Agama melalui kaca mata Sosiolog Prancis,
Emile Durkheim, adalah fakta empiris. Walaupun tidak juga
sepenuhnya benar. Namun apa yang dibilangkan Durkheim bisa kita pahami
dalam kaca mata seorang pengamat yang memposisikan diri di hadapan dunia
empiris. Ini berarti, agama sebagai kenyataan yang diinderai merupakan fakta yang
bisa kita amati. Apa yang teramati bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan
norma-norma, pranata-pranata, maupun simbol-simbol yang melatarbelakangi sikap
hidup maupun perilaku orang-orang beragama.
Secara
inheren, agama adalah fitrah. Agama adalah kecenderungan yang dilahirkan dari
nilai-nilai fitri. Atau secara filosofis, agama terkandung di dalam setiap hati
manusia yang bersih. Dari sana sumber asal perilaku hidup
manusia. Bahkan, dari hati yang bersih sumber keutamaan sifat manusia. Perilaku utama inilah yang dalam bahasa agama disebut Ahlak. Dalam
kaca mata Durkheim, akhlak dalam situasi seorang sosiolog
ditangkap sebagai fakta sosial; sikap hidup orang-orang beragama.
Namun sudahkah sikap kolektif orang-orang beragama saat ini mencerminkan akhlak yang sepadan dalam pengertian keagamaan? Yakni sikap yang mencerminkan saling menghormati perbedaan antara sesama. Sehingga kaitannya terhadap toleransi antara keyakinan umat beragama, di mana kenyataan sosial begitu jamak dan memerlukan pemahaman etis dalam menyikapi perbedaan, bisa saling berdampingan dalam kehidupan bernegara.
Perbincangan ini sangat memerlukan
kehati-hatian daripada sikap emoh untuk membuka ruang dialog oleh karena
menyangkut keberlangsungan hak-hak berkeyakinan. Maka dari pada itu, apa yang
menjadi trending topic beberapa waktu yang lalu mengenai empat
pilar kebangsaan adalah keniscayaan untuk memberikan ruang tenggang rasa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi di seberang yang lain,
munculnya gerakan keagamaan yang mengatasnamakan keyakinan golongan menjadi
anomali dalam integrasi masyarakat di hadapan nilai universal Pancasila.
Kenyataan Empirik; Maraknya
Fundamentalisme Keagamaan
Dalam terminolgi kehidupan berbangsa
dan bernegara, fundamentalisme keagamaan dimaknai dalam konotasinya yang hard.
Dikatakan demikian dikarenakan sepanjang kehidupan bernegara, dalam caruk kemaruknya situasi masyarakat, maraknya kehadiran gerakan keagamaan yang
menghendaki pembaharuan sebahagian besarnya tampil dengan sikap-sikap intoleran dan keras. Sikap demikian tidak saja terjadi pada level
sosiologis masyarakat, melainkan jauh lebih berbahaya pada tingkatan
pemikiran. Atau secara episteme sikap kemasyarakatan yang
intoleran demikian justru berawal dari cara berpikir yang intoleran.
Ilustrasi
cara berpikir intoleran selalu marak dengan sikap tertutup terhadap ruang
dialogis maupun sikap kukuh terhadap kebenaran yang beragam. Dalam pengertian
ini, cara berpikir demikian adalah cara pandang yang selalu menegasi, atau membenarkan pendapat
subjektif tanpa mediasi dialog yang terbuka.
Secara budaya, sikap tertutup dan
enggan untuk salah ini pada dasarnya paradoks dengan situasi
alam pemikiran di jaman keterbukaan pendapat. Jauh daripada
itu, golongan ini bisa berwujud pada pendakuan atas nama suku, ras dan
terlebih-lebih agama. Secara psikologis, menurut Komaruddin Hidayat, orang-orang atau kelompok yang enggan untuk mendialogkan
keyakinannya adalah orang-orang yang mengalami gangguan psikologis. Dalam
bahasa ilmu psikologi modern saat ini, gejala demikian disebut infantile; atau sikap hidup kekanak-kanakan.
Dalam konteks sejarah negara sampai
dewasa ini, kita tak perlu segan untuk menyebutkan deret panjang fenomena
empirik yang mencerminkan sikap intoleran seperti disebutkan
sebelumnya. Yang mana marak diberitakan jejaring media massa sehari-harinya
di hadapan kita. Sehingga sudah lumrah di mata kita kelompok yang dalam
terminologi pemikiran keagamaan disebut dengan golongan takfiri, adalah pathologi yang harus disembuhkan. Sehingga apa yang menjadi isu-isu disintegrasi di bangsa ini
dapat diminimalisir sedemikian rupa. Dan juga Pancasila sebagai pengayom dapat
kukuh di tengah-tengah kehidupan kita
Panca Sila sebagai Pengayom Umat
Beragama
Saya membayangkan saat ini seperti
apa jika kelompok-kelompok intoleran seperti kelompok takfiri
diperhadapkan di hadapan Pancasila sebagai world view bernegara?
Hampir merupakaan jawaban apriori bahwasannya keyakinan yang dianut oleh mereka adalah agama harus mengatasi negara. Atau
dalam bahasa sederhananya, agamalah satu-satunya keyakinan yang harus
dipegang sebagai pedoman hidup, di mana negara harus dibentuk berdasarkan
defenisi dari apa yang mereka anut. Barangkali orang-orang demikian lupa, bahwa
kita hidup pada sebuah negara dan situasi masyarakat yang berwajah
jamak; plural. Apalagi Indonesia adalah negara yang di dalamnya banyak
heterogenitas nilai, budaya, suku, adat, ras dan agama. Dan juga kita
tidak bisa serta merta mengatakan bahwa agama adalah sisi dengan dimensi yang tunggal. Dalam agama apapun sebenar benarnya keyakinan adalah keyakinan yang lahir dari asas kesalingpengertian dan dialog. Di mana keyakinan adalah hikmat keberagaman yang disadur
dari saringan banyak pemikiran.
Saya
masih ingat betul salah satu bunyi sila dalam Pancasila; Persatuan
Indonesia, yang dari padanya terkandung pesan kunci tentang toleransi dalam perbedaan. Sehingga kenapa bukannya kesatuan, melainkan persatuan yang diterakan sebagai redaksinya, sebab kesatuan berarti peleburan dan
penghilangan segala pada ketunggalan. Barangkali itu sebab term persatuan
dalam sila ketiga lebih utama dipakai sebagai penanda keutuhan, bukan karena
yang lain, setidaknya persatuan tidak mengharuskan penghilangan ataupun
pemberangusan. Oleh sebab term persatuan berarti kebijaksanaan
perbedaan dalam semarak keragaman.
---
Pernah dimuat pada harian Fajar kolom
Opini, 13 September 2013