Alain Badiou dan Hasrat Kebenaran


Lahir di Maroko pada 17 januari 1937. Pada kisaran tahun 60an mengeluarkan novel dengan judul Almagestes (1964) dan Portulans (1967). Badiou dikenal sebagai seorang filsuf Marxian. Banyak dari artikel yang diterbitkannya kental dengan kerangka Althuserian. Badiou, seperti filsuffilsuf yang terlibat aksi demontrasi di tahun 1968, sempat dilarang untuk memperkenalkan pikiranpikirannya untuk kalangan mahasiswa Prancis karena dianggap berbahaya bagi umum.

Pada tahun 1988, dunia internasional mulai mengenal namanya ketika ia menerbitkan tulisan utuhnya dengan judul L’etre et l’evenement ( Ada dan Peristiwa). Di tahun 1989 bersama Derrida dan Lyotard mendirikan College Internationale de Philosophie. Menjadi professor emeritus pada tahun 1999 di ENS dan mendirikan pusat pengkajian internasional tentang filsafat Prancis kontemporer.

Filsafat di mata Badiou perlu untuk disembuhkan. Filsafat harus melampaui dirinya dan bahasa, sehingga perlu kembali direposisi ke dalam tempatnya semula. Yang mana filsafat harus dikeluarkan dari kemorosotannya sampai harus menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Di mana Badiou ingin mengembalikan filsafat, kebenaran, dan subyek sebagai usaha untuk memahami kenyataan dengan cara yang kritis, sistematis dan radikal.

Bagi Badiou hal yang paling esensial untuk dihidupkan kembali dalam batang tubuh filsafat adalah hasratnya untuk kebenaran. Dalam hasrat kebenaran, filsafat memiliki 4 elementasi; yang pertama adalah revolt (pemberontakan), logis (logika), universalitas dan resiko.

Keempat elementasi ini yang terkandung dalam hasrat kebenaran fisafat harus mampu mengambil tempat pada dunia yang menyingkirkan filsafat sampai pada wilayah pinggiran. Katanya pada suatu tulisannya, dunia saat ini sudah seharusnya membutuhkan filsafat untuk menyelesaikan masalahmasalah yang terkandung disekitaran manusia.

Dalam pembacaannya, semenjak kemunculannya, filsafat adalah ikhtiar yang datang dalam merespon keyakinankeyakinan terdahulu, dimana filsafat adalah bentuk pemberontakan (revolt) di tengahtengah masyarakat untuk mencapai kebenaran murni dengan urutan argumentasi yang logis (logika). Dalam mengatasi keterbelakangan pemikiran yang terdahulu, filsafat menggunakan susunan logika baru untuk mengatasi ketidakadilan yang dimunculkan oleh keyakinankeyakinan sebelumnya.

Dengan cara seperti itu, dengan susunan logis untuk mengatasi keadaan, filsafat akan menyentuh wilayah universal yang berputar pada pengalamanpengalaman konkrit manusia. Dimana disituasi demikian, komitmen menjadi aras yang membawa filsafat pada pengambilanpengambilan keputusan yang keluar dari pengandaianpengandaian umum. Dengan modelnya seperti itu maka dalam filsafat juga disertai resiko yang mengikutinya.

Untuk memulai proyek filsafatnya, Badiou bertolak dari pemikiran Permanides tentang soal ketunggalan dan kejamakan. Bagi Permanides Ada selalu menegasi ketiadaan, sehingga mustahil Ada dan ketiadaan dimungkinkan dalam perwujudannya. Dalam pengandaian ini, asumsi ontologis  Permanides yang merentang dalam diktum rasionalisme dan empirisme disanksikan dengan teori logika himpunan yang dipreferensikan Badiou. Dengan ilustrasi teori himpunan, Badiou berusaha keluar dari genangan cacat yang di yakininya sebagai bentuk pemikiran pseudonetral yang menggejala pada kasus ontologi, dengan membilangkan bahwa Ada dan tiada adalah dimungkinkan dengan keadaan yang berhubungan. Dengan begitu dalam menjawab Ada dan Banyak bisa ditenggarai.

Badiou juga dikenal sebagai pemikir yang serius membincang ontology politik. Baginya situasi politik yang ditawarkan oleh demokrasi liberal saat ini tidak memungkinkan lagi untuk diikuti. Oleh sebab subjek masih dalam situasi yang terpinggirkan. Pemikiran ini berawal dari pemikirannya yang masih percaya terhadap komunisme sebagai antitesa yang mempunyai ideide dasar tentang subjek yang revolusioner.

Mengenai itu, dalam tesisnya tentang hypothesis komunisme, Badiou menawarkan proyek pemikirannya yang bertolak pada “situasi yang tak terlabeli”.  Dalam memperkenalkan pemikirannya, Badiou memberikan eksposisinya dengan mempertanyakan bagaimana manusia harus berada dan pada situasi bagaimanakah manusia berpolitik?

Dari sejenis eksposisi seperti itu, Pemikir Maoist ini memperkenalkan konsep event yang berbeda dengan kejadian politik yang ada dalam situasi poltik demokrasi liberal. Negara dengan konsep kekuasaannya tengah runtuh karena berada pada susunan yang terepresentasi oleh kekuasaan itu sendiri. Baginya subjek, yakni elemen yang mengatasi keberadaannya dari situasi yang melingkupinya harus menggunakan fungsi kesetaaraan dalam rangka mengenal event. Event dalam kacamata Badiou adalah Event, menurut Badiou, adalah momen politik, sebuah momen pemutus yang hanya bisa diraih oleh aktivitas politik – yang membedakannya dengan aktivitas politisi. Event adalah “yang mungkin”, yang keberadaannya telah terpresentasikan. Ia merujuk pada situasi yang luar biasa, yang tak dapat dikalkulasi, dan yang mengubah keadaan secara keseluruhan. Manusia yang mengarahkan perhatian pada Event disebut subjek militan.

Tentang subjek militan, diterangkan disana bahwa event adalah pusat perhatian yang harus dibentuk oleh subjek. Dimana event mengandaikan situasi yang keluar dari logika simbolik yang dibentuk oleh Negara. Oleh karena Negara adalah keberadaan yang dibenci sekaligus dibutuhkan. Maka dari itu, demokrasi sejatinya adalah pemusatan kekuatan subjek militan yang bergerak melintasi pemikiran yang beregerak pada logika demokrasi yang cacat.

Dengan begitu subjek militan haruslah mampu mengatasi situasi yang tercipta dari kekuasaan Negara. Bagi Badiou situasi militant hanya bisa tercipta oleh subjek militant dengan mencipta kebaruan yang mengatasi kebenaran yang selalu nampak pada permukaan kekuasaan Negara. Oleh sebab, politik demokrasi liberal selalu menunda datangnya kebaruan. Maka dari itu, kebaruan adalah momen politik yang harus dihadirkan oleh subjek militan itu sendiri.