Sepertinya ada yang diamdiam terus membayangi di balik
tegaknya intitusi masyarakat. Terus mengendus dari dalam dan merusak dengan
cara yang tak kasat mata. Pelanpelan menjangkiti seperti hasrat yang tak pernah
lengkap dan puas. Lamatlamat yang tak pernah puas itu membangun sebuah hirarki.
Yang tak pernah puas itu biasa dieja dalam arti yang sama dengan satu
hal; kekuasaan.
Dan kekuasaan yang diamdiam bekerja itu punya dua
sikap yang jadi watak dalam setiap yang berbau birokrasi; Firaun dan Bal'am.
Firaun, seperti yang diulangulang dalam sejarah adalah penguasa yang menilap
tuhan. Atau nyaris menghabisi tuhan, sebab dalam quran diceritakan ia justru
berkoar: aku adalah tuhan yang dapat mencabut nafas dan mampu
menghilangkan nyawa. Sementara Bal'am kita tahu, ia orang yang menyokong Firaun,
dengan dalilnya, dengan argumentasi ilmunya. Diceritakan melalui sejarah,
dengan dalildalil ilmunyalah, Firaun membangun kerajaannya.
Tetapi adakah itu sudah cukup? Nampaknya sejarah selalu
menyisakan tempat untuk yang lain; Qarun. Dalam islam, terutama yang
digambarkan Ali Syariati, Qarun adalah simbol antagonisme kelas ekonomi atas,
golongan pemilik modal yang kehilangan sentimennya terhadap masyarakat
tertindas.
Ali Syariati juga menyebut
nama yang lain. Dari telusur filsafat sejarahnya, Ali Syariati menyebut satu
nama; Qabil, yakni simbol masyarakat dominan yang mengagungkan hak kepemilikan
pribadi atas penguasaan yang publik. Qabil, digambarkannya sebagai simpul yang
merangkul dari apa yang ia sebut trinitarianisme sosial; Firaun, Bal'am dan
Qarun.
Sebuah narasikah ini? Nampaknya ini tidak sekedar sejarah
yang berasal dari negerinegeri seribu satu malam. Apalagi deskripsi dari
teksteks yang sering dikutipkutip. Syariati tidak hendak membangun pemahaman
yang teologis atas masyarakat, melainkan sebuah pandangan yang sosiologis. Ia
rasarasanya resah bahwa dalam kehidupan masyarakat, yang disebut watak, sifat
yang mendasari sebuah peran, bisa menjadi sebuah kangker dalam tubuh
masyarakat; ganas dan merusak.
Ini berarti tabiat maupun watak bukan keberadaan
yang sui generis. Bukan hakikat yang ahistoris dan di luar sejarah.
Tidak seperti subtansi yang sudah dimaktub dalam lauh mahfus. Seperti sesuatu
zat yang ada dengan sendirinya. Ia justru dibentuk dan dicipta dalam sejarah.
Ditempa dalam lingkungan, diciptakan dari pergulatan dan pengalaman atas
kenyataan. Ia -dalam prosesnya- terus mengalami perubahan yang tiada hujung.
Dalam arti inilah tabiat watak tidak sepenuhnya perihal
yang sudah jadi. Untuk itulah kita seharusnya tak harus percaya betul terhadap
masyarakat di luar sana. Sebab nampaknya memang tabiat selalu mengikuti keadaan
sosial; baik buruknya sudah seperti lempung lumpur yang dibentuk. Atau
janganjangan memang betul bahwa manusia sebenarnya adalah mahuk antisosial.
Di sini kita boleh saja mengiyakan Hobbes dengan
pandangan etisnya bahwa manusia disebut etis bila sejauhjauhnya ia bisa
memenuhi keinginan individualnya. Tindak etis ini disebut pemeliharaan diri.
Tindak etis ini disebut egoisme. Dari sinilah yang antisosial itu muncul
dan meraup segala yang ada. Tapi Hobbes tahu jika yang individual dipertemukan
ke dalam yang sosial; bellum omnes contra omnia. Maka yang ada
adalah perang yang semua melawan yang semua; homo homini lupus.
Memang sepertinya itulah yang terjadi di sekitar kita.
Situasi yang timpang sana timpang sini. Yang punya kuasa justru nampak seperti
serigala; menindas, menghambat dan memaksamaksa. Sementara di bawahnya justru
seperti dibilang Pram, menjilat, mengembik atau malah penghambaan. Jadi
bukannya kita harus mafhum terhadap alur masyarakat yang mencipta “kangker”
yang tak pernah sembuhsembuh, melainkan kenapa seluruh watak yang pernah ada
dalam sejarah masih tetap bertahan hingga kini. Adakah ini memang seperti hilir
sungai yang baik hilir dan muaranya sudah tercemari. Apakah memang yang
individual sudah seperti yang sosial; bellum omnes contra omnia. Perang
di sana sini. Meraup segala hal selagi sempat dan mampu.