Agama Teologis Agama Sosiologis

Tulisan ini mengacu kepada pendekatan yang digunakan Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis, berkenaan dengan agama sebagai fakta sosial. Pengertian ini ingin mengutarakan agama, dalam penilaian tertentu, tidak memiliki perbedaan dengan nilai-nilai tertentuyang tumbuh di masyarakat. 

Ini berarti agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dapat disejajarkan sebagaimana aturan main yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam posisi yang demikian, dan dalam pengertian agama sebagai fakta sosial, memberikan indikasi bahwa agama juga bisa diverifikasi menjadi bahan amatan yang empiris.

Dalam konteks perubahan sosial, agama dalam pengertiannya yang sakral, harus rela berbaur dengan segala perubahan yang menjadi karakter dasar masyarakat. Ini berarti agama yang selama ini diyakini mengandung nilai teologis, mau tak mau di dalam pendekatan empiris, akhirnya  menjadi seperangkat keyakinan yang sosiologis. 

Melalui cara ini, agama menjadi kajian yang tidak terlepas dari unsur-unsur perubahan. Mengingat hal ini, persentuhan dengan alam sosiologis, agama dimungkinkan untuk mengalami perubahan.

Agama sebagai suatu sistem juga mencakup individu dan masyarakat, seperti yang ditampilkan dalam keyakinan terhadap paham, ritus, maupun upacara keagamaan atau kesatuan kolektif. Agama dan masyarakat dapat pula mengacu pada sistem simbol yang dimantapkan sebagai fungsi untuk mengatasi masyarakat. Dalam sejarah kebudayaan, agama acap kali digambarkan sebagai keyakinan lokal yang banyak berperan dalam mengintrodusir makna-makna maupun simbol sebagai way of life.

Sebagai acuan dasar dan juga sebagai pembanding, tulisan ini juga bertolak dari argumentasi filosofis yang melihat jika agama tak mengandung unsur perubahan, maka dalam realitasnya tidak mungkin bermunculan bentuk-bentuk keyakinan yang berbeda satu dengan lainnya. Mustahil agama dengan wajah yang monolit, melahirkan purnaragam rupa-rupa agama. 

Atau dengan bahasa lain, jika agama hanya ditafsirkan sebagai wajah yang tunggal, maka beragamnya kemungkinan “wajah-wajah” agama yang berbeda mustahil dapat terjadi.

Mengingat agama yang memiliki kemungkinan mengalami perubahan, maka kecenderungan tulisan ini, berusaha mengikuti kerangka pengertian yang dibilangkan Macionis berkenaan dengan perubahan sosial. Menurutnya perubahan sosial dapat mengacu pada transformasi di dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir, dan dalam perilaku di waktu tertentu. Hal ini diperlukan agar menjadi dasar penilaian untuk melihat kecenderungan perubahan dalam agama dengan pembacaan sosiologis.

Agar lebih memudahkan penilaian dalam segi apa agama mengalami perubahan, maka secara operasional, agama dalam tulisan ini akan dipecah menjadi beberapa aspek untuk memudahkan pembacaan kita menyangkut perubahan yang dimaksudkan.

Pertama, aspek ideologis. Berdasarkan apek ini, dalam setiap agama ataupun keberagamaan, agama manapun memiliki seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis eksistensial terhadap kebermaknaan hidup. Biasanya dalam pengertian ini, mengandung asumsi-asumsi teologis yang disakralkan dan tak dapat diganggu gugat. 

Kedua adalah aspek ritual, di mana pada level ini aspek ideologis dilaksanakan. Pengamalan dari kepercayaan ideologis disebut ibadah. 

Ketiga,  aspek ekperiensial, yang dimaksudkan bahwa agama juga memiliki keterlibatan emosional dan sentimental di dalam pengamalan ritual atau ibadah keagamaan. Sebagai bahan perbandingan dalam aspek ini, termuati pengertian yang diberikan William James menyangkut perjumpaan dengan tuhan.

Keempat berupa aspek intelektual yang menjadi semacam rasional eksplanation. Berkenaan dengan apek ini, setiap agama harus memiliki sistem penjelas untuk menerangkan dirinya agar dapat diterima secara logis dan metodelogik. Tanpa ini agama hanya menjadi sekumpulan dogma tanpa kejelasan sedikitpun.


Sementara aspek yang kelima adalah aspek konsekuensional, yang dalam pengertian ini memiliki dua makna yaitu makna sosiologis dan teologis. Arti dari makna sosiologis adalah sejauh mana agama memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat melalui pengamalannya. Sementara dalam pemaknaan teologis, agama memiliki konsekuensi eskatologis yang memberikan harapan dan janji pasca kehidupan di bumi.

Dari beberapa aspek agama di atas, hampir semua aspek agama dalam bentangan sejarah umat manusia, banyak beririsan dengan perubahan. Hal ini dimungkinkan akibat pengaruh unsur-unsur perubahan berupa ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan baru, ataupun konflik yang memberikan dampak serius terhadap agama itu sendiri. 

Aspek intelektual misalnya, sebagai sistem penjelas berupa kitab suci dalam sejarah Kristen, justru membenarkan adanya dimensi perubahan yang terjadi. Kemunculan keyakinan yang dianggap lebih rasional oleh Marthin Luther secara paradigmatik memberikan warna baru terhadap Kristen Katholik dengan melahirkan agama Kristen Protestan.

