madah duapuluhdelapan

Orang itu lapar dan butuh tempat tidur. Jean Valjean, mantan napi yang nasibnya sudah buntung itu hanya butuh rumah dan makanan. Ia sudah berjalan jauh dari kotakota. Dimasukinya sebuah penginapan, namun ditolak. Juga  ketukannya terhadap pintupintu rumah yang lain menolaknya. Jean Valjean merana. Harapannya pupus. Semua pintu mengharamkan bantuan kepadanya.

Namun di suatu malam, di saat gundah dan lapar jadi sangat, ketika hampir semua pintu tak menyambutnya, di dekat pojok katedral ia bertemu seorang perempuan. "Sudahkah kau mengetuk rumah di ujung sana," perempuan tua itu menunjuk  sebuah rumah di suatu sudut dekat rumah mewah. "Belum," jawab Jean Valjean ketus. "Pergi dan ketuklah," perempuan tua itu menyarankan. Jean Valjean akhirnya beranjak dari kursi tempatnya tidur. Ditujunya sebuah rumah yang ternyata milik seorang uskup tua. Dan dari perbincangan singkat itu, di dalam sebuah rumah uskup, sebuah nasib akan bermula. Jean Valjean akan menjelma. Jean Valjean akan berubah.

Prancis di abad 18, memang mudah membikin orang menjadi sengsara. Apalagi mantan napi yang belum bebas penuh, seperti Jean Valjean, tokoh protagonis dalam novel termasyur Victor Hugo; Les Miserables. Sesiapa pun yang terlanjur menjadi masyarakat miskin, pengangguran, berpenyakitan tanpa pengharapan akan mengerti satu keyakinan; bersiap dikucilkan.

Foucault setidaknya mencatat bahwa di abadabad itu, orangorang semacam Jean Valjean, mantan narapidana, kaum miskin, kaum lepra atau tunasusila adalah korban dari kekuasaan. Bahwa mesti ada penertiban terhadap kaum papa, bahwa mesti ada penyingkiran kaum miskin terhadap tatanan masyarakat elit. Eropa saat itu memang sedang membangun sebuah rejim kaum elit, peradaban yang bersih dari orang semacam Jean Valjean.

Tetapi dalam Les Miserables, Victor Hugo menuliskan segurat nasib yang tidak lurus. Kemiskinan yang begitu dalam dialami masyarakat Prancis saat itu, digubahnya dalam kisah perjalanan seorang Jean Valjean yang mantan napi miskin, menjadi seorang walikota pengusaha yang tak abai dengan nasib manusia yang melarat. Dalam Les Miserables, Victor Hugo ingin bercerita bahwa kemiskinan dan kebaikan bisa mengubah banyak hal, termasuk hati seseorang.

Tapi kebaikan seperti apakah yang dimaksudkan oleh Victor Hugo, yang mampu mengubah Jean Valjean dari seorang papa, mantan buron menjadi orang yang berhati emas? Kebaikan itu diungkapkannya pada fragmen cerita saat Jean Valjean tertangkap pasca mencuri alat makan perak uskup yang menampungnya tidur. Di kisah itu dari pengakuan seorang uskup yang tidak diduga Valjean, akhirnya membuatnya tersentak kaget. Suatu yang tak dia bayangkan sebelumnya.

Fragmen ceritanya seperti ini: malam itu, pasca ia bertemu dengan perempuan tua yang menunjukkannya sebuah rumah, Jean Valjean beranjak pergi. Ternyata yang ditunjukinya adalah rumah seorang Uskup. Diketuknya dan tanpa didugaduga, uskup tua itu menyambutnya dengan hangat dan memberinya tumpangan untuk menginap. Tak ada rasa takut dalam hati Uskup itu. Tapi di malam itu, setelah jamuan makan malam, setelah semuanya terlelap, Jean Valjean tak tidur. Di malam buta itu ia bangkit mengambil peralatan makanan perak pastur yang ditemukannya di almari di dalam dapur. Jean Valjean mencurinya dan Dia kabur.

