Langsung ke konten utama

madah empat

Menjadi manusia dan memilih menjadi manusiawi adalah dua ihwal yang berbeda. Apalagi di dalam situasi yang dibilangkan Ulrich Beck; masyarakat berisiko. Beck mencurigai dan juga meresahkan pencapaian yang telah direkam dalam peradaban saat ini. Terlalu banyak hal yang di luar perhitungan, terlalu banyak resiko. Peradaban atau masyarakat yang kita sebut modern, sudah terlalu banyak menciptakan kemajuan, tetapi juga kesenjangan.  Lahirnya kapitalisme hanya berpusat di dalam pusaran kekuasaan, di luarnya; ada kaum miskin kota yang tergusur; buruh yang tak diupah; petani yang kehilangan lahan; nelayan yang tak kunjung melaut; dan kita sendiri yang masih saja resah terhadap nasib yang paspasan. Di dalam nasib yang paspasan itulah menjadi manusia atau memilih menjadi manusiawi adalah urusan yang bisa subtil. Walau terlalu banyak bahaya. Terlalu banyak resiko.

Di saat resiko kemajuan menciptakan dunia yang penuh bopeng, justru kita hidup dengan topeng.  Itulah barangkali saat ini menjadi manusia adalah hal yang massal. Yakni berbuat atas pikiran yang massal, selera yang massal dan akhirnya juga sikap yang massal. Yang massal, atau yang dalam permisalan Herbert Marcuse sebagai manusia satu dimensi, adalah orangorang yang sudah sama dengan yang lain. Menjadi manusia disaat ini bisa berarti menjadi yang massal, menjadi bagian yang tercerabut dari dimensi kritisisme hingga akhirnya menjadi bagian dari kelompok yang kukuh membangun kesepakatan terhadap dunia yang sudah bopeng. Sementara arti dari kesepakatan berarti menutup ruang untuk alternatif, sebuah minat yang berbeda dan juga sikap yang berlainan.

Tetapi terlalu banyak bahaya. Terlalu beresiko.

Tetapi bukankah sebuah topeng adalah sebuah kamuflase. Sebuah tempat untuk bersembunyi? Ini dia masalahnya.  Zizek, filsuf yang eksentrik di abad ini menyatakannya dalam satu permisalan; ideologi bukan apa yang bermain di atas bahasa dan pemikiran, tetapi apa yang telah dan akan diperbuat. Topeng atau sikap yang massal, bisa jadi adalah sebuah ideologi, sebuah kesadaran semu. Tetapi mengapa manusia tak jemu menjadi yang massal? Sebabnya sudah jelas, ialah bukan dari  what you think tetapi what you do.

Oleh karenanyalah yang semu itu kita lakukan berulangulang hingga tak bisa lagi dibilang. Angka sudah di luar limit atas kedunguan kita. Di kehidupan yang berporos atas produk, kita tidak lagi kikuk untuk ramai dalam massal hiruk pikuk. Atau dalam bahasa Baudrillard kita yang massal itu menjadi konsumtif. Dan nampaknya segalanya memang berputar dalam satu prinsip yang ajeg; nilai lebih ke nikmat lebih.

Dan di balik nilai lebih itulah kita mencumbu nikmat lebih, sebagai sikap yang di afirmasi dan dikonfirmasi pasar. Kita, yang menjadi manusia, atau yang massal, sudah selalu ingin dan di dalam zona yang nyaman. Di sanalah pojok dunia yang kita huni dan sebenarnya penuh bopeng itu. Di mana dengan topeng kita hidup tanpa pernah untuk memilih kembali menjadi manusia yang manusiawi.  Barangkali ini usaha yang sudah usang dan bisa jadi sudah jarang. Sebab janganjangan kita beranganangan dibalik topeng yang sudah nyaman untuk menyusun skenario.

Skenario atau jalan cerita yang disusun bangun, selalu mengandaikan situasi yang kritis dan juga taktis. Yang kritis dalam cerita biasanya adalah plot yang menegangkan agar di sana ada situasi yang tibatiba di rembukkan kembali, atau bahkan adalah momen yang akan menentukan jalannya cerita selanjutnya. Tanpa situasi yang kritis dalam sebuah alur, maka cerita menjadi kisah yang hanya menciptakan emosi yang datar. Sementara yang taktis adalah cara bagaimana sang tokoh keluar dari situasinya yang kritis. Dengan cara yang taktis yang kritis itu dijaga hingga akhir cerita.

Yang malang, skenario yang kita susun selama ini justru skenario yang lain dari plotplot yang kritis dan taktis. Hidup kita malah tak pernah mengalami plot yang kritis oleh karena memang kita tak bersiap menyusun taktis yang lengkap. Maka barangkali wajar jika kita, yang massal ditilap zaman. Yang kritis dan taktis sepertinya sama yang dimaksudkan oleh Sokrates dalam ungkapannya yang masyur; hidup yang tak terperiksa adalah hidup yang tak layak dipersiapkan. 

Sebenarnya menjadi manusiawi adalah menjadi “yang pribadi” yang terus memeriksa, sigap dan tanggap agar sikap tidak tilap oleh gelap. Semuanya agar tidak menjadi yang massal. Dan ini butuh berani dan nyali. Sebab menjadi pribadi adalah sikap yang siap menghadapi yang kritis dengan taktis. Menjadi pribadi berarti mengambil resiko yang lain, apalagi hidup di zaman seperti ini terlalu berbahaya, terlalu beresiko.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...