Prolog
Eko Prasetyo[2]
Barangsiapa diam di hadapan kezaliman maka dia menjadi seolah-olah seorang iblis
Kita tahu apa yang
paling berharga di masa muda. Petualangan dan keberanian. Nyala keberanian itu
yang membawa Che Guevara menuju Kuba. Bersama Fidel Castro dilintasi lautan dan
belantara hutan untuk sebuah cita-cita yang mungkin agak nekad: kekuasaan yang
bersendi keadilan. Dunia sebut perjuangan itu sebagai sosialisme. Sebagian
dengan antusias memberinya julukan komunisme. Apapun itu kini Kuba berdiri
dengan penuh martabat: angka melek hurufnya paling tinggi, jaminan kesehatan
penduduk paling ampuh dan yang terpenting minim hutang luar negeri. Castro tua
itu masih menyimpan bara semangat anak muda; diejeknya Obama dan dipujinya Hugo
Chavez.
Eko Prasetyo[2]
Barangsiapa diam di hadapan kezaliman maka dia menjadi seolah-olah seorang iblis
(Rasulullah SAW)
Hal terbaik yang dapat
anda lakukan untuk orang lain bukan sekedar berbagi kekayaan Anda, melainkan
membuatnya menyadari kekayaan dirinya (Benjamin Disraeli)
Kita
pun tahu anak muda itu selalu melawan apa saja. Dulu Soekarno muda membalut
pikiranya dengan tiga anti: anti elitisme, anti imperialisme dan anti
kolonialisme. Kelak pidato pembelaanya di pengadilan punya judul yang hebat:
Indonesia menggugat. Di hadapan hakim, pemuda Soekarno itu melukiskan kejamnya
imperialisme. Disebutnya imperialisme dengan kalimat yang lugas, imaginatif dan
menyudutkan:‘imperialisme itu suatu paham, sekaligus suatu pengertian.
Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu sistem yang menguasai atau mempengaruhi
ekonomi suatu negeri..’ Soekarno muda menggunakan bahasa tanpa bunga-bunga:
radikal, menusuk dan bergelora. Pidatonya menyalakan apa yang langka dari
seorang pemimpin: meyakinkan dan menantang.
Kitapun tahu anak muda
memenuhi dirinya dengan sikap percaya diri. Sjahrir teguhkan itu dengan
sikapnya untuk tidak bekerja sama dengan Jepang. Baginya kolaborasi hanya
taktik para pecundang. Sjahrir sebut mereka itu sebagai para politisi yang
naif. Itu pula yang membawa Sjahrir dalam pandangan romantik tentang
kebangsaan. Dikatakan olehnya: ‘kebangsaan itu hanya jembatan untuk mencapai
derajat kemanusiaan yang sempurna, bukan untuk memuaskan diri kita, sekali-kali
bukan untuk merusakkan pergaulan kemanusiaan….kebangsaan kita hanya satu roman
dari pembaktian kita pada kemanusiaan’ Luapan semangat percaya dirinya membuat
Sjahrir yakin bahwa nasionalisme itu musti didasarkan pada kekuatan diri.
Kekuatan itu letaknya pada pemenuhan cita-cita kita tentang keadilan dan
perikemanusiaan.
Di atas kecintaan pada
nilai kemanusiaan itulah banyak anak muda tak mau berkalung kemapanan. Tan
Malaka petunjuk sempurna kepribadian ini: dijadikan buron, selalu dipenjara dan
mempercayai aksi massa. Petunjuk revolusinya tegas: enggan untuk menempuh
diplomasi dan percaya pada kekuatan rakyat. Sikapnya seperti monumen: teguh dan
sulit dibujuk. Itu sebabnya Tan Malaka tidak berkeluarga. Itu pula yang
membuatnya mampu melahirkan banyak karya. Seperti sosok utusan Tuhan, ajaran
Tan Malaka lebih lama bertahan ketimbang usia hidupnya. Mirip dengan nyalak
peluru ide Tan Malaka telah menembus kebekuan pandangan hidup dan membunuh gagasan
yang mapan. Tan Malaka mewariskan apa yang menjadi senjata kaum revolusioner:
keyakinan dan konsekuensi.
Kini keyakinan itu
luntur perlahan. Anak-anak muda terjatuh dalam kebosanan. Dangkal harapanya dan
lemah nyalinya. Tanpa keberanian mereka semuanya dipeluk oleh mimpi tentang
keberhasilan. Ukuranya lemah dan nista: kekayaan. Di mana-mana semangat itu
ditampilkan dengan kepercayaan yang getir: konsumerisme. Dirayakan melalui
pendirian Mall, industri yang merusak lingkungan dan duta produk. Salah satu
hantaman yang paling menyakitkan adalah iklan. Arnold Tonybee mengatakan,
bisnis iklan itu memperlancar jalanya barang-barang yang tak perlu ke perut
orang-orang yang sudah kekenyangan. Di sanalah anak-anak muda itu dikelilingi
kepercayaan palsu. Kepercayaan kalau hidup itu hanya memenuhi perut dan mencari
pasangan yang tepat.
