Pesan Socrates


Socrates mati meneguk racun cemara.

Sebelum hukuman mati menimpa, Socrates  memiliki kebiasan berkeliling di sudut-sudut Athena. Ia gemar berdiskusi. Menjalani laku kehidupan melalui bertanya sebagai makanan sehari-hari. Socrates memang senang bertanya, dari situ ia kerap berdiskusi dengan siapa pun.

Terkadang jawaban tak lebih eksplosif daripada menghadirkan sebuah pertanyaan. Dan itulah filsafat.  Socrates seorang filsuf.

Socrates tak berbeda dengan kita. Tentu ia seorang manusia. Dan karena ia manusia akal budilah ciri khasnya. Akal budi di tangan Socrates menjadi penting dengan menempuh dua cara: berpikir benar dan bicara benar. Ada kemungkinan dari sisi ini, kita tak seperti Socrates.

Namun Socrates punya pesan bagi siapa saja, entah  ia seorang digdaya atau budak sahaya: hidup yang tak dihayati adalah hidup yang tak layak dijalani. Caranya manfaatkanlah akal budi sebagai pintu masuknya. Berpikir. Berenung.

Tentu kematian Socrates tak sia-sia. Ia menjadi narasi bagi pegiat pertanyaan. Di waktu pengadilan, ia bisa saja mengikuti kehendak hakim meninggalkan Athena. Tetapi Socrates punya kehendak lain. Ia memilih mati mempertahankan azas kebenaran. Dan dengan meneguk saripati racun cemara ia meninggalkan sahabatnya. Hatta kehidupannya sekalipun.

Sekarang bukan zaman seperti Socrates hidup. Bukan lagi alaf waktu berabad-abad lalu. Tetapi kita di dunia yang sama dengan dunia yang pernah ditinggali Socrates. Tentu banyak perubahan, tentu banyak yang tak lagi memiliki padanan dengan waktu lampau. Namun sekarang, ada negara, ada pemerintahan, ada kebijakan, ada masyarakat. Hidup seperti ini banyak kebutuhan, banyak pilihan, banyak alternatif.

Socrates tak pernah meminta kita memilih baju apa yang  layak kita pakai, makanan apa yang mampu mengenyangkan kita, rumah apa yang bisa kita gunakan bermukim, buku apa yang harus kita baca, serta siapa layak menjadi pasangan hidup. Socrates tak pernah menyebut dirinya sebagai orang benar, seperti orang yang banyak tahu. Ia menolak menjadi tahu segalanya. Socrates hanya memilih menyenangi kebijaksanaan.[]