Langsung ke konten utama

Masjid

Ramadhan jika dianggapkan semacam kuil, maka dia adalah tempat kita belajar. Sebagai sebuah kontruksi, kuil  bertujuan untuk mengasah dimensi bathin. Tempat berkontemplasi. Di dalamnya manusia mengalami transformasi kualitatif. Di mana yang kualitatif adalah bukan perkara rasio konseptual dalam merumuskan yang suci, tapi penghayatan terhadap yang ilahiat. Melaluinya manusia membangun intensi, bukan kesadaran yang dikonstuksi. Dengannya,  manusia diajak menolak segala unsur duniawi yang menyesakkan; sesuatu yang sering dikalkulasi. Kuil memanglah tempat yang khusus  yang kudus.  Sebab itulah kuil didirikan untuk satu hal:  ibadat.

Dalam islam, ibadat, terutama ritual yang kolektif, selalu punya kaitan dengan masjid. Sama halnya dengan kuil, sebagai tempat ritual, masjid adalah ungkapan untuk  mengapresiasi kehadiran atas yang ilahiat. Di dalam masjid suatu hubungan dibangun antara manusia yang kerap pupus dengan tuhan yang kudus. Dengan itu, maka masjid adalah tempat munajat yang paling baik. Sebab itulah ia disebut rumah tuhan.

Tetapi apa yang harus kita petik dari sebuah masjid. Konstruksi yang kerap digunakan untuk mengalami peristiwa yang transenden, jika masjid akhirnya mengalami  pemaknaan yang ritualistik. Ibadat dengan embelembel eksoteris. Yang di sana pendangkalan terhadap yang ilahiat akhirnya mulai berbarengan dengan dunia yang selangseling dihinggapi hiruk keramaian. Dengan itu masjid akhirnya adalah penanda semangat religiusitas yang dangkal, yang melihat ilahiat hanyalah perihal yang kita kerdilkan.

Bisa jadi sekarang tuhan yang akbar, yang maha segala, adalah apa yang kita kucilkan. Tuhan hanyalah gema pada ruang yang sunyi. Sementara makna ritual seringkali pupus tak jua hinggap pada dimensi kedalaman manusia. Dari itu, barangkali kita sulit untuk menghidupkan tuhan dalam habitat hidup seharihari.

Masjid adalah sejarah. Yang dahulu setelah hijrah, rasul penutup para nabi, membuat tanda waktu dengan membangun masjid. Kala itu masjid adalah tanda kemajuan, simbol keagungan yang gaung di tengahtengah semangat yang akbar terhadap agama yang dibawanya. Umat kala itu sedang mengalami peristiwa besar dalam sejarah, bahwa masjid adalah pusat di mana arah dan tujuan dirumuskan. Masjid adalah pusaran yang hendak menata zaman.

Namun, bukankah sebelumnya masjid sudah menjadi bangunan yang berbeda? Bangunan yang tidak lagi menjadi pusat, justru menjadi tersisih dari setiap kesadaran kita. Masjid hanyalah kontrusksi alam material yang kita lihat tak beda dengan bangunan yang lain; mall yang sewaktuwaktu bisa kita datangi dengan maksud konsumsi, tempat siap saji dikala kita lapar ataukah diskotik untuk mempermudah masalah. Atau seperti bangunan tinggi yang akrab dengan rutinitas kita. Diwaktu demikianlah masjid bukan lagi konstruksi bathin yang selalu hidup, melainkan bahan material yang sewaktuwaktu bisa  dienyahkan.

Ramadhan, rentang waktu yang berkah bisabisa rentan, jika masjid sebagai yang material adalah satusatunya makna yang dimengerti. Kuntowijoyo, sejarawan gaek, pernah menulis muslim tanpa masjid. Di situ kita bisa tahu masjid, yang kita anggap simbol kemajuan sejarah justru adalah manifes dari sosioreligi masyarakat kita, terutama kaum muda. Bahwa masjid di mata yang muda-bukan bermaksud mengeneralkan- adalah tanda dari simbol budaya yang minus pesona. Masjid barangkali sudah mirip tugu, atau artefak, atau kerak sejarah. Dan namanya tugu ataupun artefak adalah tanda ingatan; sesuatu yang hanya dikenang.

Dan ramadhan, ketika masjid ramai kembali, barangkali itu hanya bermaksud untuk "singgah". Sebab dia bukanlah iman yang tegak dalam bathin, bukan juga seperti rasul yang mengabadikan jengkal waktu untuk menandakan kehadiran ilahiat yang imanen dalam alam manusia. Bahwa iman adalah berarti masjid yang bermunajat dalam ruang hadirat; sisi dalam yang bulan ini tengah kita daur.

Jika ramadhan adalah sebuah kuil, oleh sebab di sana adalah tempat yang tibatiba kita datang untuk berziarah. Tibatiba kita kembali teringat ada "rumah" yang sudah lama kita tinggalkan.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...