Sepertinya kita harus kembali mencurigai semangat Pencerahan. Seperti yang dibilangkan Adorno dan Horkeimer, Pencerahan adalah kata yang juga punya
cacat. Semangat Pencerahan, seperti yang dibayangkan Kant, nampaknya tak
selamanya adalah prinsip yang sempurna. Sebagai sebuah peristiwa sejarah,
pencerahan harus maklum, waktu adalah hakim yang tak pernah pandang bulu. Dalam
sejarah, Pencerahan tidak bisa lagi dibayangkan seperti saat di awal
kelahirannya, sebab pencerahan yang di dalamnya ada "aku" yang tegak
dan otonom juga ternyata bermakna sesuatu yang lain; cogito yang
soliter.
Descartes barangkali tak pernah membayangkan, cogito yang
ia temukan dalam terang kesadaran itu juga punya arti yang lain. Cogito yang
terang dan jelas itu, justru menjadi cogito yang terasing dari
keterlibatan dunia. Aku yang berpikir, sebagai subtansi yang menjadi pusat,
sudah dengan sendirinya adalah “aku” yang mengasingkan dunia dari dirinya.
Dunia yang disebutnya adalah res ekstensia dihadapan aku yang
berpikir, adalah dunia yang di tempatkan di bawah kendali tanpa perasaan
dan emosi. Dunia, di dalam cogito adalah dunia yang
ditaklukkan dan dibentuk oleh superioritas “aku yang berpikir.”
Sebab itulah, pencerahan adalah berarti lahirnya “aku
berpikir” yang soliter, “aku” yang individual. Charles Taylor menyebutkan, “aku
yang soliter” pelanpelan menjadi kosa kata modern yang berarti bagaimana
manusia membangun segalanya dengan otentik. “Aku” yang soliter dalam membangun
yang otentik adalah aku yang menghilangkan kepercayaan di luar dari selain
dirinya. “Aku” dalam kosa kata modern adalah manusia yang menumbuhkan
pelanpelan semangat berdikarinya, semangat yang sanksi terhadap otoritas yang
lain.
Membangun yang otentik berarti adalah “aku” yang telah menafsirkan tujuan dan keinginannya yang mandiri dan otonom. Dari itu, “aku” yang soliter dan yang otentik sekaligus adalah “aku” yang mengabaikan “yang kolektiv”, yang “bersamasama.”
Maka di sinilah masalahnya; “aku” yang terbebaskan dari
kekuatan eksternalitas, sudah dengan sendirinya adalah “aku” yang antisosial.
“Aku” yang tak menyertakan kehadiran yang lain. Sebab, “yang sosial” adalah
bagian yang lain, bagian yang tidak termasuk dalam “aku.” Dari sini bisa kita
pahami maksud dari semangat individualisme modern, yang sebenarnya memilah
“yang sosial” sebagai kenyataan yang tak dapat lagi dibagibagi menjadi
kenyataan yang individum.
Dari sanalah semula yang kolektiv akhirnya diruntuhkan
menjadi pecahpecahan yang menjadi satu totalitas yang mandiri; individu. Dengan
arti lain, “aku” yang soliter adalah optimum kemanusiaan yang abai terhadap
kolektivitas.
Dalam arti itulah kita patut curiga; janganjangan tak ada
yang sebenarnya dikatakan sebagai tujuan ideal yang didasarkan dari kehidupan
yang kolektif, karena sebenarnya yang kita andaikan kehidupan kolektif, adalah
keinginan yang individual? Janganjangan kemanusiaan kita, yang ditujukan atas
kepekaan sosial adalah sebenarnya suatu hal yang telah disingkirkan oleh
kepentingan individual? Atau janganjangan ikatan kolektif dalam keluarga,
masyarakat, negara, kebudayaan, politik, ekonomi dan juga yang lainnya,
sebenarnya merupakan kosa kata yang kehilangan kepekaan sosial, kosa kata yang
emoh terhadap yang lain?
Sebab itulah, pencerahan atau semangat modern adalah
kemunculan “aku” yang mengabaikan komitmen dan kesetiaan. Yang individual
adalah optimum kemanusiaan yang bergerak atas prinsip yang rasional. Maka dari
yang rasional tak akan mungkin memercayai komitmen, tak memercayai kesetiaan.
Karena dari awal, “aku” yang soliter adalah “aku” yang menaklukkan yang lain.
Dan jika yang lain telah ditaklukkan, maka komitmen dan kesetian adalah suatu
hal yang tak mungkin diasosiasikan kepada yang lain. “Aku” yang modern adalah
“aku” yang tanpa melibatkan “aku” dengan sisi emosional.