madah keduapuluhsatu

Suatu waktu, perempuan boleh jadi sudah seperti tulah. Dalam agama, tulah itu bersumber dari telaga surga. Ada versi, dari sanalah sumber itu bermula: perempuan jadi biang kerok atas nasib warisan. 

Maka dari itu, perempuan harus diberi peringatan. Perempuan harus diatur, diproyeksikan untuk keseimbangan tatanan. Sebab jika tidak, banyak yang tercemari, banyak yang jadi korban. Karena itulah dia tulah.

Juga perempuan adalah mahluk yang asing. Sebab kehadirannya bukan sebagai sesuatu yang diinginkan. Kehadirannya adalah suatu yang tak didugaduga dalam cosmos penciptaan; berkat tulang rusuk yang bengkok. Dari "tulang rusuk yang bengkok" itu pengertian dibangun dan tafsir disepakati. Juga dari sanalah perempuan justru akhirnya menjadi tersisihkan. Perempuan, dari tafsir yang menyisihkan itu adalah mahluk yang tak hadir dalam sejarah, hingga akhirnya bukan menjadi bagian dari sejarah.

Tapi itu tafsir sejarah. Tapi itu tafsir agama.

Di negeri ini, perempuan nampaknya ditafsirkan menjadi senjata ampuh untuk mencipta kecacatan. Barangkali ini adalah simptom sejarah bahwa kejatuhan kekuasaan cukup dengan kehadiran perempuan. Dan sepertinya, dalam situasi itu, kita diajak untuk mengingat  hadis rasul; ada tiga hal yang berbahaya, harta, tahta dan wanita. Akhirakhir ini, di sekitar daerah kekuasaan bekerja, tamsil atas apa yang dibilangkan rasul berabadabad yang lalu itu, benarbenar terjadi.

Sepertinya ini adalah ujian tapi juga bisa jadi tragedi. Sebab perempuan sudah jadi komoditi. Dalam skema kapitalisme, perempuan adalah properti yang ditampilkan bersamaan dengan barangbarang. Berkat itulah sebuah iklan misalnya, dapat membuat untung tuantuan besar. Tapi dalam politik malah nampak berbeda. Dalam politik, justru perempuan bisa bikin tuantuan besar malah jadi tersungkur.

Itulah mengapa perempuan bisa jadi tragedi. Di dalam mitologi yunani, malah sebuah perang yang panjang bisa disulut oleh perempuan. Helena barangkali tak sempat menyangka, perang troya yang menyulut dendam dua kerajaan itu bisa bermula dari dirinya. Helena tak menyangka, cintanya yang melintasi batasbatas Yunani hingga ke hati Paris, justru berbuah tulah.

Sebagai tulah, itu juga yang terjadi di negeri ini. Perempuan menjadi tragedi yang jadi sebab kasakkusuk. Dua lembaga negara saling membakar picu senjata. Di mulai dari usaha untuk mengusut penyakit yang kronik, perempuan akhirnya jadi sulut pamungkas yang membuat runyam keadaan. Sehingga dalam politik yang mengusung integritas, perempuan bisabisa jadi sebab rusaknya sebuah identitas.

Tetapi akar masalahnya tidak seperti perang troya yang disulut perempuan. Di perang troya ada Paris, sang anak raja yang menculik Helena, dan di kubu Yunani tentu saja ada Achiles, ksatria yang jadi legenda itu. Di negeri ini, yang terjadi bukan perang antara dua negeri untuk saling menaklukkan. Di negeri ini, justru perang dilakoni oleh dua institusinya, dan tentu saja di perang ini, akar soalnya ada pada tuan presiden sebagai tokoh utamanya.

Lantas bagaimanakah tuan presiden di negeri ini? Atas dua institusinya yang saling gebuk dan gaduh? Soalnya banyak yang risau dan tak sabar menanti gebrakan. Kekuasaan nampaknya sedang tak normal, sehingga negara butuh keputusan yang besar. Namun  sepertinya saat ini tuan presiden juga belum bisa banyak kiprah. Seratus hari kekuasaannya belum banyak jadi tandatanda menuju negeri hebat.

Maka itu kita hanya bisa dibikin geger dan berkasakkusuk. Janganjangan tuan presiden khawatir, janganjangan tuan presiden ragu, janganjangan tuan presiden gamang. Atau janganjangan tuan presiden bimbang, janganjangan tuan presiden… hingga nampaknya pelanpelan tuan presiden kehilangan pesonanya di atas panggung. Sampai kemudian kasakkusuk itu jadi makin besar, sampai semua janganjangan itu bisa berarti janganjangan tuan presiden juga punya perempuan. 


Tapi perempuan tuan presiden ini bukan sumber tragedi apalagi tulah. Perempuan tuan presiden di negeri ini malah bisa saja jadi sumber titah dan malah perintah. Tapi itu hanya kasakkusuk. Tapi itu hanya janganjangan. Apalagi  anganangan.