah, pencerahan atau semangat modern adalah kemunculan “aku” yang mengabaikan komitmen dan kesetiaan. Yang individual adalah optimum kemanusiaan yang bergerak atas prinsip yang rasional. Maka dari yang rasional tak akan mungkin memercayai komitmen, tak memercayai kesetiaan. Karena dari awal, “aku” yang soliter adalah “aku” yang menaklukkan yang lain. Dan jika yang lain telah ditaklukkan, maka komitmen dan kesetian adalah suatu hal yang tak mungkin diasosiasikan kepada yang lain. “Aku” yang modern adalah “aku” yang tanpa melibatkan “aku” dengan sisi emosional.

Wittgenstein adalah salah satu yang menyatakan bahwa komitmen tidak selalu dan tak akan mungkin datang dari sesuatu yang rasional. Kesetiaan adalah sisi yang datang dari suatu inti; nurani. Dari sanalah komitmen dimungkinkan, dari sanalah kesetiaan didapatkan. Tetapi ini adalah suatu hal yang nampaknya tak begitu umum; membangun kesetiaan dari segala hal yang tak sepenuhnya rasional dan terjelaskan. Dan ini memang jarang, sebab menjadi modern berarti menjadi yang rasional, dan menjadi setia, itu berarti bersedia membangun pilihan yang tak sepenuhnya individual. Memilih setia itu berarti ada “yang kolektif” sebagai medan di mana komitmen diasa.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...