Orang itu lapar dan butuh
tempat tidur. Jean Valjean, mantan napi yang nasibnya sudah buntung itu hanya
butuh rumah dan makanan. Ia sudah berjalan jauh dari kotakota. Dimasukinya
sebuah penginapan, namun ditolak. Juga ketukannya terhadap pintupintu
rumah yang lain menolaknya. Jean Valjean merana. Harapannya pupus. Semua pintu
mengharamkan bantuan kepadanya.
Namun di suatu malam, di
saat gundah dan lapar jadi sangat, ketika hampir semua pintu tak menyambutnya,
di dekat pojok katedral ia bertemu seorang perempuan. "Sudahkah kau
mengetuk rumah di ujung sana," perempuan tua itu menunjuk sebuah rumah
di suatu sudut dekat rumah mewah. "Belum," jawab Jean Valjean ketus.
"Pergi dan ketuklah," perempuan tua itu menyarankan. Jean Valjean
akhirnya beranjak dari kursi tempatnya tidur. Ditujunya sebuah rumah yang
ternyata milik seorang uskup tua. Dan dari perbincangan singkat itu, di dalam
sebuah rumah uskup, sebuah nasib akan bermula. Jean Valjean akan menjelma. Jean
Valjean akan berubah.
Prancis di abad 18, memang
mudah membikin orang menjadi sengsara. Apalagi mantan napi yang belum bebas
penuh, seperti Jean Valjean, tokoh protagonis dalam novel termasyur Victor
Hugo; Les Miserables. Sesiapa pun yang terlanjur menjadi masyarakat miskin,
pengangguran, berpenyakitan tanpa pengharapan akan mengerti satu keyakinan;
bersiap dikucilkan.
Foucault setidaknya mencatat bahwa di abadabad itu, orangorang semacam Jean Valjean, mantan narapidana, kaum miskin, kaum lepra atau tunasusila adalah korban dari kekuasaan. Bahwa mesti ada penertiban terhadap kaum papa, bahwa mesti ada penyingkiran kaum miskin terhadap tatanan masyarakat elit. Eropa saat itu memang sedang membangun sebuah rejim kaum elit, peradaban yang bersih dari orang semacam Jean Valjean.
Tetapi dalam Les
Miserables, Victor Hugo menuliskan segurat nasib yang tidak lurus. Kemiskinan
yang begitu dalam dialami masyarakat Prancis saat itu, digubahnya dalam kisah
perjalanan seorang Jean Valjean yang mantan napi miskin, menjadi seorang
walikota pengusaha yang tak abai dengan nasib manusia yang melarat. Dalam Les
Miserables, Victor Hugo ingin bercerita bahwa kemiskinan dan kebaikan bisa
mengubah banyak hal, termasuk hati seseorang.
Tapi kebaikan seperti
apakah yang dimaksudkan oleh Victor Hugo, yang mampu mengubah Jean Valjean dari
seorang papa, mantan buron menjadi orang yang berhati emas? Kebaikan itu
diungkapkannya pada fragmen cerita saat Jean Valjean tertangkap pasca mencuri
alat makan perak uskup yang menampungnya tidur. Di kisah itu dari pengakuan
seorang uskup yang tidak diduga Valjean, akhirnya membuatnya tersentak kaget.
Suatu yang tak dia bayangkan sebelumnya.
Fragmen ceritanya seperti
ini: malam itu, pasca ia bertemu dengan perempuan tua yang menunjukkannya
sebuah rumah, Jean Valjean beranjak pergi. Ternyata yang ditunjukinya adalah
rumah seorang Uskup. Diketuknya dan tanpa didugaduga, uskup tua itu
menyambutnya dengan hangat dan memberinya tumpangan untuk menginap. Tak ada
rasa takut dalam hati Uskup itu. Tapi di malam itu, setelah jamuan makan malam,
setelah semuanya terlelap, Jean Valjean tak tidur. Di malam buta itu ia bangkit
mengambil peralatan makanan perak pastur yang ditemukannya di almari di dalam
dapur. Jean Valjean mencurinya dan Dia kabur.
Paginya ketika uskup telah
menyadari ditipu mentahmentah. Datang sekumpulan polisi yang membawa serta Jean
Valjean. Ternyata ia ditangkap karena dicurigai membawa barang yang dinilai tak
sanggup ia miliki. Jean Valjean merana, pikirannya kalut. Baru saja ia
mendapatkan kebebasannya, ternyata nasib tak berubah. Ia akan dipenjara lagi.
Tetapi saat itu, saat polisi mempertemukan Jean Valjean dengan Uskup, ia justru
kaget bukan kepalang. Sang uskup dengan senyum malah menyambutnya. Polisi kaget.
Jean Valjean apa lagi.
Ternyata sang uskup malah
mengatakan kepada polisi bahwa ia sebenarnya yang memberikan peralatan makan
itu kepada Jean Valjean. Bukan seperti dugaan polisi. Sontak karena pengakuan
uskup bahwa tak ada barang sesuatu pun yang dicuri Valjean, maka ia dilepaskan.
Akhirnya polisi pergi. Yang tinggal adalah Valjean yang merasa heran dan
bersalah. Pagi itu ia menemukan kebaikan yang tak pernah diduganya. Jean
Valjean gemetar.
Dalam kisah itu ada
kebaikan yang janggal atau bahkan tak biasa. Yakni kebaikan hati dari seorang
uskup tua terhadap seorang mantan buronan yang mencuri di rumahnya. Kebaikan
yang sulit ditafsir oleh hukum moral. Kebaikan ini barangkali yang disebut
dalam etika kristiani “jika engkau ditampar pada pipi kiri, maka berikan juga
pipi kanannmu.” Suatu kebaikan yang tanpa konteks. Suatu kebaikan yang tak
punya sangkut paut oleh pretensi apapun selain kebaikan itu sendiri. Barangkali
kebaikan demikianlah kebaikan yang dimaksudkan Kant, ketika kebaikan dilakukan
oleh karena tanpa syarat apapun.
Namun, kebaikan sang uskup
melepaskan Jean Valjean pada kisah Les Miserables itu, menjadi penanda
bagaimana kebaikan mampu mengguyah hati seorang Jean Valjean. Sebab dalam
cerita yang konon banyak membuat tangisan saat mencetaknya, pasca kejadian itu
Jean Valjean akhirnya menjadi pribadi yang berubah baik. Dari seorang mantan
napi menjadi walikota yang punya peka terhadap nasib orangorang kecil.
Di luar itu, saya juga banyak menyaksikan dan bahkan mengalami bagaimana susahnya berbuat baik yang tanpa syarat apapun. Atau dalam beberapa pengertian disebut ikhlas. Barangkali kita belum sempat bertemu orang seperti uskup dalam novel Les Miserables. Atau justru barangkali kita belum guyah dengan kebaikan di sekitar kita, untuk dapat mengerti bagaimana seharusnya kebaikan diperlakukan. Seperti Victor Hugo menulis tentang kebaikan bisa mengubah banyak hal, termasuk hati seseorang.
Seandainya uskup itu di
sini?