Buruh atau kelas yang tertindas itu memang tragis. Tak memiliki apaapa
selain tenaga. Tak memiliki apaapa selain otot. Dalam sistem yang terlanjur
memuja kapital, tenaga dan otot mereka dikuras dan dihisap. Mereka mengalami
suasana yang asing dari mesinmesin, dari barangbarang, juga dari sesama.
Suasana alienasi itu memang ajaib mengubah manusia. Kerja yang satusatunya
adalah milik buruh, justru jadi kepunyaan tuan pemodal. Dengan upah, tuantuan
modal memiliki semacam mukjizat, semacam kelebihan; menyulap buruh jadi alat
kekayaan.
Maka itu buruh jadi manusia yang kerdil. Di dalam sistem yang kapitalistik,
buruh tak selamanya berarti pribadi yang individual. Di dalam roda
industrialisasi, buruh jadi kelas, buruh jadi kaum. Sebab itulah sebuah kaum
berarti ada yang massal dibalik sistem yang kapital. Karena itulah ada
yang berbau kolektiv di dalam urat nadi industrialisasi. Di dalamnya, yang
massal di hisap dan ditindas. Di dalamnya, buruh kerdil secara massal
menjadi seperti atom di dalam tatanan akbar kapitalisme. Tapi di dalam tatanan
yang akbar itu, justru mengandung masalah.
Kapitalisme, yang diriwayatkan tamat oleh Marx itu memang kejam. Semula,
buruh adalah kaum pekerja yang dikuasai tuan pemodal di dalam pabrikpabrik.
Tapi zaman sekarang struktur berubah, juga pasar, dan kapitalisme tidak sekedar
sistem yang tunggal, melainkan jamak menjadi srtruktur kekuasaan yang berlapis
dan bersusun. Di dalam sistem yang berubah itulah buruh berubah dari pekerja
menjadi profesi yang luas. Dalam arti inilah seorang guru juga seorang buruh,
seorang dokter juga berarti proletar, seorang polisi berarti pekerja, seorang
pegawai berarti budak. Juga yang lain, di dalam pasar, hampir semuanya menjadi
alat kekayaan tuantuan kapital.
Sebuah penghisapankah ini? Sepertinya tak ada yang absen dari logika kapital. Kerja dalam arti kapitalisme sama halnya menjual jasa pada sistem yang berlapislapis. Kerja dengan sistem yang tidak seperti abad industri awal, berarti tidak selamanya bersentuhan langsung dengan mesinmesin pabrik. Kerja, dengan zaman yang baru, adalah bagaimana tenaga ditiap waktunya dihitung hingga akhir bulan. Tenaga diganti dengan keahlian, otot diganti dengan pikiran.
Itulah sebabnya kerja menjadi mekanisme dalam sistem kapital. Tapi Marx
sudah jauh hari mewaspadai, di dalam sistem yang kapital, kerja menjadi
alienatif. Sehingga kita paham apa arti Marx mencela kapitalisme yang
mengkerdilkan manusia.
Kerja, bagi Marx adalah modus eksistensial. Kerja adalah cara manusia
mengelola nature menjadi culture. Dari
kerjalah manusia mengubah alam yang asing menjadi ruang yang akrab. Marx
mengyakini, kerja adalah aspek manusiawi dari manusia. Kerja adalah upaya
meneguhkan ekspresi hidup manusia. Dengan begitu, kerja berarti memanusiakan
manusia.
Tapi sekali lagi, di dalam cara bereproduksi, kapitalisme memang kejam.
Kerja yang manusiawi menjadi yang nonmanusiawi. Buruh yang tak memiliki apaapa
menjual jasanya. Dengan menjual tenaganya berarti buruh menjual dirinya. Dengan
tangan kosong buruh menggadai kebebasannya. Sebab itulah kerja menjadi tidak
manusiawi. Karena itulah kerja menjadi alienatif.
Sulit ditampik bagaimana Marx begitu mencela kapitalisme. Dia mungkin
kecewa. Dia mungkin risau. Tapi mungkin juga geram. Itulah barangkali mengapa
ia menulis manifesto yang terkenal itu. Mengajak siapapun di bawah sistem
tunggal kapitalisme. "Wahai kaum buruh sedunia bersatulah." Dan kita
tahu, tulisan yang diawali frase itu, banyak menginpirasi hampir banyak orang.
Buruh hari ini sudah tidak segeram Marx menghardik sistem yang tak matimati
itu. Tapi juga bukan lapisan kelas yang gampang dikibuli tuantuan pemodal.
Mereka punya taktik melawan kapitalisme. Mereka punya front perjuangan atau
bahkan punya partai perjuangan. Mereka bersatu dalam satu keyakinan yang pasti;
di manapun, bagi buruh, kapitalisme harus tumbang.
Adakah yang salah dengan itu? Adakah yang mesti dibuktikan disitu? Saya
pikir ramalan bukan berarti adalah keyakinan yang harus dibuktikan. Justru
sebaliknya, karena tidak pernah terbukti, sesuatu itu semakin menjadi
keyakinan. Sesuatu utopiakah ini? Rasarasanya saya setengah percaya; karena
suatu citacita jadi utopia, maka ia terus diperjuangkan. Juga buruh yang jadi
alat kekayaan pemodal itu, semakin dihisap semakin melawan. Ini memang mirip
pegas.