Tinggal
di rumah sendiri itu menyenangkan bukan main. Sungguh. Di saat bangun pagi, di
dapur sudah tersedia hidangan siap santap. Di atas meja, sudah ada segelas kopi
susu lengkap dengan panganannya. Biasanya mamak membuatnya jadi dua. Satu untuk
bapak, dan satunya lagi tentu untuk anaknya yang tanggung ini. Saya seperti
mendapatkan service hotel bintang lima. Betulbetul layanan prima. Bedanya, di
belakang rumah bukan kolam renang super lebar dengan air yang biru. Hanya
kandang ayam.
Kebiasaan
membuat kopi susu sebenarnya belum lama dilakukan mamak. Dulu, justru hanya
segelas kopi dan satu ceret teh panas. Tapi semenjak bapak menyenangi kopi
susu, maka kebiasaan itu berganti. Saya tak tahu kapan kebiasaan bapak minum
kopi susu dimulai. Seingat saya, lemari makanan pasti tak pernah tanpa sekaleng
penuh kopi hitam Nescafe. Itu loh kopi dengan kafein yang tinggi. Tapi itu
dulu. Belakangan ketika sering pulang berkunjung ke rumah, kopi yang sering bapak minum
berganti kopi Torabika sachet.
Makanya
di dapur selalu ada sekaleng susu cair untuk kopi bapak. Itu membuat saya
senang karena tak perlu repotrepot keluar membeli susu sachet ketika membuat
kopi susu. Kebiasaan meminum kopi susu bermula ketika saya suka berlamalama di
warkop. Padahal sebelumnya, selera kopi saya tidak pernah lebih dari kopikopi
yang dijual pedagang kaki lima di depan kampus dulu.
Nah,
bersama mahasiswa proletar inilah saya sering menghabiskan waktu di PK5. Karena
hanya di mace lah satusatunya juru selamat jika kami kehabisan uang. Dan betulbetul
sang mesias! Mace dengan ikhlas selalu bersedia dijadikan tulang punggung
selama musim kelaparan melanda. Tak bisa dibayangkan betapa besarnya kasih
sayang mace kepada mahasiswamahasiswa tengik macam kami itu. Karena kasih
sayang itu jugalah, saya bisa ngutang bergelasgelas kopi di situ.
Saya ingat ketika musimmusim pergantian walikota, PK5 selalu jadi bulanbulanan kebijakan pemerintah kota. Alasannya klasik; mengganggu keindahan kota. Tak luput PK5 di depan kampus waktu itu. Maka siapa yang tak gusar jika “juru selamatnya” diutakatik penggusuran. Sebagai mahasiswa proletar, sesungguhnya itu pelecehan terhadap kaum tertindas. Mahasiswa proletar sePK5 bersatulah. Saya bersama “jutaan” mahasiswa kere akhirnya turun ke jalan. Pokoknya PK5 harus diselamatkan. Sang mesias harus ditolong.
Semenjak
itu, urusan utangmengutang semakin lancar. Jika ada isu penggusuran, panggillah
kami mahasiswa proletar super kere. Jika uang habis karena buku, ke macelah
kami berduyunduyun. Jadi anakanak peliharaan mace. Disuapi bergalongalon kopi
dan roti seribu sebungkus. Saat itu terjadi hubungan mutualisme simbiosis. Mace
juru selamat kami di bidang pangan. Kami, mahasiswa proletar kere, yang
bacaan marxis-nya tak jelas juntrungannya, jadi mesias PK5 di bidang politik.
Begitu seterusnya hingga saya selesai.
Jadi bisa
dibayangkan berapa banyak kopi yang telah saya habiskan di PK5 selama hampir
tujuh tahun. Ya! Tujuh tahun coy. Empatbelas semester berkalang debu di dalam
kampus yang ngeri bin apalahapalah itu (tunggu dulu! Saya tulis ini bukan
berarti saya merendahkan almamater saya ya! Kampusnya aja sudah punya gedung
tinggi bukan main, kok masih mau direndahrendahkan segala sih?
Dan
karena itu jugalah selera saya tentang kopi tumbuh bersama deretderatan PK5 di
depan kampus. Hingga keseringan nongkrong di warkop, akhirnya selera saya
bergeser dari kopi sachet duaribuan, jadi kopi susu a la warkop. Sampai sekarang.
Saya
sudah hampir dua bulan tinggal di rumah. Selama di rumah, mamak jadi tambah
cerewet karena anaknya yang tanggung ini begitu malas membuat kopi susu. Entah
mengapa di hadapan panglima besar, saya jadi anak yang manja supaya tidak
dibilang malas. Begitu juga untuk urusan kopi susu. Makanya di tiap pagi selama
saya di rumah, selalu ada dua gelas kopi susu di atas meja. Satu untuk bapak,
dan tentu seperti saya bilang sebelumnya, satu untuk saya, anak muda harapan
mamak.
Namun
setelah menghidangkan kopi susu, mamak biasanya jarang diam. Ini dia yang saya
bilang cerewet. Selain ngomelngomel sayang ketika membuat kopi susu, sebelum
kopi susu jadi dingin, sekira lima menit perintahnya selalu datang. “Minum kopi
susumu itu, nanti na minum Athaya.” Ya, di rumah selain saya ada Athaya,
keponakan yang nakal nan ganteng seperti omnya ini. Ternyata kopi susu saya
sering kali habis diembat bocah nakal yang baru tiga tahun itu. Dia sering kali
diamdiam mendahului saya menghabiskan kopi susu di waktu pagi. Seperti kucing
tetangga, merangkak pelanpelan naik di atas meja. “Kopi cucuku inieee…!!
katanya dengan pede.
Semenjak
itu di tiap pagi sudah ada tiga gelas kopi susu. Kalian tahu kan untuk siapa
yang satunya lagi?