Neoliberalisme adalah kristalisasi dari
sebuah gagasan tentang kebebasan yang bekerja secara adaptatif jauh merangsek ke
wilayah basis elementer manusia; kebutuhan hidup manusia, kebutuhan ekonomi. Karena
ia sifatnya gagasan, maka ia-pun mengalami perbaikan sana-sini untuk menutupi
bopeng-bopeng yang ada dalam dirinya, berkat sebuah kenyataan, Neoliberalisme
tak selama tampil sempurna . Konon katanya, John Maynard Keynes pernah membuang
sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius.
Orang-orang terkejut. Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan
pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keadaan di mana
bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat nafkah dan
perekonomian akan bisa bergerak. Waktu itu Keynes sedang berceramah di
Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat pada
1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar” -dengan suasana malaise- berkecamuk
di mana-mana.1
Neoliberalisme dan Keynes seperti
tampil antara perhubungan dalang dengan lakon wayangnya. Yang mana seorang
dalang punya kuasa menjalankan peran dari sebuah lakon. Sebagai dalangnya,
Keynes memang memiliki kuasa itu, dan neoliberalisme adalah alur lakon yang
membutuhkan sebuah perubahan drastis. Sebagai sebuah alur, plot memang hal yang
sulit untuk dihindari, Maka dimulailah sebuah cerita dari plot yang menghendaki
modal harus diputar dan kembali dengan untung besar. Dan barangkali disinilah
bahasa marxis mendapatkan perannya, kelas proletar adalah peran antagonis yang
harus ada dalam sejarah manusia.
***
Ideologi neoliberalisme pada waktu
sekarang, tentu tak berjalan sendiri. Bersama dengan itu sebuah gagasan selalu
di awali oleh peristiwa. Semenjak kelahiran kapitalisme disekitar penghujung
abad 16, revolusi sistem politik pemerintahan perancis pada tahun 1789 sebagai
momentum dasarnya dan meledaknya
revolusi industri inggris memberikan kesiapan secara tidak langsung kondisi
psiko-sosiologis masyarakat yang akan datang untuk memilih neoliberalisme
sebagai “alternativ” jawaban atas kondisi masyarakat yang mengalami traumatik
akut pasca sejarah kelam abad kegelapan yang pernah melanda kawasan eropa.
Di atas efek traumatik itulah, dikembangkan
ilmu-ilmu sosial modern terutama trilogy ilmu sosial yakni ilmu ekonomi, ilmu
politik dan ilmu-ilmu sosial kebudayaan untuk menata dan merekonstruksi kondisi
sosio-politik-ekonomi pada tingkatan
makro, mezo dan mikro masyarakat. Pada tiga tingkatan ini, ketiga ilmu-ilmu
yang dimaksud bekerja pada medan masing-masing sesuai dengan tingkatannya demi
menyiapkan lahan bagi neoliberalisme untuk bekerja berdasarkan logikanya.
Dengan begitu pada masing-masing medan kerja mereka memiliki prinsip aksial2 yang berbeda.
Prinsip aksial sebenarnya istilah yang
dicetuskan Daniel Bell dalam mengemukakan pendapatnya tentang pembacaannya
terhadap paradigma yang dianut oleh sebagian teoritisi sosial dalam melihat
lapangan hidup masyarakat yang ia katakan masih melihat konteks hidup masyarakat
dalam pandangan yang holistik.3 Berdasarkan pembacaan ini, Daniel Bell,
memberikan eksposisi yang berbeda dari pandangan mainstream kebanyakan
pakar-pakar ilmu sosial. Menurutnya, wilayah kehidupan manusia sebenarnya memiliki
tiga bidang kehidupan yang berbeda, yakni bidang kultural, politik dan ekonomi.
Pada tatanan wilayah ekonomi, tatanan
yang dimaksud adalah wilayah yang bekerja berdasarkan hubungan-hubungan
produksi yang berurusan dengan struktur-struktur organisai produksi dalam
penyedian jasa dan barang. Model kehidupan ini turut melibatkan kemajuan
tekhnologi dalam memediasi pekerjaan manusia didalam struktur korganisasian
masyarakat, untuk mendorong tujuan-tujuan instrumental manusia. Pada dimensi
kerja ini menurut Bell, prinsip aksial yang ada pada tatanan wilayah kehidupan
ini adalah rasionalitas fungisional dengan mode regulasi-regulasinya yang
berefek pada “pengekonomisan” yang berefek pada logika efisiensi, pengurangan
biaya, pengejaran untung besar dan maksimalisasi kerja.
Pada mode seperti diatas
“pengekonomisan” akan masuk pada struktur-struktur hierarki organisasi yang
melakukan spesialisasi dan segmentasi fungsi pada ranah material masyarakat.
