Langsung ke konten utama

madah sembilan

Manusia bisa saja bebas dan bertindak merdeka, tetapi sepertinya juga tidak sepenuhnya benar betul. Manusia dengan segala supremasinya harus juga tahu, bahwa dunia tak sepenuhnya bisa ditaklukkan. Dunia punya hukum objektif, dunia punya semacam mekanisme yang sulit ditebak, dan di luar sana, dunia memang begitu cepat berubah.

Nasib atau takdir memang objektif tetapi bagaimana nasib dan juga takdir bekerja adalah perkara yang subjektif.

Dalam keyakinan agama, takdir sudah dinisbahkan kukuh dan tak tersentuh perubahan. Tak ada pergantian apalagi perubahan rencana. Teos sudah sedari awal membangun skenario, hingga telos juga sudah merupakan bagian yang tak bisa diganggu gugat. Segala peristiwa memang sudah terprediksi. Ini berarti sejarah, apa yang telah sudah terjadi, atau bagaimana hari depan di alami, merupakan garis yang telah ditetapkan. Manusia jika sudah hidup, maka hanya tinggal bekerja dan berperilaku seperti peran yang telah disuratkan. Dan di saat demikianlah, takdir memang iman yang sudah selalu diterima tanpa sanksi.

Lantas bagaimanakah “yang subjektif” itu kita tempatkan dihadapan nasib yang determinis? Bagaimanakah kita dapat bersikap? Atau bagaimana mungkin kita keluar dari takdir yang telah lurus didepan sejarah?

Disinilah barangkali manusia bukan lagi sebagai human being, tetapi dalam bahasa eksitensialis adalah human becoming. Manusia sebagai human being adalah keberadaan yang biologis, ditentukan sosiologis dan dibentuk historis. Inilah manusia yang ditentukan keadaankeadaan eksternalitas. Dibentuk dan diolah oleh kekuatan di luar, juga nasib. Maka manusia yang sekedar berada hanyalah keadaan yang tanpa tujuan dan maksud. Mahluk yang pasif dihadapan nasib.

Human becoming sebagai modus eksistensi adalah modus yang diluar nasib. Keadaan yang berkelit dari rangkuman yang diberikan keadaan. Keinginan yang berusaha keluar dari batasanbatasan yang dimiliki. Keadaan ini adalah situasi yang disulut dorongan internal; kehendak. Dengan kehendaklah manusia tidak sekedar being, tetapi juga menjadi. Manusia yang menjadi adalah manusia yang membentuk situasi, sejarahnya dan juga nasibnya.

Human is becoming seperti yang dibilang Syariati adalah manusia yang melampaui empat penjaranya; sejarah, masyarakat, alam dan ego. Di luar dari itulah kehendak berusaha berperan untuk menjadi. Di dalam sejarah, masyarakat, alam dan ego, kita berusaha untuk keluar dari apa yang telah menjadi hukum besi yang kukuh agar keluar dari tembok yang tegak berdiri.

Tetapi benarkah nasib dapat diubah dengan kekuatan kehendak? Perbincangan ini bisa panjang. Barangkali suatu saat dapat saya tulis di sini. Tetapi setidaknya saya telah berupaya untuk menembusi keadaan di luar rutin saya. Seperti malammalam sebelumnya dan selanjutnya; kehendak untuk menulis.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...