I
Sudahkah
engkau mengerti, tentang hujan, tentang rinai yang bisa tampil dengan mukanya
yang paling merusak. Deras berjatuhan dan tak kenal berhenti. Di mana
kejatuhannya pada kotakota besar adalah perkara yang berat. Banjir dan air bah.
Pada kota yang tak tentu, baik cara hidup ataukah model tata ornamennya, hujan
adalah bukan berkah. Oleh sebab, tanah telah terlanjur dibanguni megah
gedunggedung. Rapat mapat dengan seluruh ornamennya. Tanah lapang pada kota
seperti itu adalah emas yang dicaricari.
II
Barangkali
engkau tahu, perihal kiblat dunia, mengenai dunia yang dikejarkejar. Pusat
perhatian yang menghendaki kemajuan. Yang mana kita tahu, kemajuan pada waktu
sekarang identik dengan kota dunia; sebuah tempat yang menghabisi pinggiran dan
menyulapnya menjadi episentrum aktivitas. Bahwa kota harus menampil purna
dengan konstruksi yang maha dahsyat. Sehingga jika kita di sana, yang kita lihat
adalah gemerlap yang tak pernah padam.
III
Kota
barangkali adalah rupa yang kompleks. Di sana kemajuan dengan kemunduran
berjalan dengan selaras. Di sana bisa saja kita temukan progresivitas sekaligus
dehumanisasi dalam waktu yang bersamaan. Tahukah engkau pada yang pertama,
di situ kita temukan tentang cara hidup yang menghentak dan spontan. Sehingga
masa lalu adalah lampu teplok yang sudah ketinggalan jaman. Di sana bisa kita
saksikan keramaian yang seporadis dan cair, di mana resiko kesepian begitu
menganga dihadapan kita. Di sana pula percepatan tak tanggungtanggung bisa kita
hentikan, oleh karena berhenti pada tempat seperti itu adalah kekonyolan.
Pada
yang kedua, cara kita hidup dengan rasionalitas yang begitu tajam membuat kita
menjadi manusia yang tak kepalang. Membuat kita menjadi manusia yang
mengungguli batasanbatasan yang dihadapi. Tetapi di sana ada masalah yang begitu
besar; manusia dalam mode ini adalah mahluk yang tak mampu menangkap kenyataan
yang sebenarnya. Dan juga di kota seperti ini rasio kita harus mengalah pada
kepentingan. Kita terkadang takluk pada kepentingan pribadi dibanding dengan
kepentingan kekitaan. Kita juga terkadang tak hirau dengan alam. Di mana waktu
sekarang alam kita mengecil pada batas temboktembok rumah kita.
IV
Bisakah
engkau dengarkan bunyi air di atas atap. Rinai hujan sekali lagi harus menguji
tempat kita. Sampai sejauh mana tempat yang kita tinggali adalah tempat yang
paling tahan. Terhadap air, terhadap banjir, terhadap sampah, terhadap penyakit
dan terhadap kesabaran kita. Hujan barangkali di waktu sekarang bukanlah proses
langit yang kita tunggu, melainkan air yang sering kita hindari. Di mana hujan
terkadang membuat kita lupa diri. Bahwa kota barangkali perlu untuk kita
pelihara.
V
Pernahkah
saya menceritakan padamu, bahwa diwaktu kecil hujan seperti di luar sana adalah
berkah langit yang selalu dinantinanti. Karena hujan dahulu pada mata kecil
saya adalah alat untuk meragakan kebebasan. Oleh sebab di tengah hujan, kita
bisa berlari dan riang bermain bersama temanteman kita. Namun kita sekarang
tengah menjauhi masa kecil kita, dan sekarang hujan bukan lagi sebagai undangan
alam untuk kita permainkan. Oleh sebab, jusrtu sekarang hujan adalah amuk alam
yang kita ciptakan, oleh tangantangan kita, oleh tempat yang kita tinggali.
Oleh rapatmapatnya gedung yang menghabisi tanahtanah yang dahulu begitu
lapang.