Langsung ke konten utama

madah tiga


Belakangan ini waktu senggang jadi demikian langka. Nampaknya dinamika zaman yang dimisalkan Giddens ibarat juggernaut, memang bukan main-main: berlari kencang dan tanpa arah.

Juggernaut sebagai macan besar memang masalah. Pertama ia tak bisa dikendalikan, dan kedua ia buta tujuan. Itu sebabnya, waktu bagi masa sekarang demikian berharga. Tiap detik, menit, jam, bahkan hari mesti dikalkulasi menjadi kapital. Waktu adalah uang, begitu adagium masyarakat modern. Di titik ini, manusia modern kehilangan kepekaan atas waktu. Kehilangan penghayatan atas waktu.

Lalu untuk apa waktu dihayati? Martin Heidegger punya jawabannya. Filsuf gaek Jerman ini mengajukan satu pilihan, menjadi das Sein atau das Man?

Das Sein adalah istilah khas Heidegger bagi mahluk yang berkemampuan menanyakan eksistensinya selama di dunia. Das Sein secara etimologis berarti ”yang ada di sana”. Dalam bahasa khas fenomenology Heidegger, das Sein adalah satu-satunya mahluk berkesadaran yang mampu mengartikan keberadaannya di dunia melalui reflesksi pertanyaan kritis berupa mengapa kita terlempar (berada) di dunia ini?

Manusia, dengan kata lain, adalah mahluk penggelisah berkaitan dengan keberadaannya yang sudah ada ”di sana”, di dalam dunia.   Atau dalam bahasa yang lain ”yang di sana” tempat yang dikatakan sebagai dunia mukim tempat kita berada sudah selalu ”di sana”, dan akan tetap ”di sana”. Ini berarti ”yang sudah selamanya di sana” adalah dunia yang mesti dipertanyakan.

Mengapa sudah ada dunia ”yang sudah ada di sana?” atau, akhirnya menjadi mengapa aku ”sudah selalu ada di sana”. Das Sein, atau aku yang gelisah atas eksistensinya di dunia, di titik kesadaran tertentu, kata Heidegger akan berbalik mempertanyakan ”ada” itu sendiri. Apakah arti ”ada”? Bagi das Sein, apa sesungguhnya arti ber-Ada?

Bila menengok seluruh keberadaan, samakah beradanya aku dengan keberadaan yang lain? Yang lain bisa ada tetapi tidak mengada. Keberadaan ada secara eksistensi, tapi ia tidak bereksistensi. Ia sekadar ada namun tidak berkemampuan menyadari eksistensinya. Dengan kata lain, hanya das Sein, yang mampu mempersalahkan keberadaannya dalam ruang dan waktu. Dari cara demikian, kata Heidegger, das Sein adalah orang-orang yang ingin selalu mencandra ”Sang Ada” melalui penghatan atas waktunya.

Waktu pada akhirnya nampak tidak sederhana lagi. Ia medan manusia mengartikan keberadaannya. Hanya manusialah yang mengalami waktu demikian intim dari keberadaa lain. Keintiman ini demikian sublim sehingga manusia tidak sekadar ada di dalam waktu. Ia malah ”ada bersama waktu”. Ia tidak tenggelam begitu saja di dalam waktu, justru ”bersama” waktu ”di dalam waktu” dalam ”kemewaktuan” dirinya.

Melalui itulah waktu menjadi eksponen penghayatan manusia. Menjadi medium pembebasan. Itu artinya manusia mengada bukan sebagai ada yang lain semisal kursi, lilin, meja, bunga, buku dsb, yang hanya sekedar benda-benda tanpa menyertakan waktu.

Ada bersama waktu inilah waktu senggang berkemampuan memerdekakan manusia dari waktu berbasis kecepatan. Juggernaut memang cepat, tetapi ia belum tentu ”ada bersama waktu.” Sang Juggernaut sama halnya benda-benda yang lain. Dikontrol waktu, menerima waktu, di dalam waktu begitu saja. Ia bukan das Sein. Ia justru das Man, figur mayoritas yang diarak waktu tanpa ampun. Figur orang banyak yang kehilangan kepekaan atas waktu.

Maka di pacuan Juggernaut tak ada momen permenungan atas waktu. Tidak ada momen pembebasan. Suatu momen melihat waktu seperti pertama kali melihat tampakan-tampakan realitas. Saat pertama kali manusia terperanga dan terpesona.

Masyarakat modern sudah kehilangan pesona atas  segala hal. Tidak melihat seperti dari sudut mata anak kecil yang melihat gedung-gedung pencakar langit, luasnya angkasa, teriknya matahari, ramainya ibu kota. Ia terpesona atas segala kebaruan. Sesuatu demikian asing tapi sekaligus memukau.

Dan memang dunia telah kehilangan pesona. Ini sudah jauh hari dibilangkan Weber semenjak rasionalitas datang dan merengkuh serta menafsir dunia. Semenjak itulah dunia, yang belum ditaklukkan, menjadi kenyataan yang diefisienkan, diefektifkan dan ditakar. Oleh karena itulah, dunia akhirnya menjadi semakin rasional dan meninggalkan ketakjuban dari alam dunia yang maha dahsyat. Semenjak itulah kapitalisme berawal tumbuh dan tumbuh, hingga akhirnya hari ini, waktu ini.

Dan waktu di hadapan kapitalisme harus diburu cepat sebab tiada ruang selain pertukaran. Di saat inilah waktu senggang akhirnya menjadi konsumtif. Dan waktu yang ingin kita merdekakan dari koloni modal itu, memang suatu yang langka akhir-akhir ini.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...