Sampul Times, majalah yang
terkenal di Amerika Serikat itu, pada terbitan tanggal 16
Oktober 2014. menyebut Jokowi sebagai “the new hope” Barangkali agak berlebihan
ekpektasi yang dibangun Times dengan menyebut Jokowi sebagai harapan baru.
Pasalnya, “The New Hope” harapan baru, mengandung standar ganda. Pertama,
Jokowi di mata internasional harus membuktikan kapasitasnya dalam skema politik
luar negeri yang cenderung menguntungkan pihak asing untuk menyeimbangkan
kebijakan-kebijakan internasional dengan kepentingan kedaulatan dalam negeri.
Kedua, harapan baru di maknai sebagai metafora bagi rakyat indonesia untuk
keluar dari pemerintahan yang selama ini terlampau birokratis.
Saya membayangkan “the new
hope” oleh majalah Times itu di saat Jokowi masih sebagai gubernur Jakarta saat
acara puncak kirab budaya pagelaran agung keraton sedunia 2013 silam. Dengan pakaiannya yang persis seperti seorang pendekar dan
diarak oleh banyak orang dengan menaiki kuda, merupakan metafora bagi situasi
kepemimpinan pasca era SBY saat ini. Pendekar, dalam cerita manapun bukanlah
pemimpin politik, namun kemunculannya sesungguhnya adalah keinginan mayoritas
untuk keluar dari tirani orde. Keberadaannya merupakan serba antitesa dari
model dan gaya kepemimpinan tirani. Jika kepemimpinan orde mengandung
tatakrama, gerak yang kaku, bebal dan lamban, maka pendekar adalah personifikasi
dari tatakreasi, gerak yang dinamis, cair dan cekatan. Dan mengapa kuda, bukan
panggung singgasana yang dipikul budak, kuda pendekar adalah simbol kendaraan
rakyat serba bisa. Kuda adalah penanda masyarakat bawah.
Merawat Komunitas
Hermann Borch
melalui A Study on Mass Hysteria-nya memberikan anasir model
kepemimpinan politik dalam konteks kepemimpinan massa. Broch memaksudkan bahwa
politik sebenarnya memiliki tugas misioner merawat komunitas. Dalam arti ini,
merawat komunitas berarti perlibatan edukasi dan kontinyuitas visi dalam
kepemimpinan jangka panjang berbasis massa. Dimaksudkan pula oleh Broch, tugas
merawat komunitas merupakan kanalisasi untuk melawan penyimpangan-penyimpangan
massa.
Kaitannya dengan
kepemimpinan Jokowi selama ini adalah betapa besarnya arus grassroot yang
ikut tersedot dalam arus kekuasaan politik Jokowi. Logika relawan selama ini
adalah indikasi yang mesti diperhatikan bagaimana konteks merawat massa ini
bekerja. Jarak makna antara massa dengan komunitas mesti diterjemahkan melalui
model kepemimpinan yang fleksibel dan dinamis. Sebab massa bukanlah komunitas
yang di dalammnya kepemimpinan politik bekerja.
Massa dalam pengertian
sosiologis hanyalah crowd (gerombolan) yang tidak terikat oleh
ikatan-ikatan yang berorientasi visi. Urgensi pembedahan ini yakni betapa
seringnya hasrat politik massa dikonfigurasikan berdasarkan logika kekuasan
politik tertentu. Politik dengannya hanyalah kumpulan crowd-crowd yang
bergerak tanpa arah. Melalui proses inilah grassroot sewajarnya harus
diberdayakan dalam konteks menjaga keberlangsungan komunitas.
Lantas seperti bagaimanakah
keberlangsungan komunitas dapat berlangsung? Arnold Toynbee kiranya memiliki
pandangan terkait seperti bagaimanakah kepemimpinan kreatif berperan
dalam merawat komunitas. Dalam siklus perubahan, kepemimpinan kreatif sangatlah
menentukan respon situasi yang dihadapi. Maka dalam konteks inilah metafora
kepemimpinan pendekar Jokowi diterjemahkan. Gaya cekatan, gesit dan fleksibel
adalah simptom kepemimpinan kreatifitas yang dinantikan bagi komunitas besar
Indonesia.
Jokowi dengan citra
kerakyatan yang dibangunnya diharapkan menjadi penanda sosial maupun
kepemimpinannya untuk mengatasi ekspektasi yang terlampau besar terhadap
dirinya. Apalagi bersama dengan kabinetnya di dalam kepungan parlemen
membutuhkan gaya kepemiminan tanpa tabu sebagaimana sikap seorang pendekar.
Melalui gaya komunikasinya yang fleksibel, tidak banyak bicara, enteng dan
merakyat merupakan tatanan semantik antikrama yang cenderung diatur rapi, kaku
dan berat sehingga memudahkan membangun gaya kepemimpinan yang tanpa malu-malu.
Barangkali melalui konteks
demikianlah “the new hope” oleh Times dapat kita maksudkan. Yakni dimulai dari
lapisan sipil hingga menembus tatanan elit, Jokowi menjelma menjadi fajar baru
bagi harapan berjuta hati Indonesia. Bukan dalam pengertian kepentingan dunia
barat seperti yang barangkali diharapkan oleh negara asing. Justru bisa jadi
Jokowi seperti lakon Arok dalam naskah Arok Dedes sastrawan besar Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer. Di mana kemunculannya merupakan jawaban dari temaram
nasib yang dialami. Fajar harapan yang dinanti-nanti.
Apalagi mengingat pidato
Jokowi yang berkelekar untuk mengembalikan kejayaan maritim nusantara pada 20
oktober lalu. Yakni misi untuk membangun mental manusia maritim yang bevisi
terbuka, kedepan, pekerja keras dan menyukai tantangan. Dengannya layar
dibentang kemudian seperti Nietzche dalam puisinya; tak ada jalan kembali,
sebab telah kita bakar labuhan dibelakang sana.
Pernah dimuat pada harian
Fajar terbitan 23 Oktober 2014.