Langsung ke konten utama

madah duapuluhempat

Gandhi, orang tua yang ringkih itu, barangkali tak menyangka, bahwa manusia bisa cepat berubah hanya dengan sebuah fanatisme. Gandhi, yang melakukan gebrakan di India, akhirnya tersungkur oleh tembakan, bukan dari musuh yang dikecamnya, justru dari orang yang gigih membela pandanganpandangannya. Di suatu waktu saat ia keluar menemui kumpulan orang yang menunggunya dalam suatu acara doa, tibatiba terjadilah insiden itu. Fanatisme membunuh dua korban; ingatan sang penembak dan tentu Gandhi sang penganjur perubahan.

Aksi penembakan itu membuat kita sadar bahwa betapa rentannya sebuah ide yang diperjuangkan bisa mendatangkan luka, atau bahkan kematian.

Di India, saatsaat sebuah ide diperjuangkan adalah masamasa yang kritis. Ketika sebuah ide menuntut kepastian akan sebuah komitmen. Tapi Gandhi tahu, ideide pembebasannya tak ingin membawa India pada kepemimpinan yang berdiri atas nama keyakinan, sebab dia menyaksikan sebuah keadaan yang jamak, orangorang yang menyembah banyak tuhan. Maka itulah ia tak hendak membawa sebuah ide untuk mengakui satu kelompok kepercayaan. Apalagi ini adalah urusan negara, bukan seperti urusan semacam parade yang sebentar saja bubar. Negara membutuhkan ide yang universal, bukan yang fanatik.

Tapi India  harus mengenang kehilangan Bapunya yang kharismatik itu. Orang yang setia dengan cara persuasif dalam menggugat kesewenanwenangan. Dari itu justru yang menggugat juga berarti menggugah.

Itu kejadian yang jauh di India. Di negeri kita, sejarah yang hampir sama juga terjadi. Yakni betapa susahnya membangun ide menyeluruh yang bisa mengikat keseluruhan tanpa menanggalkan sesuatu yang khas dari partikularitas. Soekarno sudah pasti tahu itu, sebab Indonesia bukan kepunyaan segelintir kelompok. Sebab negeri ini adalah jerih dan payah orangorang banyak. Ada pemikiran yang dikuras dan tenaga yang dikorbankan. Maka itu ia perlu dialog, maka itu ia perlu diskusi panjang.

Dan gagasan universal itu dibincang, para tokoh berdebat panjang. Kritik dan pertukaran pikiran tibatiba ramai. Namun suatu hal tak pernah luput bahwa semuanya demi negeri bukan kelompok. Dan ide universal itu bernama pancasila. Ide universal yang merangkum partikularitas Indonesia.

Tapi adakah pembunuhan di sana? Seperti yang di alami Gandhi? Nampaknya bisa iya, tapi sudah pasti tidak. Sejarah kita menuliskan, bahwa tak ada orang seperti Nathuram Godse yang berkepala penuh fanatisme dengan pistol ditangannya dan nekat membunuh seorang semisal Bung Karno. Tapi banyak yang harus dibunuh saat harihari perumusan yang melibatkan para tokoh untuk mencari ide yang universal. Mereka pasti yakin, sebuah ide universal yang melingkupi, harus mampu menyisihkan ego apapun di dalamnya. Sebab betapa bahayanya sebuah fanatisme. Betapa berisikonya sebuah ide tanpa akal panjang.

Apa yang diperjuangkan Gandhi di india dan Founding Father di negeri ini, sering disebut sebagai ideologi. Sebuah ide yang menjaring dan mampu mengikat keseluruhan dari bagianbagian. Di negeri ini bagianbagian itu begitu jamak. Banyak yang berbeda dan tak bisa serta merta dibayangkan sama. Maka itu, ideologi, atau pancasila, sebenarnya adalah ide yang fleksibel sekaligus ketat. Fleksibel berhadapan dengan kejamakan dan ketat sebagai panduan.

Tapi, ideologi juga bisa menyulut emosi seperti yang ditunjukkan Nathuram Godse. Tak bisa dibayangkan bagaimana India di kepala Godse yang pengikut hindu garis keras itu. Atau bagaimana pula India yang dikehendakinya dengan cara membunuh orang yang disebut Bapu itu. Tapi barangkali bisa kita tebak, kepala yang penuh dengan keyakinan yang fanatis, akan tak siap menerima beragamnya perbedaan. Kepala yang penuh ide yang sempit sudah pasti memiliki jiwa yang sempit.

Betapa cepatnya orang berubah karena ideologi. Tapi betapa berbahayanya perubahan yang disulut fanatisme. Kita tak tahu bagaimana sebuah keyakinan harus dibela dengan cara yang tepat. Bagaimana sebuah pandangan harus diusung diantara keragaman. Jika di luar sana adalah ruang yang sesak dengan kekerasan. Namun kita pasti yakin, pandangan yang tak disertai dialog adalah pandangan yang timpang.

Barangkali itulah yang sering terjadi di negeri ini. Orangorang seperti Nathuram Godse di mana ada keyakinan yang tak pernah tumbuh bersamaan dengan yang lain. Orangorang yang menginginkan negeri yang tanpa perbedaan dengan mengenyahkan keberagaman. Orangorang yang fanatik atas ide  tunggal hingga menjadi orangorang yang antik.

Tapi mudahmudahan itu tak terjadi. Kita tak ingin jika di suatu pagi seluruh koran di negeri ini memberitakan berita kematian seorang tokoh, akibat tembakan pistol orangorang fanatik semisal Nathuram Godse.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...