Langsung ke konten utama

madah duapuluhsembilan

Louis Althusser, filsuf marxis Perancis yang akhinya gila itu memiliki keyakinan, filsafat seharusnya menjadi tajam. Filsafat seharusnya memiliki sumbangsih. Filsafat harus menjadi senjata revolusi. Bukunya yang dituliskannya dengan judul "Filsafat Sebagai Senjata Revolusi", nampaknya teguh mengikuti bahasa Marx; filsafat tidak sekedar menafsir dunia, melainkan mengubahnya.

Saya agak sulit membayangkan, filsafat yang ditandai sebagi ilmu yang abstrak dapat jauh menyentuh halhal yang kongkrit, yakni suatu kehidupan praktis. Dalam hal ini malah mendorong suatu perubahan masyarakat; revolusi.

Tapi, di mata orangorang semacam Louis Althusser, atau yang teguh dengan marxisme, itu adalah hal yang mesti. Filsafat tidak seperti ungkapan Hegel yang berpretensi atas gerak ruh yang menyejarah dalam alam. Dalam marxisme, jusru sejarah adalah milik manusia kongkrit. Sejarah adalah milik orangorang yang ingin keluar dari tindihan beban kerja. Dalam sejarah sebenarnya adalah perubahan yang dicipta kaum pekerja. Dan di sanalah filsafat bekerja, di antara orangorang yang dihimpit beban kerja.

Sebab itulah filsafat diperuntukkan untuk kaum pekerja. Bukan untuk orangorang yang banyak memiliki waktu luang dan dengan enteng berpikir akan halhal yang jauh di atas batasbatas imajinasi. Filsafat demikian disebut Marx adalah pemikiran yang berjalan dengan halhal yang abstrak, filsafat yang berjalan dengan kepala. Filsafat yang untuk kaum pekerja harus diawali dari penyelidikan kongkrit. Dari hidup seharihari. Dari masalahmasalah praktis. Filsafat ini punya nama; materialisme historis.

Dengan demikianlah Louis Althusser menganjurkan sebuah cara berpikir yang historis. Yakni penyelidikan atas asalusul kehidupan yang dialami dan dijalani. Suatu cara materialisme untuk mengubah sejarah. Suatu filsafat emansipatif. Suatu filsafat revolusioner sebagai senjata perubahan.

Dalam arti itulah filsafat memiliki dengan sendirinya suatu tanggung jawab. Kata Alain Badiou suatu resiko. Resiko sebagai suatu konsekuensi atas sudut pandang. Dengan begitu filsafat menjadi konsekuen.

Filsafat yang konsekuen itu barangkali dapat kita temukan dalam kisah seorang Socrates, filsuf yang mati dengan menanggung resiko sudut pandang yang ia teguhi. Di sana, di suatu sudut penjara kota Athena ia membuktikan ucapannya; berfilsafat berarti bersiap menanggung mati dikemudian kelak.

Melalui cara pandang yang diperjuangkannya, akhirnya Socrates mati dengan cara yang teguh; keyakinannya ia pertahankan hingga racun cemara merenggutnya bersamaan dengan kematiannya.

Dan tak ada yang lebih puitis dari berbicara tentang kebenaran. Frase ini pernah diucap Gie. Anak muda yang resah sekaligus risau atas keadaan di sekitarnya. Kerisauannya kita tahu, ia tuliskan dalam catatan yang akan terkenal kelak; "Catatan Seorang Demonstran."

Melalui catatancatatanya kita akhirnya bisa tahu bahwa Gie adalah orang yang mudah risau. Sebab ia menanggung sebuah cara pandang yang konsekuen terhadap keyakinannya. Cara pandangnyalah yang sebenarnya membuatnya harus bersikap demikian teliti terhadap keadaan di sekitar. Dan dari sanalah ia menulis catatancatatannya. Dari keresahan.

Baik Socrates atau pula Gie, mungkin tidak seperti yang dikehendaki Althusser, bahwa konsekuensi dan keresahan dari suatu pandangan tidak berhenti pada suatu ruangan gelap penjara dan bukubuku catatan. Filsafat harus jauh menaksir yang tak pernah tersentuh oleh capaian perubahan manapun. Dalam marxisme, keyakinan demikian mereka sebut sebagai hukum dialektis.

Oleh cara demikianlah filsafat menjadi ilmu yang bekerja dalam sejarah. Mao menyebutkannya dengan cara berpikir dua tahap: pencerapan dan pengamatan. Dengan cara demikian, Mao menyepakati suatu keyakinan purba dalam ilmuilmu; teori dan praktik adalah dua hal yang tak bisa ditanggalkan salah satunya.

Sebab itulah fisafat yang disebut Althusser sebagai senjata revolusi yang ilmiah. Ini berarti seluruh asumsi filsafat harus diujicobakan dalam kehidupan praktis. Ini berarti filsafat juga mesti dipraksiskan. Dengan kata lain, filsafat sebagai senjata revolusi adalah jenis ilmu yang menjawab kebutuhan praktik seharihari. Ilmu yang menutupi kekurangan seharihari.

Tapi kata Alain Badiou filsafat hari ini sedang mati suri. Di kehidupan seharihari ia diserang sanasini oleh alam yang tak jemujemu menawarkan kebebasan, kesimpangsiuran, ketidaklogisan dan keacuhan terhadap komitmen. Filsafat menjadi ilmu yang tersisihkan dari kehidupan yang tak bertujuan. Filsafat kata Badiou harus dibangkitkan. Filsafat harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Filsafat ia sebut sedang sakit bahkan sekarat. "Tapi saya yakin dunia," ungkapnya di suatu waktu, "sedang berkata pada filsafat: "bangkit dan berjalanlah!"

Hanya saja bagaimana ia harus dibangkitkan? Jika ingin disebut sebagai senjata revolusi? Jika Socrates, barangkali ia akan menuruni keramaian dan bertanya kepada banyak orang akan segala hal ikhwal, seperti saat ia berkeliling di Agora untuk berdiskusi dengan siapa saja. Atau seperti Gie yang memilih jalan memutar untuk menyimpannya dalam bentuk refleksi pemikiran; menulis catatancatatan. Atau seperti marxisme yang menganjurkan cara praksis revolusioner gerakan massa. Atau di luar dari semua itu, bahwa seperti keyakinan Heidegger; berjalanlah sebagaimana anak kecil untuk pertama kalinya melihat alam yang asing.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...