catatan enam

Tidak terlalu banyak yang dapat saya tuliskan untuk malam ini. Barangkali hanya menyangkut eksekusi hukuman mati terpidana kasus narkotika.

Saya sulit membayangkan atau merasakan, bagaimana menjalani waktu yang sudah mendekati ajal. Kematian memang keadaan yang tak didugaduga, tetapi bagaimana jika itu sudah pasti kedatangannya. Apalagi dengan cara ditembak.  Butuh banyak hal untuk itu, dan juga iman yang kukuh.

Dua ribu delapan silam, kita juga pernah menghadapi hal yang sama. Waktu itu tiga pidana kasus bom Bali yang akan menjalani kematiannya. Juga dieksekusi dengan cara ditembak.

Kematian adalah kejadian yang dahsyat. Juga situasi yang purba, oleh sebab ia penanda eksistensi manusia. Untuk itu kematian punya ragam dan cara bagaimana ia datang. Terpidana bisa saja siap lahir dan juga menturutkan batin yang kokoh untuk menghadapi batasnya, tetapi kematian sebagai tindak eksistensi barangkali adalah hal yang absen. Artinya kematian dalam hal ini bisa berarti perkara yang subjektif, dengan kata lain, kematian yang menandai tindak eksistensi adalah kematian sebagai sebuah pilihan.

Saya tidak bermaksud berlamalama untuk membincang kematian sebagai pilihan. Tetapi jelas apa yang dialami oleh terpidana eksekusi adalah kematian yang diterima sebagai keharusan, kematian yang tak bisa dihindari. Kematian yang didesak waktu. Karena itulah kematian yang macam itu adalah kengerian yang dimaklumi.

Tetapi seperti apakah kematian yang demikian itu kita maklumi? Apakah kita  sedih ataukah kita layak berkata “memang sudah demikian aturannya, jika dibiarkan maka tak akan memberikan efek jera bagi yang lain.” Atau “Iya, tapi bagaimana dengan kasus yang lebih berat, kok rasarasanya tidak adil, bahkan untuk kasus yang sama malah dibebaskan” Tepat di titik inilah banyak tafsir dan kepentingan, apalagi urusannya bertautan dengan negara.

Maka untuk itu urusannya bakalan panjang. Saya sudahi dulu.