Paginya ketika uskup telah menyadari ditipu mentahmentah. Datang sekumpulan polisi yang membawa serta Jean Valjean. Ternyata ia ditangkap karena dicurigai membawa barang yang dinilai tak sanggup ia miliki. Jean Valjean merana, pikirannya kalut. Baru saja ia mendapatkan kebebasannya, ternyata nasib tak berubah. Ia akan dipenjara lagi. Tetapi saat itu, saat polisi mempertemukan Jean Valjean dengan Uskup, ia justru kaget bukan kepalang. Sang uskup dengan senyum malah menyambutnya. Polisi kaget. Jean Valjean apa lagi.

Ternyata sang uskup malah mengatakan kepada polisi bahwa ia sebenarnya yang memberikan peralatan makan itu kepada Jean Valjean. Bukan seperti dugaan polisi. Sontak karena pengakuan uskup bahwa tak ada barang sesuatu pun yang dicuri Valjean, maka ia dilepaskan. Akhirnya polisi pergi. Yang tinggal adalah Valjean yang merasa heran dan bersalah. Pagi itu ia menemukan kebaikan yang tak pernah diduganya. Jean Valjean gemetar.

Dalam kisah itu ada kebaikan yang janggal atau bahkan tak biasa. Yakni kebaikan hati dari seorang uskup tua terhadap seorang mantan buronan yang mencuri di rumahnya. Kebaikan yang sulit ditafsir oleh hukum moral. Kebaikan ini barangkali yang disebut dalam etika kristiani “jika engkau ditampar pada pipi kiri, maka berikan juga pipi kanannmu.” Suatu kebaikan yang tanpa konteks. Suatu kebaikan yang tak punya sangkut paut oleh pretensi apapun selain kebaikan itu sendiri. Barangkali kebaikan demikianlah kebaikan yang dimaksudkan Kant, ketika kebaikan dilakukan oleh karena tanpa syarat apapun.

Namun, kebaikan sang uskup melepaskan Jean Valjean pada kisah Les Miserables itu, menjadi penanda bagaimana kebaikan mampu mengguyah hati seorang Jean Valjean. Sebab dalam cerita yang konon banyak membuat tangisan saat mencetaknya, pasca kejadian itu Jean Valjean akhirnya menjadi pribadi yang berubah baik. Dari seorang mantan napi menjadi walikota yang punya peka terhadap nasib orangorang kecil.

Memang kisah Les Miserables adalah kisah orangorang miskin, dan juga bagaimana kebaikan dapat mengubah jalan cerita seseorang. Novel yang berlatar Perancis ditahun 1800an itu memang kisah yang tak lurus diantara kehidupan masyarakat yang melarat. Tapi setelah kita membacanya, kita bisa tahu betapa di balik kemelaratan tak selamanya kebaikan juga melarat. Ketika saya membacanya bertahun yang lalu, sampai sekarang saya tak mengerti, bagaimana sebuah kebaikan sederhana begitu dalam mengguyah batin seseorang untuk berubah. Karena itulah saya hanya yakin- tanpa bisa mengerti sepenuhnya- bahwa kebaikan itu punya caranya sendiri dalam menunjukkan kekuatannya. 

Di luar itu, saya juga banyak menyaksikan dan bahkan mengalami bagaimana susahnya berbuat baik yang tanpa syarat apapun. Atau dalam beberapa pengertian disebut ikhlas. Barangkali kita belum sempat bertemu orang seperti uskup dalam novel Les Miserables. Atau justru barangkali kita belum guyah dengan kebaikan di sekitar kita, untuk dapat mengerti bagaimana seharusnya kebaikan diperlakukan. Seperti Victor Hugo menulis tentang kebaikan bisa mengubah banyak hal, termasuk hati seseorang.

Seandainya uskup itu di sini?