Langsung ke konten utama

LDSI Al Muntazhar; Iman R[evolusi] yang Alegoris

Sesungguhnya agama Allah  tidak akan bisa dikenali dari pribadi-pribadi, tetapi akan dapat dikenali dari tanda-tanda kebenarannya. Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengetahui siapa penganutnya. [Imam Ali Bin Abi Thalib]

Kehidupan umat manusia dalam waktu sekarang tengah di dominasi oleh kebudayaan barat yang berdiri diatas alur logika paham materialistik. Kehidupan ini di tandai dengan penyimpangan dalam aspek-aspek kehidupan, terutama pada sisi akidah dan akhlak. Dalam aspek akidah penyimpangan ditandai dengan penyembahan terhadap sains yang berlebihan yang turut serta menggeser sendi-sendi tauhid. Sementara pada aspek akhlak, penyimpangan terjadi dalam berbagai bentuk, terutama tindak tanduk kezaliman dan kekerasan yang biasa di lakukan pada orang-orang lemah dan teraniaya.

Negara-negara barat , eropa dan Amerika sejak abad XVI, telah membuang keyakinan-keyakinan agama yang sacral. Mereka menolak semua itu dan hanya kepada ilmu pengetahuan, dan kepercayaan ini telah mencapai tingkat yang amat tinggi. Bahkan sejak abad 18-19 ilmu pengetahuan telah menjadi semacam tuhan baru bagi mereka. Mereka percaya ilmu pengetahuan dapat memeberikan ketetapan-ketetapan yang sangat kuat dan tidak terdapat sedikit pun keraguan dan kebatilan di dalamnya. Disamping mempertuhankan ilmu pengetahuan, mereka pun telah menetapkan tuhan-tuhan baru , yakni produksi, harta benda dan kesenangan hidup.

Dari model penghambaan terhadap tuhan-tuhan baru tersebut membawa umat manusia pada kondisi yang jauh dari spirit tauhid. Dampak dari itu manusia mengalami kekeringan dalam memaknai hidup dan kehidupan. Keresahan massal dan kegelisahan pun menjadi fenomena global yang tak dapat lagi di pungkiri. Manusia pun mencapai titik kegersangan yang akut, lelah disebabkan berubah-ubahnya tuhan-tuhan yang kerap kali tidak tetap. Padahal setiap manusia membutuhkan ketenangan dan ketentraman

Dari fakta yang dihadapi, sebagai suatu system hidup baik pemikiran, konsep-konsep, perilaku dan kenyataan hidup, umat manusia mengalami kondisi yang di istlahkan oleh Sayyid Quthub sebagai jahiliah modern. Beliau berpendapat, jahiliah bukanlah fase tertentu dalam sejarah, melainkan suatu system hidup yang setiap saat dapat timbul baik pada masa lalu, masa kini maupun masa datang.

 Bertolak dari pandangan di atas, peradaban yang tengah berada dalam kehidupan yang carut marut tak tentu arah maka diperlukan upaya yang serius untuk turut serta memperbaiki fenomena umat manusia yang telah di jelaskan di atas. Dakwah dan seruan terhadap Islam sebagai ajaran yang mutlak dan universal adalah hal yang mendesak untuk di lakukan. Apalagi dalam kehidupan kemasyarakatan kekinian,  individu maupun masyarakat  modern tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendasar baik di tingkatan kita sebagai individu, keluarga maupun masyarakat.

Dengan itu maka dakwah bukan lagi sebagai keharusan yang bertolak dari peristiwa-peristiwa yang kita saksikan, melainkan dakwah adalah tugas kemanusiaan yang mesti di aktualkan baik sebagai individu maupun perkelompok. Dakwah sebagai paradigma maupun praktik adalah suatu kewajiban bagi setiap umat muslim. Dakwah bukan saja tugas individu melainkan tugas kolektif yang harus di kerjakan sejalan dengan pengetahuan yang di miliki. Banyak pendapat bahwa Dakwah adalah kelanjutan dari iman. Dengan perkataan lain dakwah adalah kelanjutan logis dari iman yang dimiliki atau wujud nyata dari iman.

Dakwah sebagai pengejawantahan dari iman yang dimiliki tidak saja bergerak pada tataran individu melainkan penting kiranya iman ini di tafsirkan pada kehidupan berkelompok atau organisasi. Sebab dakwah bukanlah kerja yang disertai dengan komitmen individu melainkan komitemen kelompok ataupun organisasi. Pemahaman ini dapat di wujudkan melalui tiga tahapan. Pertama, Iman yang dinyatakan dalam diri sendiri dengan cara masing-masing orang atau individu mengusahakan dirinya untuk menjadi wujud nyata dari iman yang dimilikinya. Wujud nyata yang di maksud adalah baik dari segi pemikiran, sikap dan perilaku. 

Kedua, iman yang dinyatakan dengan mengajak dan menyeru manusia kepada ajaran yang di anggap benar serta menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki. Seruan ini penting kiranya jikalau iman sudah menjadi inheren dalam diri individu dengan cara ia telah menunjukan keistimewaan dan keutamaan iman terhadap dirinya sendiri. Jadi pada tahap kedua ini mulai terjadi pelebaran teritori penerapan iman yang di yakini, bukan saja terhadap diri tetapi juga terhadap orang sekitar.

Ketiga,Iman yang dipahami dan yang diyakini dinyatakan dengan tujuan mengokohkan iman tersebut sebagai system hidup bagi umat manusia. Upaya ini harus di lakukan dengan usaha kolektif bukan saja sebagai tugas individu dengan segala potensi dan upaya yang ada.

Dari sinilah dakwah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan dakwah itu sendiri adalah subtantif yang menjadi fitrah dari manusia. Namun jika melihat tugas-tugas dakwah yang banyak mengalami hambatan dan tantangan di zaman sekarang ini, maka dakwah bukan saja harus dilakukan dengan inisiasi individu atupun kelompok melainkan perlu kiranya memiliki wadah yang secara sistematis, terorganisir  dan revolusioner agar kiranya gagasan-gagasan universal yang diyakini menjadi jalan bagi ikhtiar ummat manusia.[]


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...