Langsung ke konten utama

madah enam

Malam tadi saya tak sempat melakukan rutin; menulis sebuah catatan. Menyisihkan waktu untuk menulis memang ternyata bukan hal yang mudah. Apalagi jika suatu hal yang tak didugaduga datang mengambil waktu yang telah dipersiapkan. Itulah sebabnya mengapa menulis membutuhkan perebutan dari yang dirampas, sebuah kondisi yang tarik menarik. Dengan cara begitu menulis sering saya alami sebagai usaha "yang membebaskan." Yang membebaskan berarti tak ada pagar yang memancang batas. Tak ada yang disebut teritori hasil dominasi. Membebaskan berarti usaha untuk meloncati batas: sebuah peristiwa tanpa penjajahan.

Dengan waktu yang disisihkan itu, usaha saya untuk membebaskan diri dari batas yang sering kali dominan itu mesti ditaklukkan. Entah sesibuk apapun, mesti ada waktu untuk dimerdekakan, untuk menulis. Dan ini adalah usaha yang memang tak mudah. Maka itu usaha ini sama berarti dengan apa yang akhirakhir ini saya sebut melawan diri sendiri. Ini berarti adalah kondisi yang ingin melampui kebiasaankebiasaan. Apa pun itu.

Tetapi apakah menulis yang akhirakhir saya lakukan juga nantinya akan menjadi kebiasaan? Dan juga bukan sebuah peristiwa yang membebaskan? Barangkali di sinilah waktu akhirnya menjadi hal yang penting.

Waktu dalam konteks yang modern memang bukan hal yang berbudaya. Modern dengan sifatnya yang mengandung rasio di dalamnya, sesungguhnya tak berniat untuk mendirikan budaya. Sebab di dalam rasio tak ada pembatinan terhadap sesuatu untuk dimaknai berlamalama. Sementara budaya adalah peristiwa yang membatin, sebuah keadaan yang tak sempat dicandra rasio. Karena itulah mengapa waktu senggang adalah pusat dari berdirinya kebudayaan. Di dalam waktu senggang, yang rasio harus tunduk dari batasbatas, harus menunda superioritasnya.

Waktu senggang sebagai perayaan terhadap yang superior, dimisalkan Josep Pieper sebagai situasi yang primordial. Dalam arti yang antropologis, primordial sama dengan keadaan manusia yang tanpa batasbatas kekurangan; sebuah keadaan yang asali. Di konteks ini, manusia belum mengenal model aktivitas yang ditata berdasarkan hubunganhubungan rasional. Belum ada yang disebut oleh mazhab frankfurt sebagai rasional instrumental. Maka dari itu, hidup saat konteks yang primordial berarti menjalani sesuatu yang asali; sebuah perayaan.

Dan sebuah perayaan sebenarnya adalah keadaan yang tanpa target, tanpa upaya penaklukan dan tanpa bermaksud menguasai apapun. Dengan arti yang demikianlah waktu menjadi peristiwa yang tidak harus dikejarkejar dan ditaklukkan. Dalam arti inilah rutin yang tiap malam saya lakukan ingin saya bangun. Walaupun juga waktu tidak selamanya dapat saya gunakan untuk memberlangsungkan kegiatan saya seperti ini.

Tiga hari belakangan memang saya tak seperti biasanya; tiap malam harus berlamalama di dalam kamar; membaca, menonton dan melakukan halhal yang lain, apalagi menulis seperti ini. Kebiasaan baru saya ini harus direbut dari kewajiban saya turun lapangan untuk mempraktikkan peendekatan penelitian PRA dan RRA. Selama tiga hari saya bermukim jauh di desa pedalaman Gowa dan tulisan ini pun saya cicil sedikit demi sedikit di antara aktifitas saya selama di lapangan.

Sebenarnya tulisan ini hanya mampu saya cicil sebanyak dua paragraf dan baru saya lanjutkan sepulang dari Gowa. Dan akhirnya menjadi semacam ini. Tulisan yang semula terputus dan disambung kembali. Tetapi inilah yang sering saya istilahkan dengan architeksture; kegiatan menyusun dan membangun sebuah ide dengan tulisan. Awalnya disusun dan begitu seterusnya.  Dan ini saya inginkan dalam konteks yang membebaskan, sebuah peristiwa terhadap perayaan.

Saya akhiri dulu tulisan ini.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...