madah delapanbelas

Demokrasi sebagai kekuatan politik adalah sistem yang sebenarnya tidak selamanya tepat. Terutama bagi negaranegara yang masih menyimpan sisasisa masa lalu. Di negeri seperti indonesia, sisasisa masa lalu itu sudah seperti akar beringin yang tak ingin kehilangan pengaruh; feodalisme, aristokrasi dan mitologi.

Negeri yang tak sepenuhnya demokratis sama artinya dengan negeri yang belum sepenuhnya modern. Modern, kata yang mengandung kemajuan itu, berarti hadirnya subjek sebagai kekuatan yang kukuh. Modern dengan subjeknya yang kukuh, sama halnya seperti Kant menyebutnya sebagai pencerahan. Kant dengan semangat kritismenya, menandai pencerahan sebagai usaha yang mandiri, setelah ia terbangun dari tidur dogmatisnya, ia menyebutnya sebagai pemikiran yang berangkat dari pikiran yang mandiri.

Itu berarti demokrasi setidaknya adalah subjek yang tegak atas pemikirannya, suatu "aku" yang keluar dari ikatan yang totalis. Dalam arti inilah modern sejajar dengan demokrasi, atau demokrasi adalah sistem yang membutuhkan ruang yang modern. Suatu tempat yang tegak dengan semangat atas "aku" yang otonom dan mandiri.

Dengan begitu dengan sendirinya demokrasi menghasilkan kedaulatan. Daulat berarti posisi yang mengalami kemerdekaan bersamaan dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Sebab yang mendaulat adalah subjek "aku" atas "aku." Rakyat atas rakyat dan untuk rakyat. Dan yang daulat berarti juga rakyat yang menyadari dirinya bagian dari yang mendaulat. Tapi bukankah ini mengandung implikasi yang kontardiktif?, walaupun begitu, justru sebenarnya dari sanalah kekuatannya. Demokrasi menjadi tatanan yang mengawasi dan tatanan yang diawasi. Kedaulatan yang daulat adalah kedaulatan yang bersih diri. Jika demikian maka tak ada yang daulat dari selain dirinya sendiri.

Tapi demokrasi punya cacat. Kekuatannya bisa menyimpang walaupun kedaulatan masih tegak dan berdiri Pertama, demokrasi dalam tatanan yang modern selalu mengandaikan agregasi. Dibalik kekuatannya, yang banyak adalah suara yang mayor. Dan yang mayor diartikan sebagai suara yang mewakili kebaikan umum. Kedua, yang mayor berarti menempatkan minoritas justru sebagai bagian yang periperi, yakni suara atas hakhak yang tak diakui, terpinggirkan.  Dengan arti inilah demokrasi bisa berbahaya, yakni yang mayor, yang banyak, bisa membangun konsensus yang timpang.

Karena itulah demokrasi adalah sistem yang dicela sekaligus dipuja. Demokrasi selalu dianggap jalan terbaik dari politik, sekaligus usaha terburuk dari kesepakatan. Sebab demokrasi dicela bukan karena prosedurnya yang memang ribet, melainkan demokrasi selalu ditandai dengan satu hal; status quo.

Dari itulah demokrasi seperti di Indonesia bisa saja salah kaprah, atau seperti kurang tepat. Status quo dalam sejarah Indonesia selalu menyertai dirinya bersamaan dengan kehadiran semangat feodalistik yang aristokratik. Dan segala hal yang berbau mitos, selalu menjadi daya penjelas diantara berdirinya tatanan yang aristokratik.

Maka dari itu, diantara tegaknya semangat demokrasi, bersamaan dengan usaha memodernkan diri, selalu ada legenda yang dipertahankan. Selalu ada babad yang disertakan. Sampai akhirnya demokrasi yang semula berwajah modern, justru adalah peragaan paham demokrasi yang berbau klenik.

Di indonesia, kenyataan terhadap yang klenik juga mengandung masalah yang pelik. Agama, sebagai suatu anjuran moral, sebagai suatu keyakinan, tidak sepenuhnya merupakan keyakinan yang mengurung diri di bawah kubah. Agama juga punya hasrat untuk memerintah dan bertahta, maka dari itu ia keluar mengatur umat, mengatur rakyat. 

Dan malangnya, Di Indonesia, agama tak selalu bersih dari cara berpikir yang mengandung akal sehat. Agama di Indonesia, justru masih menjadi bagian dari masa lalu; suatu ajaran yang tenggelam oleh mitos. Maka di sinilah kleniknya, bersamaan dengan demokrasi yang mengharuskan akal sehat bertemu dengan hasrat kekuasaan yang didorong oleh sistem yang klenik.

Sebab itu, demokrasi, di Indonesia adalah politik yang klenik. Politik yang mirip itik; di mana induknya pergi, maka di belakangnyalah anakanak itik ikut tak berkutik.