Kemapanan itu telah lama
menipu. Pidato pejabat hanya menanam kecemasan. Pendidikan memudahkan jalan
timbulnya keraguan. Lalu lingkungan menggoreskan kekuatiran. Itulah generasi
gagap seperti bunyi syair Rendra:
Kita adalah angkatan
gagap
Yang diperanakkan oleh
angkatan takabur
Kita kurang pendidikan
resmi
Di dalam hal keadilan
Karena tidak diajarkan
berpolitik
Dan tidak diajar dasar
ilmu hukum
.................
Dasar pendidikan kita
adalah kepatuhan
Bukan pertukaran pikiran
Ilmu sekolah adalah ilmu
hafalan
Dan bukan ilmu latihan
menguraikan
Lantas jadilah kita
bangsa pandir. Yang dibesarkan oleh ilusi masa lalu dan demam prosedur. Kita
kukuhan pembaharuan hukum untuk menipu rasa keadilan. Kita jelmakan apa yang
dulu kita benci: kekerasan dan amuk massa. Jika demikian maka anak-anak muda
akan melacurkan diri. Pada pengetahuan palsu yang akan mementaskan ilmuwan
tanggung. Hanya mematut diri pada gelar tapi gagal mengemban amanat
pembaharuan. Juga pada keterampilan sempit yang memudahkan mereka untuk
menempuh jalan pintas. Baik menjadi politisi karbitan yang tak punya ide
radikal ataupun rohaniawan yang tanpa keberanian. Kini kita bukan hanya rindu
para pejuang muda tapi juga anak muda yang mampu menghantui kemapanan. Mereka
yang menolak diri untuk menyesuaikan dan tetap teguh mendorong pemberontakan.
Hanya dengan berontak
kita hidup. Berontak pada apa yang disebut Tan Malaka sebagai racun: parlemen,
masjid, gereja, sekolah, dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan
melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila
mereka tak dapat berlaku seperti itu. Dipergunakanlah penjara, polisi dan
militer. Itulah wasiat Tan Malaka yang patut kita renungkan kembali. Berontak
pada apa yang telah memenjarakan nyali, tekad dan kesungguhan anak-anak muda.
Berontak pada apa yang selama ini telah menipu dan membuat kita melupakan jiwa
muda kita. Jiwa yang selalu menolak segala bentuk bujuk, kemapanan dan
keindahan semu. Jiwa yang tak percaya dengan apa yang tampak. Persis seperti
puisi Afganistan:
Beri aku kekayaan hati
dan mata
Ambillah dunia untuk
dirimu
Jangan bawakan makanan
yang lezat-lezat
Tak sanggup aku
mengunyahnya
Yang kuidamkan hanyalah
inspirasi
Bagi tujuan-tujuan yang
bermanfaat
Dongeng dan impian
muluk-muluk
Tak begitu kusukai
Tentang pengorbanan
Ibrahim
Boleh kau kisahkan
berulang-ulang kepadaku....
Jika hendak disebut, buku ini adalah kumpulan
tulisan anak-anak muda. Yang menolak untuk percaya pada slogan dan janji
kosong. Buku ini meneguhkan apa yang langka di negeri ini: sikap kritis,
menolak untuk patuh dan membangkang pada kenyataan. Beberapa saya kenal mereka
semasa mahasiswa; jadi aktivis, menyukai demonstrasi dan kesal pada kekuasaan
yang pongah. Kini mereka memilih untuk menulis. Bersama dengan tulisan itulah
ingatan dipahat dan keyakinan diteguhkan. Kini mereka menyemai gagasan untuk
menuai tindakan. Tak akan gagasan ini hanya sebuah tulisan sekedarnya. Seperti
Pramoedya mereka meyakini bahwa kertas dan tulisan adalah senjata terampuh.
Untuk melawan sinisme, ketakutan dan rasa muak pada kekuatan penghancur
kemanusiaan. Meski kebebasan telah ditanam tapi sesungguhnya mereka percaya
belenggu telah dipasang dengan rapi. Buku ini adalah tawaran perjuangan:
membebaskan mereka yang ditindas dan menolak untuk tunduk.
Selamat membacanya.
Yogyakarta,
30 April 2012
[1][1] Tulisan
ini merupakan prolog buku Jejak Dunia Yang Retak karya Asran Salam. Dkk.
[2][2] Penulis
adalah Pendiri Resist Book, Direktur Pusham UII Yogya.