Langsung ke konten utama

Chavez


Chavez kritis. Ia bernapas meradang. Kemudian, di pembaringannya ia mangkat. Di usia 58.

Chavez bersusah payah melawan kanker: sakit yang menggerogoti sisa usianya. Beberapa kali operasi berjalan. Dokter terbaik berjibaku. Di rumah sakit Kuba, tempat sekutunya domisili, Castro, menjadi tempat terakhir sebelum akhirnya ia dipulangkan. Venezuela.

Dari atas dipan bilik rumah sakit militer ia masih memimpin rakyatnya. Instruksi-instruksi: bagaimana pun juga pemerintahan harus tetap bergerak. Negara, institusi politik yang ia kuasai tak mengenal ampun. Batapa pun sakit, negara adalah segalanya.

Namun, Selasa di suatu sore, 16.25, waktu berubah genting. Sesuatu mesti dikabarkan. Maduro, wakil Chaves mengumumkan: ”Kami telah menerima sebuah informasi yang paling tragis dan memilukan. Hari ini, pukul 04.25 sore, Presiden Hugo Chavez Frias meninggal dunia.” Suaranya tersedak, wakil presiden itu menangis. Selang detik kemudian Venezuela berkabung.
Chavez telah tiada.

kepergiannya tiada meninggalkan sesuatu selain dua hal: sosialisme dan negaranya tercinta.
Venezuela, seperti halnya negeri-negeri pewaris sosialisme: kesetiaan rakyat, pemerintahan demokratis, dan setiap inci tanah kemerdekaan, mau tak mau memiliki agenda total. Ketika Chavez memerdekakan Venezuela dari komparador kapitalis, sosialisme harus sampai ke rumahrumah warga. Tiada lagi warga melarat. Sosialisme satu-satunya juru selamat.

Syahdan, kolektivisme bukanlah prinsip yang nihil. Chavez belajar dari pengalaman masa lalunya. Kolektivitas adalah sisi terang yang mengatasi kemiskinan. Gagasan ini ia rawat semenjak dari militer. Baginya, militer bukan garis diametral yang menjauh dari entitas tempat mengabdi: rakyat. Militer dipahami sebagai sosialisme yang mengacung moncong senapan kepada penjarah tanah air. Militer sesungguhnya sosialisme berseragam. Ia  mekanisme pertahanan negara menghadapi ancaman apapun. Termasuk jenderal-jenderal sayap kanan berpolah korup. Chavez meyakini militer yang korup adalah musuh kemanusiaan.

Dari sosialisme jenis demikianlah ia hendak menata kembali Venezuela. Kemudian: kudeta militer dikerahkan. Walau akhirnya ia mengumumkan;

”Kamerad, sayang sekali untuk saat ini misi yang kami rancang gagal dijalankan di ibu kota. Beberapa di antara kita yang berada di Caracas tidak merebut kekuasaan. Di manapun kalian berada, kalian telah melakukan hal terbaik, tetapi sekarang adalah masa untuk merenung. Kesempatan baru akan muncul dan negara ini harus diarahkan ke masa depan yang lebih baik.”

Ia gagal.

Ia menunggu sembari menyusun rencana lain.

Venezuela dikeruk aksi pemerintahan korup. Oligarkhi kian liat. Agen-agen neolib bercokol di pemerintahan. Minyak melimpah, namun kemiskinan kian meluas. Saat-saat seperti ini revolusi satu-satunya jalan.

Kini, permasalahannya berbeda. Sosialisme bukan semata-mata rumusan mengelola negara. Bukan jargon yang harus dikhatamkan begitu rupa. Sosialisme tidak bakal tumbuh di tanah kering. Sosialisme tidakuntuk dijiplak.

Dengan kata lain, tidak seperti bangsa phobia perubahan, revolusi harus berangkat dari ingatan terdalam sejarahnya sendiri. Dan sosialisme, pada tafsirnya yang lain, di mana Chavez telah gagal memiliki isyarat: marxisme sudah uzur.

Itulah sebab, sosialisme dibersihkan dari kekolotan Leninisme. Apa yang menjadi aturan pakai, revolusi Venezuela kembali dengan tema besar: Revolusi Bolivarian. Dan akhirnya, dari partai, serempak sosialisme yang dinspirasi revolusi Bolivarian menjadi pekerjaan 24 jam. Kemudian dimulailah agenda besar itu: penyejahteraan berkala.

Hingga kini pasca pengumuman itu, 4000 lebih dewan-dewan komunal menemukan kenyataan, dan bisa jadi masalah; Chavez betul-betul mati.

Spekulasi di balik kematiannya bermunculan. Chavez diracun. Agen CIA dalangnya. Itu asumsi kalangan internal pemerintahan Venezuela. Walau demikian, umur Chavez tak sepanjang sosialismenya. Tanpa Chavez setelahnya, Revolusi Bolivarian bakal dirundung ujian.

Revolusi di manapun adalah batas antara ”yang konservatif” dengan ”yang revolusioner”. Revolusi bagai gerbong yang membutuhkan masinis. Apapun skenarionya mesti ada seseorang berdiri di depan menyisihkan lengan baju. Dan semuanya harus percaya. Tetapi kepercayaan bukanlah tanpa risiko, terlebih ketika sang masinis mangkat tanpa usul pengganti.

Walaupun demikian, bagi negeri-negeri sosialis keyakinan terhadap sosialisme ibarat jubah yang membutuhkan sosok, sekalipun ia sudah mangkat. Sosialisme dan sosok mesti abadi. Ia kedap perubahan.

Seperti Lenin maupun Mao, di Venezuela, sosialisme mau tak mau harus menjadi tubuh yang awet. Tujuannya kelak agar ingatan tak mudah disalib lupa. Sebagai simbol sebagai monumen ingatan. Di negeri sosialisme setiap pemimpin sesungguhnya berumur panjang.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...