Langsung ke konten utama

Kelupaan H di Tengah Madah; Mencari Rumah

Tirulah dari apa yang hendak engkau persamakan. Bukankah peniruan bilamana disana engkau bisa setara. Suatu sanksi jika disana ada keutamaan, sementara dirimu masih berkalang enggan.

Madah, Madah, Madah.

Sastra saya pahami adalah dunia yang menampik untuk tunggal; paham. Bilamana sastra berusaha di mapankan dalam bentuknya yang mono, maka konsepsi hanya bisa mencelos, bahkan bisa jadi tampil dalam bentuknya yang otoriter; rejim pikiran. Sebab konsep terkadang menghendaki jalur yang sempit. Kemapatan antara dua persisian yang mesti rapat; ide dan dunia. 

Maka, sastra bukan saja pada dua tepian realitas, dimana terkadang antara keduanya; imagi dan kenyataan, hanyalah mediasi untuk kedalaman seseorang.

Demikian pula sastra tidak menghendaki adanya kepurnaan. Sebab sastra tidak bertugas untuk memberi konklusi. Dan sastra justru hadir pada tampilannya yang murni; jedah batin yang terputus dari kenyataan. Dan disanalah interupsi diperlukan; kontemplasi. Dimana subjek harus memasukinya; ruang yang menuntut keterpisahan. Bukan dengan konsepsi, melainkan suatu yang bersebarangan dari dan dengannya; ego. Walaupun ia bisa terjatuh pada pemadatanpemadatan dari nilai yang sudah tertanam secara konvensional. 

Dari sanalah barangkali kita bisa memberikan pengandaian terhadap triadikal itu; id, ego dan superego. Yang mana selalu ada yang menghendaki untuk teridentitaskan, membuncah dari kedalaman. Namun pada persentuhan terakhirnya mengharapkan penyesuaianpenyesuaian dengan dunia di luar; hukumhukum. Kemudian disinilah kebebasan biasanya mengandung kompleksitas beserta pengandaianpengandaian yang bersilangan.

'Ma[h]dah mantap,, Matanya.. Matanya tajam...'

Seperti apa yang terlupakan; h. Jatuh dan tibatiba dan rapat pada Madah. Disana, pada Madah, proyeksi tentang kedalaman yang terpenggal begitu saja. Terpotongpotong dalam ruasruas waktu yang santer. H, ia bukanlah bentuk material dari bilik konsepsi. Ia datang begitu tibatiba, serempak meloncati, dan kemudian tetap. Kedatangannya sesuatu yang tak diduga. Perihal yang melintasi tanpa singgah tinggal dalam alam pikir.

'Ma[h]dah berlari,, Ia membelah malam.' 

Saya pernah mendengar ini; waktu internal dan waktu eksternal. Pengandaian ini mengisyaratkan dua peng-alam-an yang berbeda. Dua rujukan yang bersilangan. Bahwa masingmasing memiliki sistem yang berlainan dan saling bernegasi, terus dan terus.

'Ma[h]dah, Ma[h]dah...masih saja berlari setelah kematian di bawahnya; Abah.

Madah bisa saja memilih keduanya, antara rumah inferiornya atau bisa saja bergegas menuju rumah eksteriornya. Namun madah tahu; di luar sana dunia sedang kembang kempis, membangun megah rumahrumah ekterior. Dengan material yang tak pernah ada ditemukan sebelumnya; teknologi, dimana berlombalomba dengan dirinya pada percepatan yang sulit dibendung. Madah sanksi; kita lupa kemana harus kembali, kemana rumah yang harusnya kita datangi.

Pada persilangan waktu; Ma[h]dah masih berlari.

Pare, hari siang 120313

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...