Tahun 1998 Indonesia kritis. Krisis moneter membikin
negara guyah. Pemerintah bingung oleh keadaan ekonomi yang tak kunjung membaik.
Harga barangbarang naik. Politik akhirnya jadi ribut. Rakyat pun mengamuk ke
jalanjalan. Demonstrasi di manamana, dan akhirnya mei, sang rejim turun tahta.
Sementara jauh di daratan eropa, sebuah buku terbit dan
menimbulkan gempar. The Third Way, The Renewal of Social Democracy.
Giddens, sosiolog Inggris itu sumber kegemparannya. Bukunya, yang berisi
tentang argumenargumen pembaruan demokrasi, sepertinya terbit di saat yang
tepat. Eropa dan Amerika, yang saat itu sedang mempersiapkan diri untuk
menghadapi situasi zaman milenium baru seperti menemukan obat mujarabnya.
Maka sontak Giddens diundang. Seminarseminar mengulas isi
bukunya. Ada kasakkusuk Tony Blair, perdana menteri Inggris saat itu,
mempertemukannya sampai ke hadapan presiden Clinton. Dan pertemuan itu punya
maksud mengulas isi buku yang gempar itu. Dan pasca itu, Stryker Mcguire
mengungkapkan, bukan saja Bill Clinton, berkat bukunya, Giddens bisa masuk ke
kantorkantor presiden hampir di seluruh dunia.
Tapi kita tak tahu, apakah
ia juga datang ke Indonesia di saat pasca krisis. Masuk di istana negara sampai
bercengkrama sebentar dengan tuan presiden beserta jajaran menterinya. Dan
dimulailah perbincangan serius antara elit kekuasaan dan seorang sosiolog untuk
membincang bukunya. Sebab buku yang disinyalir banyak mengubah wajah eropa juga
amerika itu, bisa saja, juga dapat mengubah jalan sejarah indonesia. Namun itu
hanya andaiandai.
Tapi sebelumnya, di pekan yang sama, saat "jalan
ketiga" terbit, sebuah majalah Inggris mengeluarkan ulasannya. Dalam
alinea pembukanya: "This book is aswesomely magisterial and in some way
disturbingly vacuous." Dalam kalimat itu nampaknya ada yang mengagumkan
juga sekaligus kosong. Selanjutnya, sontak tak ada pujipujian atas buku itu.
Tak ada yang dirasa spesial. Buku itu hanya vacuous; kosong.
The Ekonomist nampaknya tak puas,
sebab memang dalam buku itu tak ada resep yang pasti tentang apa yang disebut
"jalan ketiga." Dan memang Giddens tak menyebut jalan pasti diantara
pasca jatuhnya sosialisme dan berbahayanya pasar bebas. Dalam buku itu Giddens
hanya mengulas bagaimana perlunya jalan baru atas kemajuan yang semakin
berisiko. Ia hanya memberikan anjuran bagaimana seharusnya pemerintahan
sebuah negara bersikap atas perubahan tatanan ekonomi dunia yang cepat berubah. Toh jika perlu resep
pasti, ia hanya sampai pada sebuah kalimat yang semacam ini; kita hanya perlu
mengarahkan juggernaut yang larinya sudah tak terkontrol itu.
Bukan kapitalisme apalagi sosialisme. Lantas? Itulah
masalahnya. Giddens nampak mengambang diantara dua model ideologi dunia itu.
Sebab tak ada harapan dari jatuhnya sosialisme Soviet. Juga liberalisme pasar
tak sepenuhnya bisa diandalkan. Maka itu dia diundang untuk memperkenalkan
jalan pikiran yang berkelit antara kebebasan pasar dan intervensi negara. Dan
dari bukunya yang tak menyebut apa yang pasti dari jalan ketiga itu, nampaknya
berhasil mengubah wajah Eropa dan Amerika.
Banyak tafsir dan kritik pasca buku itu terbit. Tapi
akhirnya Giddens membalasnya dengan mengeluarkan buku untuk menjawab kritikan
yang ditujukan kepadanya. Artinya “jalan ketiga” yang ia perkenalkan masih
ambigu di mata dunia, juga pengkritiknya. Namun kita mesti mengingat, “jalan
ketiga” Giddens sesungguhnya bukan menawarkan alternatif diantara sosialisme
dan kapitalisme. Sebab di mata Giddens, dua ide besar itu, adalah hasil
pencerahan yang tak sepenuhnya bisa membikin sejarah sebuah negara membaik.
Eksperimen sosialisme justru runtuh, dan ini berarti tak ada harapan di
dalamnya. Kapitalisme? Malah mengabaikan kolektifisme yang dimakan pasar bebas.
Dalam konteks inilah sepertinya kita harus berhatihati
membaca “jalan ketiga.” Karena didalamnya, asumsiasumsi yang dituliskannya sungguh
seperti tak memiliki dasar teoritis di mana ia berdiri. Bukan sosialisme?,
bukan kapitalisme? Ataukah ini yang dimaksud Pos? sebuah bentuk pemikiran baru
atas masyarakat yang keluar dari logika antara individualisme dan kolektivisme?
Nampaknya kita hanya bisa menafsir. Nampaknya memang butuh kejelasan. Sebab
barangkali isi bukunya bisa memberikan arah baru tentang konsep seperti apakah
yang konteks dengan keadaan masyarakat seperti negeri ini.