Langsung ke konten utama

madah sebelas

Agama adalah usaha manusia dalam membangun suatu kosmos yang keramat. Ini bahasa yang dipakai Berger untuk membangun pengertian agama. Dan nampaknya tidak sepenuhnya salah. Ia melanjutkan, “keramat adalah suatu kualitas misterius dan menakjubkan”. Artinya, agama adalah pengalaman terhadap yang keramat, dan yang disebut pengalaman sepertinya adalah sebuah sikap yang tidak berjarak; menyatu.

Namun sepertinya dalam mengalamatkan yang mana keramat justru kita bisa semenamena. Atau bahkan salah kaprah. Justru yang keramat akhirakhir ini malah  nampak menjadi sebuah sikap yang klenik. Yang keramat bukan lagi sebagai sebuah misterium dan hal yang menakjubkan, tetapi sebaliknya adalah sebuah sikap yang banal.

Ini berarti sepertinya agama yang keramat itu sudah merupakan salah kaprah. Agama yang banal. Agama yang kehilangan semangat dan misterianya. Agama yang bukan pengalaman.

Kosmos yang keramat sebenarnya adalah apa yang ditegakkan dengan cara yang transenden. Sebuah ihwal yang nonmanusiawi. Dengan yang transenden itulah, yang nonmanusiawi mengatasi dan meliputi. Melalui inilah yang keramat tampil dengan bentuknya yang menguasai. Tetapi yang menguasai ini adalah sebuah keadaan yang sarat tekateki; sebuah misterium.

Lantas di manakah yang keramat itu salah kaprah? Sepertinya adalah jika yang transenden sudah selalu kita kaitkan dengan lawan dari yang keramat; profan. Yang profan bisa apa saja dan di mana saja. Tetapi yang profan sekarang bisa mewujud seperti bendabenda yang tidak asing bagi kita, kekuasaan, jabatan, tempattempat atau segala hal yang di sana kita membangun sesuatu yang keramat. Dan di saat inilah kita salah kaprah, yaitu mengindentikkan yang profan sebagai sesuatu yang keramat. Di saat inilah barangkali agama bukan lagi sebagai peristiwa yang membangun sesuatu kosmos yang keramat, melainkan sebaliknya menghablurkan segala yang profan.

Lantas bagaimanakah yang keramat itu dapat kita temu kenali? Sepertinya ini yang sulit, sebab yang keramat bukanlah sesuatu yang massal kita temukan. Ia setidaknya adalah keadaan yang tanpa bahasa dan tak disertai rumusrumus pemikiran. Tanpa bahasa bukan berarti katakata yang tak mampu mengidentifikasi, dan tanpa pikiran bukan berarti sesuatu yang lolos dari pertimbangan. Sepertinya ia lebih mirip sebagai sikap yang mengafirmasi dari pada mengkonfirmasi; sebuah sikap sanepa.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...