Suatu waktu, perempuan boleh jadi sudah seperti tulah.
Dalam agama, tulah itu bersumber dari telaga surga. Ada versi, dari sanalah
sumber itu bermula: perempuan jadi biang kerok atas nasib warisan.
Maka
dari itu, perempuan harus diberi peringatan. Perempuan harus diatur,
diproyeksikan untuk keseimbangan tatanan. Sebab jika tidak, banyak yang
tercemari, banyak yang jadi korban. Karena itulah dia tulah.
Juga perempuan adalah mahluk yang asing. Sebab
kehadirannya bukan sebagai sesuatu yang diinginkan. Kehadirannya adalah suatu
yang tak didugaduga dalam cosmos penciptaan; berkat tulang rusuk yang bengkok.
Dari "tulang rusuk yang bengkok" itu pengertian dibangun dan tafsir
disepakati. Juga dari sanalah perempuan justru akhirnya menjadi tersisihkan.
Perempuan, dari tafsir yang menyisihkan itu adalah mahluk yang tak hadir dalam
sejarah, hingga akhirnya bukan menjadi bagian dari sejarah.
Tapi itu tafsir sejarah. Tapi itu tafsir agama.
Di negeri ini, perempuan nampaknya ditafsirkan menjadi
senjata ampuh untuk mencipta kecacatan. Barangkali ini adalah simptom sejarah
bahwa kejatuhan kekuasaan cukup dengan kehadiran perempuan. Dan sepertinya,
dalam situasi itu, kita diajak untuk mengingat hadis rasul; ada tiga hal
yang berbahaya, harta, tahta dan wanita. Akhirakhir ini, di sekitar daerah
kekuasaan bekerja, tamsil atas apa yang dibilangkan rasul berabadabad yang lalu
itu, benarbenar terjadi.
Sepertinya ini adalah ujian tapi juga bisa jadi tragedi. Sebab perempuan sudah jadi komoditi. Dalam skema kapitalisme, perempuan adalah properti yang ditampilkan bersamaan dengan barangbarang. Berkat itulah sebuah iklan misalnya, dapat membuat untung tuantuan besar. Tapi dalam politik malah nampak berbeda. Dalam politik, justru perempuan bisa bikin tuantuan besar malah jadi tersungkur.
Itulah mengapa perempuan bisa jadi tragedi. Di dalam mitologi yunani, malah sebuah perang yang panjang bisa disulut oleh perempuan. Helena barangkali tak sempat menyangka, perang troya yang menyulut dendam dua kerajaan itu bisa bermula dari dirinya. Helena tak menyangka, cintanya yang melintasi batasbatas Yunani hingga ke hati Paris, justru berbuah tulah.
Sebagai tulah, itu juga yang terjadi di negeri ini.
Perempuan menjadi tragedi yang jadi sebab kasakkusuk. Dua lembaga negara saling
membakar picu senjata. Di mulai dari usaha untuk mengusut penyakit yang kronik,
perempuan akhirnya jadi sulut pamungkas yang membuat runyam keadaan. Sehingga
dalam politik yang mengusung integritas, perempuan bisabisa jadi sebab rusaknya
sebuah identitas.
Tetapi akar masalahnya tidak seperti perang troya yang
disulut perempuan. Di perang troya ada Paris, sang anak raja yang menculik
Helena, dan di kubu Yunani tentu saja ada Achiles, ksatria yang jadi legenda
itu. Di negeri ini, yang terjadi bukan perang antara dua negeri untuk saling
menaklukkan. Di negeri ini, justru perang dilakoni oleh dua institusinya, dan
tentu saja di perang ini, akar soalnya ada pada tuan presiden sebagai tokoh
utamanya.
Lantas bagaimanakah tuan presiden di negeri ini? Atas dua
institusinya yang saling gebuk dan gaduh? Soalnya banyak yang risau dan tak
sabar menanti gebrakan. Kekuasaan nampaknya sedang tak normal, sehingga negara
butuh keputusan yang besar. Namun sepertinya saat ini tuan presiden juga
belum bisa banyak kiprah. Seratus hari kekuasaannya belum banyak jadi
tandatanda menuju negeri hebat.
Maka itu kita hanya bisa dibikin geger dan berkasakkusuk. Janganjangan tuan presiden khawatir, janganjangan tuan presiden ragu, janganjangan tuan presiden gamang. Atau janganjangan tuan presiden bimbang, janganjangan tuan presiden… hingga nampaknya pelanpelan tuan presiden kehilangan pesonanya di atas panggung. Sampai kemudian kasakkusuk itu jadi makin besar, sampai semua janganjangan itu bisa berarti janganjangan tuan presiden juga punya perempuan.
Tapi perempuan tuan presiden ini bukan sumber tragedi apalagi tulah. Perempuan tuan presiden di negeri ini malah bisa saja jadi sumber titah dan malah perintah. Tapi itu hanya kasakkusuk. Tapi itu hanya janganjangan. Apalagi anganangan.