Fenomena sejarah pada kasus di atas mencerminkan betapa rentannya agama dalam kancah kehidupan sosial yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Keyakinan ortodoksi gereja di abad pertengahan dan kelahiran masa keemasan Eropa sangat tergantung dari akumulasi kemajuan pengetahuan sebagai faktor pendorong terjadinya perubahan corak keagamaan.

Agama dalam hubungannya dengan kebudayaan juga menyimpan kompleksitas, terutama dari sudut signifikansinya dalam mengkofigurasi model-model keyakinan yang dianut dalam sistem kebudayaan masyarakat tertentu. Bias dari hubungan kausal demikian juga akhirnya sedikit banyak turut mewarnai bentuk-bentuk ritual dari agama tertentu. Pada aspek simbolitas keagamaan, kebudayaan masyarakat yang merupakan lintasan dialog antara bangsa-bangsa juga memberikan sumbangsih terhadap sistem pemaknaan simbol dalam agama.

Berkat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, pada aspek ideologis, agama harus kembali mempertimbangkan asumsi-asumsi teologisnya yang selama ini mapan dari bentuk-bentuk perubahan. Agama yang bercorak sosiologis berarti agama yang terbuka untuk melihat dengan model reflektif atas dasar perkembangan kemajuan masyarakat yang semakin kompleks. 

Pada tatanan ini, dalam sejarah teologi Islam malah mencerminkan agama pada level ideologis sarat terjadi dialog antara mazhab yang kemudian justru memberikan perkembangan terhadap keyakinan yang bersangkutan. 

Hubungannya dengan perubahan sosial, terutama pola transformasi organisasi masyarakat, agama adalah contoh terbaik sebagai gambaran untuk melihat makin maraknya kelahiran orde keagamaan akhir-akhir ini. Mengingat agama memiliki aspek konsekuensional, justru agama acap tampil sebagai salah satu unsur yang merangsang terjadinya perubahan sosial.

Perubahan sosial yang dialami agama maupun gerakan keagamaan dalam pendekatan konstruksi sosial, dalam momen-momen tertentu justru terkadang mengalami institusionalisasi dan legitimasi untuk memapankan kehadirannya di jagad masyarakat. 

Proses sosial yang sebelumnya dialami dimungkinkan terjadi berkat dampak sosialisasi dalam memperagakan nilai-nilai di tengah masyarakat. Dalam kasus ISIS, misalnya, proses kontruksi sosial dapat diberlakukan demi melihat seberapa jauh perubahan sosial dimotori oleh agama. Tindak lanjut dari pembentukan kenyataan sosial demikian secara simultam akan berdampak pada terjadinya perubahan pola pikir dan sikap kemasyarakatan.

Paradigma berfikir merupakan salah satu perhatian dalam mempertimbangkan hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang tidak bebas dari penafsiran. 

Perkembangan perubahan paradigma keagamaan menyangkut pola-pola berpikir yang terjadi dalam masyarakat juga hasil dari proses panjang akibat dari perubahan yang terjadi di dalam agama itu sendiri. Bila kita menerima pengertian agama sebagai muatan lokalitas masyarakat tradisional, maka kenyataan bahwa agama di konteks perkembangan masyarakat, banyak mengalami penyesuaian-penyesuaian untuk adaptatif ditengah masyarakat. Hal ini juga menjadi dasar sebagai daya serap masyarakat untuk mendapatkan pengakuan secara legitimate, baik bersifat teologis maupun sosiologis.

Bukti historis dari proses adaptatatif agama terhadap bentuk-bentuk pola pikir masyarakat, dapat disaksikan dalam agama Kristen awal di saat menghadapi masyarakat bekas koloni Roma-Yunani yang memiliki keyakinan terhadap motologi dewa-dewi Yunani. Sejumlah kasus misalnya memperlihatkan keyakinan masyarakat Yunani yang ditampilkan dalam simbol gambar maupun patung-patung dewa-dewi dihadapi oleh pembawa agama kristen dengan mengadaptasikan patung kristus sebagai salah satu keyakinan yang harus diterima.

Sejarah nusantara juga memberikan cara yang sama bagaimana beberapa dari penyiar Islam awal menggunakan pendekatan-pendekatan yang bercorak Hindu-Budha untuk memperkenalkan Islam di tanah Jawa.

Sedikit banyaknya penjelasan operasional dari aspek-aspek keagamaan, memperlihatkan kecenderungan yang sulit ditolak bahwa agama sebagai pranata sosial mengandung perubahan di dalamnya. 

Faktor yang memberikan peluang terhadap proses perubahan di dalam agama tidak terlepas dari unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri berupa kemajuan ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan baru maupun persitegangan pada tubuh masyarakat. 

Argumentasi ini juga dikuatkan dari kenyataan agama sebagai nilai yang tumbuh di tengah masyarakat, mau tak mau tunduk pada hukum perubahan yang berlaku dalam kehidupan sosial.

Syahdan, agama yang awalnya berwatak teologis, keyakinan yang anti perubahan, dalam pendekatan yang empiris justru berubah menjadi agama yang berwatak sosiologis, yakni sistem keyakinan yang sewaktu-waktu tunduk di bawah hukum perkembangan masyarakat.

---

Sumber bacaan
  1. Sosiologi Perubahan Sosial. Piotr Sztompka.2008
  2. Peter Berger, Perspektif Metateori Pemikiran. Geger     Riyanto.2012
  3. Ilmu Sosial Dasar. Dr. M. Munandar Sulaeman.2008
  4. Psikologi Agama. Jalaluddin Rakhmat.
  5. http://id.m.wikipedia.org/wikii/agama. Diakses pada tanggal 6 oktober 2014.