Malam tadi saya tak sempat melakukan rutin;
menulis sebuah catatan. Menyisihkan waktu untuk menulis memang ternyata bukan
hal yang mudah. Apalagi jika suatu hal yang tak didugaduga datang mengambil
waktu yang telah dipersiapkan. Itulah sebabnya mengapa menulis membutuhkan
perebutan dari yang dirampas, sebuah kondisi yang tarik menarik. Dengan cara
begitu menulis sering saya alami sebagai usaha "yang membebaskan."
Yang membebaskan berarti tak ada pagar yang memancang batas. Tak ada yang
disebut teritori hasil dominasi. Membebaskan berarti usaha untuk meloncati
batas: sebuah peristiwa tanpa penjajahan.
Dengan waktu yang disisihkan itu, usaha saya
untuk membebaskan diri dari batas yang sering kali dominan itu mesti
ditaklukkan. Entah sesibuk apapun, mesti ada waktu untuk dimerdekakan, untuk
menulis. Dan ini adalah usaha yang memang tak mudah. Maka itu usaha ini sama
berarti dengan apa yang akhirakhir ini saya sebut melawan diri sendiri. Ini
berarti adalah kondisi yang ingin melampui kebiasaankebiasaan. Apa pun itu.
Tetapi apakah menulis yang akhirakhir saya
lakukan juga nantinya akan menjadi kebiasaan? Dan juga bukan sebuah peristiwa
yang membebaskan? Barangkali di sinilah waktu akhirnya menjadi hal yang
penting.
Waktu dalam konteks yang modern memang bukan hal yang berbudaya. Modern dengan sifatnya yang mengandung rasio di dalamnya, sesungguhnya tak berniat untuk mendirikan budaya. Sebab di dalam rasio tak ada pembatinan terhadap sesuatu untuk dimaknai berlamalama. Sementara budaya adalah peristiwa yang membatin, sebuah keadaan yang tak sempat dicandra rasio. Karena itulah mengapa waktu senggang adalah pusat dari berdirinya kebudayaan. Di dalam waktu senggang, yang rasio harus tunduk dari batasbatas, harus menunda superioritasnya.
Waktu senggang sebagai perayaan terhadap yang
superior, dimisalkan Josep Pieper sebagai situasi yang primordial. Dalam arti
yang antropologis, primordial sama dengan keadaan manusia yang tanpa batasbatas
kekurangan; sebuah keadaan yang asali. Di konteks ini, manusia belum mengenal
model aktivitas yang ditata berdasarkan hubunganhubungan rasional. Belum ada
yang disebut oleh mazhab frankfurt sebagai rasional instrumental. Maka dari
itu, hidup saat konteks yang primordial berarti menjalani sesuatu yang asali;
sebuah perayaan.
Dan sebuah perayaan sebenarnya adalah keadaan
yang tanpa target, tanpa upaya penaklukan dan tanpa bermaksud menguasai apapun.
Dengan arti yang demikianlah waktu menjadi peristiwa yang tidak harus
dikejarkejar dan ditaklukkan. Dalam arti inilah rutin yang tiap malam saya
lakukan ingin saya bangun. Walaupun juga waktu tidak selamanya dapat saya
gunakan untuk memberlangsungkan kegiatan saya seperti ini.
Tiga hari belakangan memang saya tak seperti
biasanya; tiap malam harus berlamalama di dalam kamar; membaca, menonton dan
melakukan halhal yang lain, apalagi menulis seperti ini. Kebiasaan baru saya
ini harus direbut dari kewajiban saya turun lapangan untuk mempraktikkan peendekatan
penelitian PRA dan RRA. Selama tiga hari saya bermukim jauh di desa pedalaman
Gowa dan tulisan ini pun saya cicil sedikit demi sedikit di antara aktifitas
saya selama di lapangan.
Sebenarnya tulisan ini hanya mampu saya cicil
sebanyak dua paragraf dan baru saya lanjutkan sepulang dari Gowa. Dan akhirnya
menjadi semacam ini. Tulisan yang semula terputus dan disambung kembali. Tetapi
inilah yang sering saya istilahkan dengan architeksture; kegiatan menyusun dan
membangun sebuah ide dengan tulisan. Awalnya disusun dan begitu
seterusnya. Dan ini saya inginkan dalam konteks yang membebaskan, sebuah
peristiwa terhadap perayaan.
Saya akhiri dulu tulisan ini.