Pada proses kerja seperti ini akan muncul ditengah-tengah tatanan sosial
kemasyarakatan usaha reifikasi4
yang membentuk ranah paradigmatik untuk wilayah kerja yang akan di lakukan oleh
masyarakat beserta modal sosial yang dimilkinya. Implikasi sosiologis seperti
ini pada masyarakat akan menciptakan otoritas pada peran sosial dan bukan pada
person-person sehingga relasional bukan lagi pada bentuk masyarakat yang
sifatnya mekanik melainkan organis berdasarkan spesialisasi peran yang dimilki
seseorang.5
Kemudian, pada wilayah kehidupan
politik kemasyarakatan di artikan sebagai medan kehidupan yang hendak merealisasikan
konsep keadilan sosial ekonomi yang terstrukturisasi didalam ekses-ekses
kekuasaan yang ada pada otoritas kekuasaan politik. Dikarenakan sifatnya dalam
wilayah praktik kehidupan, maka dengan otoritas politik dalam menerapkan konsep
keadilan social dengan ekses-ekses kekuasaannya, lahir klaim-klaim yang
diderivasikan dalam teks-teks konstitusional dalam penciptaan relasi-relasi
keadilan. Dengan begitu bila merujuk pada pemikiran Daniel Bell, yang menjadi
prinsip aksialnya adalah legitimasi dan persamaan pada wilayah public.
Sementara pada kompleksitas kehidupan
kebudayaan masyarakat, penciptaan wilayah kebudayaan merupakan wilayah yang
dibentuk dari simbol-simbol yang ekspresif. Pada lapangan kebudayaan manusia
melakukan pengidentifikasian ekspresinya demi menemukan eksistensi dirinya
lewat dunia imajinatif. Pada wilayah ini maka dalam penemuan eksistensi diri
manusia terlepas dari institusional yang sifatnya nonlegal-formal sehingga
manusia memiliki kebebasan dalam menuangkan ekspresi dirinya pada ruang yang
lebih longgar dari dua wilayah yang sebelumnya.
Dari ketiga wilayah inilah, trilogy
teori yang memiliki kerangka kerja pada wilayah elementer kebutuhan masyarakat
melakukan usaha taksonomi sosial untuk menyesuaikan berdadasarkan prinsip
aksial yang berlaku pada masing-masing wilayah kehidupan manusia. Jika kita
hendak melakukan pembacaan secara genealogis, maka dari perkembangan ilmu-ilmu
selama ini dalam perjalanannya memiliki relasi secara fungisional dengan
jaringan kekuasaan yang memiliki kekuatan politik untuk membentuk citra
masyarakat yang diinginkan. Dengan tujuan inilah maka digalakkan proyek-proyek
peneletian besar-besaran yang dibiayai oleh korporasi-korporasi untuk melakukan
teoritisasi ilmu-ilmu sosial guna memediasi interesnya.
Neoliberalisme pada akhirnya melahirkan
kesenjangan kelas, bertambahnya masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan,
banyaknya anak-anak didik yang putus sekolah, berdiri dan bertambahnya
gedung-gedung pencakar langit hingga sampai melahirkan kondisi masyarakat yang
berwatak konsumerisme pada wilayah kebudayaan.
Neoliberalisme yang mengusung gagasan liberalisasi, privatisasi dan
swastanisasi dan dengan dukungan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh
negara-negara adikuasa berupa IMF, Bank Dunia serta lembaga-lembaga penelitian
sosial dan keuangan, memiliki kehendak dalam melanggengkan perdagangan
internasional. Dimana penjajahan bergaya baru tampil dengan konsep depedensi
ekonomi sehingga memiliki dampak yang cukup luar biasa terhadap segala sendi
kehidupan umat manusia.
Akirnya, dengan ulasan singkat diatas,
maka neoliberalisme dengan petuah yang dikatakan dalangnya, mampu melakukan
proses adaptatif terhadap lingkungan kehidupan kita sehingga benarlah apa yang
dibahasakan oleh Keynes bahwa era dua puluh adalah era “stabilisasi” dengan
tipenya yang selalu “berubah drastis” dari waktu ke waktu. Dan Neoliberalisme
selelu menjadi actor antagonis yang menang pada plot-plot cerita yang telah
diskenariokan.[]

1. Goenawan Muhammad, Catatan Pinggir
2. Hikmat Budiman, Pembunuhan Yang
Selalu Gagal, hal. 67
3. Ibid, Hal. 63
4. Istilah yang digunakan Oleh George
Lukacs untuk merujuk pada istilah pembendaan terhadap manusia atau proses yang
terjadi seperti pada konsep hegemoni yang ada pada Gramsci. Baca akar-akar
Ideologi, hal. 154
5. Hikmat Budiman, Pembunuhan Yang
Selalu Gagal, hal. 178