Agama adalah usaha manusia dalam membangun suatu kosmos yang
keramat. Ini bahasa yang dipakai Berger untuk membangun pengertian agama. Dan
nampaknya tidak sepenuhnya salah. Ia melanjutkan, “keramat adalah suatu
kualitas misterius dan menakjubkan”. Artinya, agama adalah pengalaman terhadap
yang keramat, dan yang disebut pengalaman sepertinya adalah sebuah sikap yang
tidak berjarak; menyatu.
Namun sepertinya dalam mengalamatkan yang mana keramat justru kita
bisa semenamena. Atau bahkan salah kaprah. Justru yang keramat akhirakhir ini
malah nampak menjadi sebuah sikap yang klenik. Yang keramat bukan lagi
sebagai sebuah misterium dan hal yang menakjubkan, tetapi sebaliknya adalah
sebuah sikap yang banal.
Ini berarti sepertinya agama yang keramat itu sudah merupakan
salah kaprah. Agama yang banal. Agama yang kehilangan semangat dan misterianya.
Agama yang bukan pengalaman.
Kosmos yang keramat sebenarnya adalah apa yang ditegakkan dengan
cara yang transenden. Sebuah ihwal yang nonmanusiawi. Dengan yang transenden
itulah, yang nonmanusiawi mengatasi dan meliputi. Melalui inilah yang keramat
tampil dengan bentuknya yang menguasai. Tetapi yang menguasai ini adalah sebuah
keadaan yang sarat tekateki; sebuah misterium.
Lantas di manakah yang keramat itu salah kaprah?
Sepertinya adalah jika yang transenden sudah selalu kita kaitkan dengan lawan
dari yang keramat; profan. Yang profan bisa apa saja dan di mana saja. Tetapi
yang profan sekarang bisa mewujud seperti bendabenda yang tidak asing bagi
kita, kekuasaan, jabatan, tempattempat atau segala hal yang di sana kita
membangun sesuatu yang keramat. Dan di saat inilah kita salah kaprah, yaitu
mengindentikkan yang profan sebagai sesuatu yang keramat. Di saat inilah
barangkali agama bukan lagi sebagai peristiwa yang membangun sesuatu kosmos
yang keramat, melainkan sebaliknya menghablurkan segala yang profan.
Lantas bagaimanakah yang keramat itu dapat kita temu kenali?
Sepertinya ini yang sulit, sebab yang keramat bukanlah sesuatu yang massal kita
temukan. Ia setidaknya adalah keadaan yang tanpa bahasa dan tak disertai
rumusrumus pemikiran. Tanpa bahasa bukan berarti katakata yang tak mampu
mengidentifikasi, dan tanpa pikiran bukan berarti sesuatu yang lolos dari
pertimbangan. Sepertinya ia lebih mirip sebagai sikap yang mengafirmasi dari
pada mengkonfirmasi; sebuah sikap sanepa.