Langsung ke konten utama

Di Akhir Desember

Bagaimana kita harus memahami perbedaan? Utamanya jika diperhadapkan dengan akhir Desember. Seperti biasa, menjelang 25 Desember, hanya soal ucapan bisa mengundang perdebatan soal iman. Dengan itu kita perlu kembali mengartikan apa maksud kehidupan beragama. Dan ini tak begitu mudah, sebab agama bagi kita, bagi sebagian orang, adalah urusan yang menyertakan “prasangka”

Prasangka dalam praktik bermasyarakat akhirakhir ini memang tumbuh subur. Persis jamur yang tumbuh di musim penghujan; bermekaran, menelusup masuk tanpa tedeng alingaling. Malangnya, prasangka dengan artinya kecurigaan justru akrab dalam kehidupan kita. Kecurigaan, juga dalam sak wasangka adalah kerukunan yang tanpa moral.

Jauh di ibu kota, Jakarta, sebagai contoh, agama menjadi komoditi pengangkut prasangka. Politik direduksi sampai hanya bermakna “suka tidak suka” dan ini artinya kemunduran; kita kehilangan tatanan yang generatif mengikat atas dasar “pengetahuan normatif” Politik dengan maksud demikian menjadi medan pertautan selera. Ini persis bagaimana konsumen diasosiasikan dengan iklan dari komoditi tertentu. Politik selera, dengan caranya yang memobilisasi, memiliki iklannya yang paling jitu; agama.

Tepat dengan cara demikianlah agama bisa menyulut sekam. Tak bisa dibayangkan, di saat tatanan demokrasi dirajut di sanasini, tepat di pusat demokrasi sana, agama justru murka dengan prasangka yang dikembangbiakkan. Sehingga idaman masyarakat terbuka yang mengedepankan semangat toleran, pikiran terbuka, masyarakat dialogis dan juga modern justru hanya wacana pinggiran.

Yang menjadi paradoks dari keadaan semua itu adalah “kecuriagaan” yang hidup persis di tengahtengah masyarakat informasi yang berbasiskan kemajuan informasi dan teknologi. Di saat gerak peradaban hendak mendaku cara berpikir terbuka, justru agama nampaknya sebaliknya mempertahankan “wawasan padang pasir” yang berbasis kesukuan. Dengan cara demikianlah agama dengan sisi sentimentalismenya menjadi komoditi yang kental dengan kedok fetisisme.

Dan “wawasan padang pasir” juga yang kerap tibatiba menilap toleransi kita. Akhir desember barangkali adalah situasi bagaimana agama kehilangan semangat kasihnya. Saya tidak mengerti jika “ucapan” yang sebenarnya adalah bahasa sosiologis selalu disandingkan persis seperti bahasa teologis. Bukan saja melalui “ucapan” kita menakar bagaimana toleransi diantara kita, justru barangkali agama kita, apa yang kita anut malah masih menyisakan jawaban yang belum tuntas kita pertanyakan.

Saya juga tidak mengerti, hanya karena bertoleransi, iman kita dipersangkakan. Dari agama, pengetahauan kita dibentuk hingga menjadi wawasan tentang ruang sosial dan segalanya. Dari cara ini, pengetahuan kita bersumber dari apa yang kita anut, apa yang kita yakini. Juga mereka, dengan pengetahuan yang berbeda, berasal dari keyakinan yang dianut. Maka wajarlah jika apa yang memotivasi kita dan seperti apa tindakan kita itu bisa berbeda, justru karena sumber kita yang berbeda. Lantas atas dasar apa keyakinan kita dianggap benar, dan selain dari kita dianggap menyelisih?

Maka ini sebenarnya perkara moral, bukan sesiapa benar sesiapa salah. Malah lebih berarti kenapa kita enggan salah. Atau lebih tepatnya kenapa kita tidak ingin menerima perbedaan? Janganjangan, apa yang selama ini dianggap benar adalah keyakinan yang tak kita gugat sebelumnya? Atau barangkali kita adalah orangorang yang kehilangan pegangan, tepat setelah kita mengatakan mereka salah?

Bagaimana kita harus memahami perbedaan, jika kosakata dalam praktik bermasyarakat selalu ditafsirkan melalui monolog agama? Sesungguhnya dalam yang semacam itu adalah pertunjukan yang sunyi tepuk tangan. Kenyataan masyarakat justru membutuhkan banyak riuh, gegap warna yang persis sebuah sirkus; keceriaan. Bukan sejenis aksi teatrikal yang minim suara. Minim dialog.

Justru saya ingin merasakan akhir Desember, persis saat saya tumbuh di tengah keanekaragaman keceriaan. Saat 15 tahun lampau ketika saya memahami ada tuhan yang lain. Ada pemeluk keyakinan yang lain, tetanggatetangga saya, sahabat dan temanteman saya juga orangorang kebanyakan. Saat demikianlah saya bisa memahami betapa di akhir Desember bukan tanpa dialog, justru pasca sebuah ucapan selamat, kita menjadi beriman.[]

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...