Langsung ke konten utama

memilih jadi ibu; Architeksture

Catatan ini adalah hal yang baru dari rutin saya. Kenapa baru? Sebab tidak seperti biasanya saya menyempatkan waktu untuk menyimpan memori saya dalam sebuah catatan. Terutama tentang seluruh aktifitas selama saya bergelut dengan harihari.  Ini setidaknya mengikuti kebiasan pengalaman seorang perempuan centil galau dan tak kuasa atas lingkungannya, sehingga akhirnya memilih merekam suasana emosinya di balik tutur catatan. Yang memilih katup bibirnya bersuara dari ujung penanya. 

Di waktu saya kecil saya sering menemukan kebiasaan perempuan semacam itu; menulis semacam diari sebelum mereka mengakhiri hari di  pertengahan malam. Dan barangkali semacam itulah yang akan saya lakukan di harihari depan saya; menyisakan waktu untuk menyimpan memori saya, ingatan saya, atau kesan saya selama seharian.  

Mungkin juga ini akan menjadi aktifitas yang sedikit feminin; berdiam diri untuk merehabilitasi ingatan dalam pugar katakata. Dan memang menurut saya menulis itu aktivitas yang feminin. Barangkali karena itulah kebiasaan ini menjadi pengalaman hampir bagi perempuan yang saya temui di waktu kecil dulu. 

Saya masih teringat dengan kakak perempuan saya yang memiliki kebiasaan semacam itu. Menulis apa saja yang ia alami dan yang dirasakan di dalam buku kecilnya. Darinyalah saya pertama kali melihat bagaimana aktifitas menulis membutuhkan keberlangsungan yang terus menerus. Di tiap malamnya, berharihari. Saya tahu karena dulu saya sering membongkar isi lemarinya untuk mencari cokelat  dan menemukan buku diarinya; diamdiam saya sering membacanya, isinya macammacam. Tetapi jangankan kakak saya, perempuan di waktu hari ini sangat  sudah jarang melakukan itu. Malang.

Menjadi feminin dalam arti berdiam diri dan merawat ingatan adalah hal yang langka sepanjang pengetahuan saya. Sebab di sana adalah rutin yang membutuhkan waktu di saat klimaks dari peristiwa yang ajeg sering dilakukan. Situasi yang di dalamnya membutuhkan perawatan dan perhatian, mirip seorang perempuan.  Atas itulah saya membayangkan untuk kedepannya saya membutuhkan sifat keperawatan dan perhatian yang lebih dari biasanya untuk membangun ingatan saya, menyusunnya dengan pelanpelan selama beberapa waktu. Barangkali dalam hal ini saya tengah menjadi seorang ibu yang merawat dengan sabar, anakanaknya, buah kandungnya, dari rahimnya. Saya menjadi ibu bagi ingatan saya, merawatnya dari rahim ingatan saya.

Untuk itulah suatu saat nanti, saya dapat melihat sejauh mana saya merawat anakanak saya. Dan sudah tuakah saya dengan kedewasaan anakanak saya. Sampai di sini ingatan saya juga akan menjadi semacam tugu atau monumen tentang perayaan sebuah perkembangan, tentu anakanak saya. Dalam perjalannya saya akan dapat melihat di mana saatsaat penting yang membentuk karakter anakanak saya, dan secara tidak langsung adalah diri saya. Di dalam waktulah saya akan menemukan penanda, di dalam anakanak sayalah saya akan menemukan ukuran seberapa jauh saya membina diri.

Yang aneh dalam hal ini, ide ini datang tetiba begitu saja. Untuk menuliskan catatan dalam bentuk semacam ini. Saya agak sedikit khawatir bagi hari esok, apakah saya dapat terus menjadi seorang ibu yang memiliki banyak kekuatan di balik kesabaran dan ketekunannya. Dari itulah saya menyadari tentang sebuah pilihan untuk menjadi perempuan, sebab  mustahil menjadi seorang ibu tanpa dahulu menjadi seorang feminin, seorang perempuan. 

Dari itulah sebabnya saya harus menjadi seorang perempuan untuk melangsungkan aktifitas semacam ini; di dalamnya diandaikan ketekunan, ketelitian dan tentu kesabaran. Akhirnya saya memilih untuk menjadi seorang perempuan, seorang ibu.

Catatan pertama ini saya andaikan sebagai penanda baru saya menjadi seorang perempuan. Sebagai kebiasaan merawat ingatan dan pengalaman saya. Jika sufi besar Ibn Arabi pernah berkeinginan untuk dilahirkan sebagai perempuan untuk kedua kalinya, dari catatancatatan ini, kedepannya, saya telah menjadi seorang perempuan. Melalui ini saya yakin, peradaban dengan cara yang sederhana ini, dapat direhabilitasi, memugar yang bopeng di sini dan di sana. Islam dengan tepat menyebutnya dengan madani, yang di dalamnya ada umat, dari akar kata ummi; ibu.

Tetapi saya punya istilah yang muncul tetiba saja, untuk menyebut akifitas yang feminin ini. Istilah yang arbitrer begitu saja. Barangakali ada kaitannya juga dengan akifitas sebagai seorang ibu yang memugar peradaban; architeksture. Yakni aktifitas sebagaimana seorangg penjuru yang memimpin untuk membangun sebuah bangunan yang membutuhkan ketelitian dan presisi yang tak ingin meleset. Demi sebuah bangunan yang tegak menjulang atas fondasi dan desain yang yang tepat ukuran. Sebuah perencanaan untuk mendirikan sebuah susun bangun interior dan eksterior megah. 

Tetapi dengan apa semua itu dibangun? Melalui rancang bangun yang teliti? Dalam hal ini bahannya adalah sebuah ide, gagasan yang mengembang dalam teks, dibangun dan dibongkar untuk megah yang berdiri kokoh atas struktur susunannya. Sebuah susun bangun gagasan, pikiran atau ingatan yang di bongkar kemudian disusun berdiri tahap demi tahap.

Demikianlah saya menyebutnya architeksture. Untuk membangun ide dan ingatan saya melalui aktifitas seorang ibu. 

Syahdan, saya perlu istirahat dan belum sempat menulis isi ingatan saya dari aktifitas seharian ini. Setidaknya saya telah memulai rutin yang baru. Saya akhiri saja dengan perkataan dari Deleuze, pemikir Prancis itu, “orang selalu menulis untuk menghadirkan  sesuatu ke dalam kehidupan, untuk membebaskan kehidupan dari penjaranya.” Sampai ketemu.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...