Bagi negerinegeri bekas
jajahan, atau yang disebut Spivak negeri pascakolonial, memiliki penyakit yang
tak bisa tanggal begitu saja pasca merdeka. Tapi juga sebaliknya, sudah
dianggap mujarab untuk menerabas keterbelakangan; developmentalisme.
Developmentalisme, atau
yang sering dieja pembangunanisme, bagi negeri seperti Indonesia, barangkali
sudah seperti mantra untuk berubah. Dengan susun rancang berkala, ada harap
yang tak ingin selalu tiarap.
Tapi pembangunanisme tidak
saja sekedar menjadi jalur kemajuan kala itu, ia lambat laun malah justru jadi
tulah. Sebab pembangunanisme sama artinya dengan sebuah rejim yang telah
memimpin dengan tiranis. Sebagai tulah, pembangunanisme, kata yang juga seperti
mantra kemajuan itu, dianggap sebagai sumber segala petaka yang tak sudahsudah.
Tapi itu setelah kita tahu
maksud tersembunyi dari pembangunanisme. Dulu, saat negeri masih hijau,
dedaunan meranggas musim, orangorang mendayuh becak, pembangunanisme adalah
sebuah langkah yang taktis. Negeri yang masih luas tanahnya kala itu, menjadi
bagian dari strategi kemajuan. Taktis berarti negeri ini perlu cara yang cepat
mengejar ketertinggalan. Negeri ini harus lepas dari pengertian sebagai negara
dunia ketiga.
Maka dimulailah perubahan
besarbesaran. Negeri yang semula teduh jadi bising. Tempattempat yang asing
jadi ramai. Daerahdaerah yang terpencil pelanpelan didatangi, disulap jadi
hunian baru. Dengan aktivitas bangun negeri, kala itu pembangunan adalah salah satu
cara yang ampuh untuk ditempuh.
Kala itu seperti ada yang
memimpin impian agar tidak ingin diejek bangsa lain. Orde yang tak kenal
kadaluarsa saat itu memang menjadi panglima pembangunan. Dan tujuannya nampak
jelas dari rencana yang kala itu sudah memang disiapkan; repelita. Dengan
pembangunan macam itulah negeri ini hendak dibangun, bertahap dan bertahap.
Tapi apa daya, semuanya
lancung. Justru harapan yang ditambat lamatlamat meleset. Di sinilah tulah itu
bermula. Ideide yang semula adalah bagian dari teori perubahan malah
bermetamorphosis menjadi ideologi. Akhirnya yang dibangun boleh saja maju,
tapi ada tempat yang tanpa didugaduga jadi tak steril; kekuasaan. Maka
mulailah yang telah jadi ideologi itu dicobakan sebagai semacam liturgi, yakni perayaan
terhadap kekayaan.
Karena itulah
pembangunanisme malah nampak menjadi tirani yang tanpa hati. Disebutkan oleh M.
Dawam Raharjo, pembangunanisme malah banyak menyedot kekuasaan untuk menjadi
tempat jalan masuknya kepentingan kapital. Dan memanglah demikian, sebab,
jauhjauh hari, pembangunanisme adalah proyek negaranegara maju dalam rangka
membangun pengaruh bagi negaranegara yang ingin berkembang.
Hingga akhirnya malang
untuk kita, semenjak orde yang hampir abadi itu berkuasa, pembangunanisme
diterapkan kesegala hal, juga terutama ekonomi dan sosial.
Apa daya rejim yang tiranis
akhirnya mentok juga. Pembangunan tak disangkasangka menilap banyak rupiah,
utangutang bertumpuk, harga pangan jatuh dan ekonomi mandek. Hingga akhirnya
badai krisis datang. Negara tibatiba guyah. Rakyat mengamuk. Dan yang tirani
akhirnya tumbang.
Namun adakah yang berubah?
Sepertinya tidak semua. Yang ada adalah pemerintahan yang meneruskan noktah
sejarah kelam. Pembangunanisme diganti dengan statistik kemiskinan yang
dianggap berkurang tiap tahun. Harapan diganti demokrasi. Justru kemudian
pembangunanisme malah berwujud negeri yang berubah haluan; negeri paling
demokratis.