Langsung ke konten utama

Wiji Thukul, Mei 98

Hanya satu kata, lawan. Begitu sajak yang pernah kumandang dengan ritmik, semacam do’a bagi kalangan aktivis-intelektual Indonesia. Sajak yang bukan hasil dari karya ilmiah dengan klasifikasi yang ketat tentang standar mutu menurut logika sains. Sebuah kredo layaknya kitab yang berisikan wahyu langit untuk meneguhkan iman yang dianggap menyimpang bagi sebahagian besar penganut keyakinan mayoritas.

Namun Hanya satu kata, lawan, adalah kalimah yang lahir dari langitlangit yang jauh, langit yang selalu mendung dari seorang Wiji Thukul. Jauh dari kemapanan masyarakat banyak, di mana dalam otoritas tunggal menjadi hal yang dianggap menyimpang dan terlampau meragukan. Pada sajak ini, Wiji Thukul hendak menampik sesuatu yang terlampau mapan, kehidupan yang secara alamiah merupakan produk dari kuasa. Bagaikan godam, Wiji memukulnya dengan sebilah kata. Hanya satu kata, lawan adalah iman bagi seorang Wijhi tukul, iman yang bukan hidup bersemayam dalam ruang dada seseorang melainkan keyakinan yang harus mencari sepetak tanah untuk disemaikan.

Tetapi selayaknya layangan, jika telah diterbangkan maka tak ada batas yang mampu untuk menghalanginya untuk disaksikan. Hanya saja, layangan yang diterbangkan oleh Wiji Thukul, tak mampu menampik batas yang terlampau kokoh dididirikan oleh kuasa, Batas yang menghalangi angin untuk melambungkan layangan yang diterbangkan Thukul.  Batas yang berujung pada kenihilan identitas, Thukul Dihilangkan. Lebih malangnya lagi, hanya sedikit orang yang mau untuk memegang kembali tali kendali layangan Thukul yang sudah lama melayang di angkasa tanpa nahkoda. 


Disuatu waktu ia menulis;

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!
****

Bulan sekarang adalah bulan Mei. Dibulan ini, 15 tahun yang lalu, reformasi masih menjadi embrio. Pergolakan ekonomi global meresesi sampai mengguncang sendisendi kehidupan Indonesia. Rejim orde baru guyah. Pergolakan terjadi dimanamana. Di kotakota besar gerakan protes merebak. Media menjadi jendela yang ramai dengan gerakan massif mahasiswa. Menyebarluaskan satu isyarat penting; Indonesia sedang mengalami guncangan sosialpolitik.

Tri Sakti adalah episentrum tragedika yang menyulut empati dan emosi. Mahasiswa meradang kemudian geram. Kampus kemudian penuh gonjangganjing. Yang semula adalah gerakan sektoral akhirnya mendorong daya tarik hingga kepinggiran; mahasiswa di pusat, maupun kotakota lainnya akhirnya bergerak. Sebuah perlawanan akhirnya menguniversal; menerjemahkan momentum krisis menjadi kritik.

Dan kita akhirnya mengerti; sesungguhnya suara itu tak bisa dibungkam. Lebih dari dua puluh tahun kampus dibawah bayangbayang NKK-BKK orba, apa yang bisa memasung nyanyian bimbang seorang dibungkam. Jika tembok tebal kuasa telah ditanami bibit perlawanan. Sebagaimana Thukul menulisnya dalam sebait puisinya;

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu

Tapi di tubuh tembok itu
 Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami

Di manapun–tirani harus tumbang!

Dan kuasa bukanlah beton yang tak mengenal keretakan. Kekuasaan adalah situasi yang mudah goyah dengan sekali sapuan yang telah lama mengendap. Dimana sebuah “peristiwa” bisa datang dengan tibatiba. Sesuatu yang disebut oleh Alain Badiou sebagai “yang politis”. Sehingga kejadian dari “yang politik” menjadi runyam oleh sebuah “even”.

Nampaknya di tahuntahun itu, dimana sebuah “peristiwa” telah melampaui “representasi” dari “yang politik”, menjadi batu sandungan yang akhirnya harus takluk pada politik electoral yang kehilangan dukungan dari “dewandewan rakyat” yang pada situasi yang militan telah mereposisi kepentingannya. Hingga akhirnya sebuah jalan yang dalam bahasa Badiou “adalah premis dasar komunis” menjadi panca di tengah situasi demokrasi yang hanya memunculkan wajah lama dari rejim yang berkuasa selama tiga puluh tahun lebih.

Dan barangkali gerakan yang hendak membesar itu harus mengendapkan makna militansinya pada terma yang di taklukkan; reformasi. Yang kita tahu reformasi adalah benih revolusi yang kemudian menguap begitu saja. Namun kekuatan apa yang bisa meredam suara sumbang?

Lima belas tahun sudah sebuah peristiwa kemudian sayupmayup terlupakan. Menguap dari ingatan kolektiv bangsa Indonesia, namun, seperti kata Goenawan Mohammad  mungkin sejarah seperti origami, mengandalkan sebuah bahan yang mudah melayang; ingatan. Maka setidaknya sebuah penanda Milan Kundera bisa mengilustrasikan apa yang kita alami dari apa yang dibilangkannya; perjuangan manusia sesungguhnya adalah perjuangan melawan lupa?[]

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...